#33

158 26 0
                                    

Author

Semua mata tertuju kepada lelaki bermarga Tomlinson itu. Tatapan yang mereka berikan kepada Louis hampir serupa. Marah, kesal, bingung, dan lain-lain. Louis terdiam kaku mendengar kalimat penangkapannya. Tapi Louis tidak takut. Dia terlihat sangat siap untuk menghadapi apapun yang terjadi pada dirinya nanti.

"Apa buktinya anda menuduh Louis?" Tanya salah satu 'penggemar' Louis.

"Kami menemukan barang bukti ini di lokasi kejadian. Dan kami beserta salah satu keluarga dari korban sudah menyelidiki kepemilikan benda ini. Ini milikmu bukan, tuan Tomlinson?" Pria berkumis tipis dengan seragam polisi menunjukkan gantungan kunci berbentuk wortel yang diasumsikan milik Louis.

Evelyn yang menyaksikan kejadian itu dari jauh dapat melihat dengan jelas apa yang dipegang oleh polisi tersebut. Sebuah gantungan kunci buatan tangannya yang pernah ia berikan untuk Louis dulu. Louis selalu menggantungnya pada kunci mobilnya setelah mendapat hadiah kecil tersebut. Louis menyukai wortel, maka dari itu Evelyn membuat gantungan kunci berbentuk wortel khusus untuk Louis. Dan yang menjadi barang bukti saat ini adalah gantungan kunci yang sama persis dengan buatannya.

"Gantungan kunci bodoh seperti itu banyak dijual di luar sana. Anda tak bisa sembarangan menuduh!" Ucap gadis itu masih setia membela idolanya.

"Tenanglah, nona. Kami juga sudah menyelidikinya lebih jauh. Kami pergi ke rumahnya untuk mencari bukti terkuat. Dan kami menemukan ini." Polisi itu mengeluarkan sebuah senapan api yang terbalut kain. Dan hal itu berhasil membuat mata Evelyn melebar. Semua orang yang menyaksikan hal tersebut juga terkejut bukan main.

"Kami menemukan ini di dalam lemari pakaianmu. Kami juga tak menemukan surat kepemilikan senjata api-mu." Liam yang sudah terbakar emosi menghampiri Louis setengah berlari dan memukul wajahnya sekuat tenaga. Membuat beberapa wanita berteriak ketakutan.

"Tenanglah, tuan Payne. Kami akan menangani hal ini." Ujar salah satu pria berseragam polisi itu sembari berusaha melepas cengkraman Liam dari kerah baju Louis.

"Beraninya kau!" Ucap Liam setengah tertahan. Emosinya sungguh sudah diambang batas. Selain mengkhianati adiknya, Louis bahkan berusaha membunuh adiknya. Dia benar-benar keparat, pikir Liam.

"Anda harus ikut kami ke kantor polisi sekarang juga." Perintah polisi itu dan segera memborgol tangan Louis di depan. Tak ada perlawanan dari Louis. Dia benar-benar sudah pasrah. Evelyn yang menyaksikan itu berharap Louis akan membantah tuduhan itu dan berkata bahwa ia(Louis) difitnah. Namun yang terjadi, Louis tak bersuara satu katapun yang mana artinya memang benar Louis lah pelakunya.

"Kau lihat, ternyata pria itu yang ingin melenyapkanmu. Pria yang sangat kau cintai, Eve." Bisik Niall.

Eve

Apa-apaan yang baru saja terjadi? Sebuah kenyataan bahwa mantan kekasihku ternyata pelaku dibalik penembakanku? Apa tak ada lagi kenyataan pahit yang akan kuterima hari ini?

"Aku... terpaksa. Dia selalu memakai ancaman yang sama jika aku menolak. Aku benci jalang itu. Dan aku juga membenci diriku sendiri." Ancaman? Ancaman apa yang dia maksud?

"Jadi, hubungan kalian hanya sebuah perjanjian? Kau dibawah tekanannya?" Tanyaku.

"Begitulah." Jawabnya lirih.

"Apa yang telah kalian lakukan hingga dia berhasil menekanmu dan memakai ancaman untuk bisa menjalin hubungan denganmu?"

"Aku-aku tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Aku takut. Aku akan hancur jika ada orang lain yang mengetahuinya." Louis menggelengkan kepalanya frustasi. Apa sebegitu berat masalah yang Louis hadapi hingga ia berkata seperti itu?

Aku teringat dengan percakapanku bersama Louis beberapa hari lalu. Darisitu aku sempat berpikir bahwa Louis mengetahui siapa pelakunya karena dia ada di bawah ancaman.

aku tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Aku takut. Aku akan hancur jika ada orang lain yang mengetahuinya.

Kalimat Louis yang satu itu masih terdengar klise. Apa yang ia tak sanggup untuk ia katakan? Kebenaran bahwa ia sang pelaku penembak atau kebenaran karna ia melihat sang pelaku kemudian si pelaku membuat perjanjian dengan mengamcam Louis jika dia tidak menuruti keinginannya maka Louis yang akan dituduh menjadi tersangka? Astaga aku benar-benar butuh jawaban.

"Aku harus bicara padanya." Ujar Evelyn tegas.

"Untuk apa? Bukankah sudah jelas? Dia yang menembakmu. Dia sudah berselingkuh darimu dan ingin membunuhmu. Bukankah itu cukup jelas?"

"Tidak. Ini masih tidak jelas. Pasti salah. Aku yakin dia hanya difitnah." Bantahku.

"Aku yakin kau tidak buta, Eve. Kau melihat sendiri polisi-polisi itu membawa barang bukti dan membawanya ke kantor mereka. Polisi itu tidak bodoh, jika Louis tidak bersalah ia tidak akan dijadikan tersangka." Ujarnya tak mau kalah. Si tuan Horan ini benar-benar bukan tipe orang yang mau mengalah.

"Tapi polisi juga manusia yang bisa membuat kesalahan. Aku yakin ada yang tidak beres disini. Jangan coba-coba menghentikanku untuk menemuinya, tuan Horan."

Niall terdiam. Tatapan sendunya hanya menatapku dalam tanpa berkedip. Aku benar-benar sedang tak ingin berdebat dengannya. Aku harus mencari tahu kebenarannya.

"Aku tak ingin kau semakin sakit hati, Eve." Ucap Niall pelan. Aku yang sudah berbalik badan untuk pergi terdiam. "Hatimu sudah terlalu sakit atas pengkhianatan yang ia lakukan. Ditambah dengan kenyataan yang baru saja kau lihat. Jika kau tetap ingin mencaritahu lebih lanjut dan ternyata memang benar ia yang melakukannya, maka aku tak akan menemukan cara untuk menghibur dirimu dan sedang sangat sakit hati." Lanjutnya.

"Kau benar Niall, tapi setidaknya aku harus tahu apa alasan Louis melakukan hal itu."

"Apa kau tak percaya padaku?" Tanyanya yang membuatku spontan menghadap ke arahnya. "Apa maksudmu?"

"Aku pernah mengatakan padamu untuk selalu disisimu. Aku akan membuatmu bahagia dengan caraku. Aku ingin kau melupakannya dan memulai semua yang baru bersamaku. Itu karena aku menyayangimu. Apa kau tak percaya itu?" Sorot mata sedih terpancar dari mata biru indah nan menawan milik pria ber-marga Horan itu. Iris biru yang awalnya terlihat sangat cerah itu sekarang perlahan meredup.

"Aku ingin ketika kita pergi bersama nanti, hanya kebahagian yang ada pada kita. Dimana dihatiku hanya ada dirimu, dan dihatimu hanya ada diriku. Kurasa itu semua akan mustahil terjadi jika hanya namanya lah yang tertulis dihatimu. Aku sudah menentukan pilihan, Eve. Aku ingin pergi. Bersamamu. Bukankah kau ingin ikut juga?"

"Aku tertarik dengan tawaranmu, Niall. Tapi entahlah. Aku belum memutuskan pilihanku." Jawabku apa adanya.

"Dengar, Eve. Ketika kau sudah menentukan pilihan, waktu tak akan banyak di dunia ini. Kau akan menyebrang dalam waktu 3 hari setelah kau membuat keputusan." Aku terbelalak mendengarnya.

"A-apa itu artinya-"

"Ya, kau punya waktu 3 hari untuk memutuskan pilihanmu. Temui aku 3 hari dari sekarang. Jika kau benar-benar ingin ikut, aku menunggu 6 hari dari sekarang." Niall memotong ucapanku dan itu benar-benar membuatku terkejut. Secepat itu?

"Jika aku ingin kembali, apa kau akan merubah keputusanmu untuk kembali?" Niall terdiam sejenak sebelum akhirnya berbalik membelakangiku. "Aku tidak tahu." Jawabnya.

"Niall, terimakasih sudah menemaniku di dunia penghujung hidup dan matiku ini. Aku ingin menemuinya bukan karena aku masih mencintainya. Tapi aku ingin ketika aku pergi bersamamu, tidak ada lagi kejanggalan yang bersarang dalam benakku. Aku juga ingin pergi dengan tenang." Niall tersentak dan kembali berbalik menghadapku.

"Benarkah?" Tanyanya dengan mata berbinar.

"Aku mencintaimu."

——^——
Tbc...

Be Mine (Sedang Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang