Part 10

6K 336 5
                                    

"Mas, kopinya aku taruh di meja, ya." Aku meletakkan secangkir kopi di atas meja makan. Tak ada sahutan dari Alif. Aku memutuskan untuk menyusulnya ke kamar. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah baru bersama Alif membuatku terbiasa memanggilnya dengan embel-embel Mas.

"Lo? Lagi ngapain Mas?" kulihat Alif sibuk melakukan sesuatu di kerah kemejanya.

"Ini Ay, aku coba pake dasi kok gak bisa-bisa ya." Tanpa menoleh ke arahku, tangan-tanganya sibuk membuat simpul dasi di kemejanya. "Seingetku sih gini, tapi jadinya kok aneh ya." Ia menatapku dan menunjukkan dasi yang terpasang di kemejanya.

Aku terkekeh melihat hasilnya. Simpulnya memang saling mengait, tapi tidak beraturan, jatuhnya malah berantakan.

"Ya Allah, Mas. Sini deh biar aku yang pakaikan." Aku mendekat dan membenarkan simpul dasinya. Kedua mataku masih tetap fokus pada dasi di kemejanya.

"Kayaknya aku terakhir kali pakai dasi gini pas SMP deh, soalnya SMA juga gak terlalu sering pake, paling hari senin aja," ujarnya saat aku tengah membuat simpul dasinya.

"Ya, itu sih udah lama banget Mas. Kayaknya kalo gak ada acara ini, Mas juga gak akan pakai dasi. Setelah acara ini, Mas pasti jadi sering pake dasi." Setelah selesai, tangannya memegang tanganku yang masih ada di kerah kemejanya.

"Kalau pun jadi sering pake dasi, kan ada kamu." Ia tersenyum dan menatapku dengan pandangan teduh. Sedetik kemudian dia mencium puncak kepalaku yang tertutup kerudung. "Terima kasih karena selalu membantuku, Ay."

Aku tersenyum dan membawa genggaman tangan ke dadanya. "Sudah tugasku, Mas." Ia mencium keningku. "Eh, udah deh, nanti telat. Kopinya juga keburu dingin kayaknya," ucapku menyadarkannya.

"Yah kamu Ay, kan lagi romantis-romantisan nih." Alif mengerucutkan bibirnya.

"Mas mau telat?" tanyaku. "Nanti dikiranya gak amanah lo." Aku berjalan keluar kamar. Kulihat Alif mengekor di belakang dan duduk di kursi meja makan.

"Um ..." ia meneguk kopi yang kusimpan di atas meja. "Ay, bisa gak kamu jangan duduk di deket aku?" pintanya.

"Lo, kok?" aku mengernyitkan dahi mendengarnya.

"Kopi ini rasanya jadi manis banget kalo ada kamu di sini." Seringaiannya membuatku membelalakkan mata. Namun, sedetik kemudian kepalaku menunduk.

"Ye, segitu aja udah merah wajahnya," ledeknya.

"Apaan sih, Mas." Sebuah cubitan aku layangkan ke tangan kanannya.

Ia meringis mendapat cubitan tiba-tiba. "Kamu tuh, ya." Alif mendekatkan wajahnya hingga berjarak sejengkal dari wajahku.

"Eh, Mas nanti telat, ini udah mau jam delapan lo," peringatku lagi.

"Iya iya, aku berangkat. Jangan lupa kunci pintunya, ya." Alif berdiri dan keluar dari pintu. Sebelum benar-benar keluar, aku mencium punggung tangannya yang dibalas kecupan singkat di dahiku.

"Assalamualaikum," ucapnya sambil melangkah ke mobil.

"Waalaikumsalam." Aku tersenyum menyambut lambaian tangannya, dan mengangguk mengiyakan keberangkatannya.

Hari ini serah terima jabatan Alif, karena ayah sudah ingin berhenti dari tugasnya. Selain usia yang menghambat kerja tugasnya, ibu juga sendiri di rumah, karena kak Fatimah ikut dengan suaminya.

Setelah mengantar Alif sampai ke depan pintu. Aku kembali masuk setelah mengunci pintu. Membereskan rumah adalah aktivitas pagi yang akan kulakukan setelah mengantar Alif. Saat menyimpan cangkir kopi kotor ke dapur, dering ponsel di kamar menyuruhku untuk menghampirinya.

Great QadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang