Pada bulan Mei, musim semi di Maroko memang sangatlah hangat dan menyenangkan. Bunga-bunga bermekaran di sepanjang jalan. Seolah menyambut kedatangan pertamaku di Negeri Matahari Terbenam ini.
Setelah memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Maroko. Aku berangkat ke negara ini seminggu setelah kelulusanku di universitas lamaku yang berada di Jakarta.
Mama, Abah dan Faiz mengantarku ke bandara. Tentunya Venus juga ikut mengantarku. Sempat dia melarangku untuk pergi ke Maroko, sebab ini terlalu jauh untuknya. Namun, aku sudah memutuskan dengan sepenuh hati bahwa aku akan tetap pergi meski ada yang melarang. Toh Mama dan Abah pun sangat mendukung keberangkatanku. Sayang 'kan kalau scholarship-ku ke Maroko ditolak begitu saja. Itulah sebabnya aku mengambil keputusan ini.
Aku tinggal di apartemen yang ada di kota Rabat, tidak jauh dari universitas tempat aku kuliah.
Awalnya, aku merasa khawatir dan takut karena tinggal disini sendiri. Apalagi ini hari pertamaku masuk kuliah. Universitas Muhammad V Rabat yang terletak beberapa kilo meter saja dari rumahku, bisa di tempuh dengan kendaraan umum atau berjalan kaki.
Cuaca disini memang cukup panas, terlebih saat musim semi. Namun, akan lebih panas lagi saat musim panas datang.
Merdu suara alarm membangunkan tidur nyenyakku. Pukul empat subuh. Aku beranjak dari tempat tidurku.
Sekarang adalah hari pertamaku masuk kuliah. Dengan gamis berwarna hitam dan kerudung dengan warna senada, aku bersiap-siap.
Terlalu asyik menyiapkan diri sampai tidak menyadari bahwa waktu terus berlalu. Kulirik arloji yang menunjukan pukul setengah sembilan. Aku terlambat. Kelas pertamaku akan dimulai pukul 08:45. Hanya ada waktu lima belas menit saja.
Untung saja jarak apartemen ke kampus cukup dekat. Dengan menggunakan grand taxi aku segera bergegas.
Aku berlari melewati koridor kelas. Mencari ruangan yang aku tempati. Hanya tinggal beberapa menit saja kelas akan dimulai. Ini membuat drum di jantungku seolah dipukul sekuat tenaga dan menimbulkan getaran yang sangat hebat. Aku terus berlari hingga ke lantai dua kampus ini.
Tak sengaja seseorang menabrukku saat aku sedang berdiri melihat papan informasi.
"Afwan ukhti," ujarnya.
"Gapapa." Aku bangkit dan menutup mulut.
"Na'am," katanya lagi.
Aku segera pergi menjauhi orang itu."Duh bener gak sih aku jawabnya gitu. Kalau tau gini, dulu aku ngambil sastra Arab aja bukan bahasa Inggris," pikirku.
Kebanyakan orang di negara ini memang menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris. Kalau bertemu orang yang berbicara bahasa Indonesia serasa bertemu dengan saudara.
🍀
Saat hendak masuk ke dalam apartemen, tiba-tiba ada seorang wanita berparas cantik. Tubuhnya tertutup gamis berwarna biru tua dan khimar berwarna hitam. Rasanya aku tidak asing dengan orang itu. Kuluhat dia berjalan mendekat.
"Assalamualaikum, ukhti." Ia memberi salam disertai senyuman.
"Waalaikumsalam," jawabku menyalami tangannya.
"Ukhti dari Indonesia kah?" tanyanya.
Perempuan ini yang menubrukku tadi. Dia bisa berbicara dengan bahasa Indonesia.
"Ukhti ...." ia melambaikan tangannya di hadapan wajahku.
"Iya, saya dari Indonesia. Kamu juga?" tanyaku penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spiritual[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...