#18

206 38 0
                                    

Eve

"Kau sudah bangun?" Hanya itu pertanyaan yang keluar dari mulutku. Aku tidak mungkin bereaksi seakan-akan aku benar-benar diriku karena saat ini aku berada di dalam tubuh Caterine.

Louis membuka matanya untuk memastikan apakah dia memegang orang yang dia maksud atau bukan. Dia melepaskan pegangan tangannya begitu melihat Catherine berdiri di sampingnya.

"Maaf. Aku salah orang. Kupikir kau orang yang kumaksud." Ujarnya. Louis kembali memejamkan matanya kemudian memijat pangkal hidungnya.

"Tidak apa. Bagaimana perasaanmu?" Tanyaku mencoba setenang mungkin.

"Aku pusing." Jawabnya. Aku mengambil bantal lain di sofa dan meletakkannya di bawah kepala Louis. Itu akan membantunya meredakan rasa pusingnya meski hanya sedikit.

Louis melihatku sekilas kemudian mengamati ruangan ini. "Terimakasih. Apa ini kamarmu?"

Aku mengangguk sebagai jawaban selagi dia berdeham. Aku memberikannya segelas air yang memang selalu ku sediakan sebelum aku pergi meninggalkan kamar di atas nakas. Suatu kebiasaan lama.

"Habiskan ini. Kau akan merasa baikan nanti." Aku memberikannya semangkuk bubur yang tadi dibawakan Susan dan hendak berjalan keluar kamar.

"Kau mau kemana?" Pertanyaan Louis menghentikan langlah kakiku. "Mengambilkanmu obat."

Tanpa menunggu respon darinya, aku membuka pintu kamar dan menutupnya di belakangku. Aku berjalan ke dapur untuk mencari kotak P3K dan mengambilkan obat untuk Louis. Seperti de javu. Aku pernah mengalami hal ini. Aku pernah merawat Louis saat ia sakit. Aku pernah dengan senang hati menemaninya sepanjang hari hanya untuk melihatnya perlahan sembuh dari sakitnya. Aku pernah rela bolos sekolah hanya untuk menjaga Louis. Tapi itu semua hanya masa lalu. Ketika aku dan Louis memiliki hubungan. Hubungan yang lebih dari sekedar persahabatan. Hubungan yang berdasarkan atas kata 'cinta'. Hubungan dimana kita saling percaya dan saling mendukung satu sama lain.

Dan sekarang itu semua tidak lagi sama. Tidak ada hubungan apapun diantara kita. Meskipun masih ada cinta, tidak ada kepercayaan diantara kita. Dan kenyataan bahwa sekarang aku menggunakan tubuh orang lain untuk merawat Louis membuat itu semua terlihat sangat jelas. Sangat terlihat jelas karena ada kemungkinan Louis tidak mengenal wanita yang saat ini merawatnya. Wanita yang ia khianati dan wanita yang saat ini sedang berusaha meraih kembali kehidupannya.

Aku merasakan rasa asin di mulutku. Oh, rupanya air mata. Itu sangat mengejutkanku dimana aku baru saja menyadari bahwa tubuh yang sedang kupakai dapat mengeluarkan emosi yang ku miliki. Aku menangis. Akupun tidak tahu mengapa aku menangis. Apa aku menangis karena Louis? Karena pria yang sudah mematahkan hatiku? Tapi untuk apa? Untuk apa aku menangisinya? Dia sudah bersama wanita lain yang mana cepat atau lambat akan menggantikan posisiku dihatinya. Saat ini mungkin Louis masih merasa bersalah terhadapku dan masih memikirkanku. Tapi apakah itu akan berlangsung lama? Aku tidak yakin. Wanita itu pasti akan mencari cara untuk membuat Louis melupakanku.

Aku menyeka air mataku dan kembali bersikap seperti biasa. Aku kembali ke kamarku dan menemukan Louis sedang bermain dengan ponselnya. Lap yang tadi ku letakkan di dahinya kini sudah berada di dalam wadah yang tadi kubawa. Louis sudah menghabiskan separuh dari buburnya dan itu membuatku senang. Setidaknya ada makanan yang masuk ke dalam perutnya sebelum dia meminum obat.

"Ini." Aku memberikannya sebutir obat penurun demam. Dia berterimakasih kemudian memasukkan obat itu ke dalam mulutnya dan menelannya bersama air putih yang tadi ku berikan.

"Kau yang tadi di rumah sakit, bukan? Kau menjenguk Evelyn?" Tanyanya sembari menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.

"Iya." Jawabku. Suara dering ponsel Louis mengambil perhatianku. Aku tidak sempat melihat nama yang tertera pada panggilan masuk di layar ponsel Louis karena dia langsung menekan tombol merah. Ekspresi wajah Louis terlihat jelas sedang menahan kesal meski sedang pucat.

Be Mine (Sedang Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang