Ruangan dengan nuansa putih di setiap dindingnya, dan aroma khas rumah sakit menyeruak ke dalam rongga hidung ketika aku mulai mengerjapkan mata. Rasa pusing yang menyerang kepalaku membuatnya terasa berat.
Setelah berhasil membuka kelopak mata yang sempat terpejam, kulihat Alif sedang berdiri bersandar pada dinding di dekat nakas dengan kepala yang melihat ke bawah lantai. Di sofa yang menempel pada dinding ada umi dan juga ibu. Mereka terlihat sedang membicarakan hal yang penting.
"Umi," panggilku.
Suaraku membuat mereka menoleh serentak.
"Alhamdulillah, akhirnya anak Umi bangun juga."
Kulihat umi berjalan ke ranjang tidurku. Di susul dengan ibu yang berjalan tak juh darinya.
"Nay, kamu bikin ibu khawatir." Aku tersenyum tipis melihat perhatian yang ditunjukkan oleh ibu mertuaku.
"Udah enakan, Sayang?"
Umi mengusap lembut kepalaku yang masih terbalut kerudung hitam.
"Alhamdulillah, Mi."
Mataku menangkap sosok Alif yang mulai menjauh dari dinding tempatnya bersandar. Kini ia berada di samping ranjang tidurku.
"Wah, akhirnya Umi bakalan punya cucu juga,"
"Iya, Ibu juga seneng nih. Ayah juga pasti seneng deh."
Terlihat sebersit kesedihan di raut bahagianya.
Aku yang mendengar kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh kedua wanita yang sangat berarti untukku hanya diam. Aku tak mengerti apa maksud yang mereka bicarakan.
"Umi sama Ibu apaan sih? Ngomongin cucu terus."
Aku merengut mendengar pembicaraan mereka seputar cucu. Kedua wanita hebatku ini sepertinya kebelet nimang cucu.
"Yaudah deh Umi tinggal dulu ya, kasian abah di rumah pasti nungguin," ujarnya seraya mngusap kepalaku sekali lagi.
"Loh, Ummi pulang sama siapa?" tanyaku.
"Sama Faiz." Senyuman yang Umi tunjukkan membuat mataku membulat.
Dari balik pintu muncul sesosok pria yang aku rindukan selama aku tinggal di rumah baru dengan Alif.
"Aiz," pekikku. Aku merentangkan kedua tanganku meski punggungku masih bersandar dengan nyaman di kepala ranjang.
"Jangan panggil gitu, geli tau. Kita kan bukan anak TK lagi."
Lagi-lagi aku mengembungkan pipi mendengarnya.
"Ye, yang bentar lagi mau punya anak tuh gini ya. Bawaan bayi ya manja-manja gini." Ia menaik-turunkan kedua alisnya seirama. "Wih nanti aku jadi om dong," sambungnya.
"Faiz, apaan sih ngomongnya, segala ngikut-ngikutin umi sama ibu ngomonginnya anak. Kamu tuh cepetan nikah," ejekku.
"Ah, ayo Umi kita pulang."
Faiz beranjak dari tempatnya, berjalan menghampiri umi yang sudah berada di ambang pintu.
"Dasar, giliran diomongin soal nikah aja kabur-kaburan gitu."
"Udah ah. Naya berisik nih Umi, ayo kita pulang aja," ajaknya.
"Kalian ini, udah pada gede masih aja seneng guyon," jedanya. "Yaudah Umi pulang dulu ya, Nay. Kamu jaga diri baik-baik. Jangan capek-capek, kasian dedek bayinya."
Umi mengusap perutku singkat sebelum mengucap salam.
"Ibu juga pulang dulu ya, ini Rahman udah di depan rumah sakit katanya." Ia mengusap kepalaku. "Jaga diri baik-baik ya, jaga kesehatan, jaga calon cucu ibu juga ya."
Ibu melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan umi beberapa saat yang lalu.
Aku tersenyum dan melambai saat ibu menutup pintu ruangan yang kutempati. Kini hanya ada kami berdua—aku dan Alif. Dia mengambil kursi dan duduk di samping ranjangku. Ia menggamit jemariku, mengusap punggung tanganku dengan ibu jarinya. Membuatku mendongak dan menatap mata indahnya.
"Orang-orang pada kenapa sih, Mas. Ngomonginnya soal anak lah, cucu lah. Faiz juga segala ikut-ikutan, kan nyebelin."
Alif hanya tertawa kecil, jarinya menyentuh bibirku yang mengerucut karena sebal.
"Kok ketawa sih?"
Aku mengerutkan dahi menatapnya yang masih tertawa.
"Ay, kamu tahu. Di hari yang bikin aku sangat terpukul karena kepergian ayah, Allah ngasih aku kebahagiaan lewat kamu, Sayang." Ia mengecup keningku seraya tersenyum.
"Ma-maksudnya apa sih?"
Alif mengusap perutku. Sebenarnya ini membuatku geli, sudah tiga orang yang melakukan hal ini.
"Di sini. Di sini ada kehidupan baru yang akan datang."
Mataku membulat mendengar ucapannya barusan.
"Maksud kamu?"
Entah kenapa fungsi otakku saat ini sangat lamban mencerna setiap kalimat yang dilontarkan Alif.
"Ini."
Alif mengangsurkan amplop putih. Di dalamnya ada selembar kertas yang isinya membuat perasaanku bercampur aduk. Senang dan terharu, itulah yang paling mendominasi.
"A-aku ha-mil?" tanyaku tak percaya.
"Iya, Sayang." Alif melebarkan senyumnya.
"Hah?" aku menatapnya tak percaya. "Kok bisa?"
"Kamu ini." Ia mengusap kepalaku. "Kan kamu udah nikah, aku itu suami kamu. Ya bisa lah."
Raut tak percaya di wajahku kini berubah menjadi binar bahagia.
"Alhamdulillah."
Tanpa kusadari setetes air jatuh dari sudut mataku. Rasa syukur tak hentinya kupanjatkan.
"Di saat ada kematian, di situ juga Ia tanamkan kehidupan."
Sekali lagi ia mengecup kening dan mengusap lembut kepalaku.
🌸

KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spiritual[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...