Part 22

4.1K 235 0
                                    

Tak terhitung sudah berapa kali laki-laki itu mondar-mandir di koridor rumah sakit. Rasa cemas menggelayuti pikirannya. Rasa kantuk hilang seketika. Jantungnya berdetak lebih kencang. Kini ia tak lagi bisa berpura-pura tenang. Istrinya sedang berada di dalam.

"Lif, gimana?" tanya ibu mertuanya yang baru sampai bersama kakak iparnya.

Laki-laki itu memang langsung menghubungi keluarganya. Ibunya mungkin sedang dalam perjalanan. Sedangkan ibu mertuanya sudah sampai di sini, baru saja.

"Alif gak tau, Ma. Duh deg-degan banget rasanya." Ia menyentuh dadanya.

"Kamu tenang aja, gak usah panik," ujarnya menenangkan. "Tunggu, kok kamu disini? Kenapa gak menemani Naya di dalam?"

"Alif takut, Ma. Malah makin deg-degan kalau di dalam."

Raut cemas di wajahnya masih terlihat jelas.

"Hih, ngaco kamu Lif. Masa adek Abang di dalam mau lahiran kamu gak temani," ujar Faiz.

"Suami Bu Inaya yang mana ya?"

Dokter berjilbab itu melirik Alif dan Faiz bergantian.

"Saya, Dok," ujarnya spontan.

"Ayo, Pak. Silahkan ke dalam dan temani istrinya," ucap dokter itu lalu masuk.

Alif melirik ibu mertuanya.

"Udah, ke dalam sana," ujar Mama.

Alif mengikuti dokter itu masuk ke dalam ruangan dimana Inaya sedang terbaring di ranjang. Wajahnya tetap menunjukkan senyum terindahnya.

"Mama udah datang?" tanyanya begitu suaminya berdiri di samping ranjang.

"Udah, sama Bang Faiz," jawabnya. Alif mengusap kepala Inaya yang masih terbungkus khimar.

"Aku pengin ketemu Mama dong, Bib. Tolong panggilkan, ya," pintanya seraya memohon.

"Iya tunggu, Sayang." Alif mengusap kepala istrinya sebelum keluar.

Sudah ada ibu dan kakaknya. Tadinya hanya ada ibu mertua dan kakak iparnya saja. Pukul tiga subuh mereka berkumpul di koridor rumah sakit.

"Ma, Inaya mau ketemu," ucap Alif ketika sampai di luar ruangan.

Ibu mertuanya mengangguk, tanpa banyak kata ia langsung masuk ke dalam.

Terlihatlah Inaya yang sedang menahan rasa sakitnya. Sedari tadi ia mengerang dan memegangi perutnya. Rasa cemas juga menggelayuti pikirannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Berdetak cepat seperti ia baru saja lari maraton di lapangan yang luas.

Dokter sekaligus bidan yang memeriksanya mengatakan bahwa saat ini sudah pembukaan lima.

"Assalamualaikum, anak Mama yang paling cantik," sapa sang ibu setelah berdiri di samping ranjang putrinya.

"Waalaikumsalam, Ma."

Inaya tersenyum meski rasa sakit di perutnya masih terasa.

"Sakit ya, Nak? Sabar ya, pahala seorang wanita yang melahirkan itu seperti orang yang jihad di jalan Allah. Bahkan orang yang mati syahid." Mama membelai lembut kepala putri kecilnya yang akan menjadi seorang ibu.

"Ma, Nay minta maaf ya. Dulu Mama pasti sakit kayak gini ya waktu melahirkan Nay? Ma, Nay minta maaf ya kalau selama ini banyak merepotkan. Kalau Nay masih belum bisa kasih sesuatu yang berharga buat Mama." Ia menggenggam erat jemari ibunya.

"Nay, Mama gak minta apa-apa kok dari kamu. Kamu lahir dari rahim Mama, itu adalah sesuatu yang berharga. Bahkan sangat berharga buat Mama," jawabnya dengan penuh kelembutan.

Wanita tua itu membalas genggaman putrinya seolah mampu merasakan rasa sakit yang dialaminya.

"Ma, Nay takut," ucapnya getir.

"Gak usah takut, Sayang. Mama tahu Nay pasti bisa kok. Kamu serahkan semuanya sama Allah ya. Kan Allah yang titip dia ke kamu, pasti Allah akan membantu mempermudah," jelas ibunya.

Inaya mengangguk seraya menunjukkan senyumannya. Namun, sedetik kemudian ia kembali mengerang kesakitan di bagian perutnya. Kontraksi terus berlangsung.

Alif sudah berada di samping Inaya saat ini. Setelah ibu mertuanya keluar, ia meminta Alif untuk masuk dan menemani putrinya. Ia juga meminta Alif untuk memberi semangat pada istrinya, dan tetap tenang.

Pukul empat subuh. Udara dingin yang biasanya menusuk dan memaksa tubuh untuk bergelung dalam selimut, kini terasa panas. Keringat menetes di pelipis laki-laki yang sedang menggenggam erat jemari istrinya. Lebih tepatnya istrinya lah yang menggenggam erat tangannya.

Rasa sakit hampir tidak tertahankan lagi. Inaya masih terus menahannya. Ia mengatur napasnya sesuai yang diintruksikan dokter. Ia mengejan dan menarik napas lalu mengembuskannya berkali-kali. Pembukaan yang dialami Inaya cukup cepat. Kini sudah pada tahap pembukaan sempurna.

Inaya terus mengeratkan pegangan pada tangan suaminya. Alif berusaha memberikan semangat dan terlihat tenang seperti yang diminta ibu mertuanya. Padahal ia merasa lemas saat ini. Bukan karena takut, ia teringat pada ibunya. Ibu yang melahirkannya. Jadi seperti ini perjuangan seorang ibu saat melahirkan. Ia melihat istrinya kepayahan, namun Inaya tetap terlihat santai dan tidak mengeluh.

Rasa sakit yang dialami Inaya saat ini seolah merambat pada suaminya. Alif menggenggam lembut jemari istrinya.

Dokter terus mengintruksi Inaya untuk mengejan. Kepala bayi mulai terlihat. Inaya terus berjuang, keringat membasahi khimar yang dikenakannya. Alif mengusapnya dengan lembut. Tak kalah dari Inaya, keringat juga mengalir di pelipisnya terus menerus.

Setelah setengah jam berlalu. Akhirnya bayi mungil itu bisa melihat cahaya dunia. Meski matanya masih menutup. Namun tangisnya menggema ke penjuru ruangan. Mendengar itu, semua anggota keluarga yang menunggu di depan ruangan mengucap rasa syukur.

Alif yang masih berada di ruangan, tak bisa mencegah air matanya untuk tidak menetes. Kebahagiaan yang didapatnya saat ini begitu indah. Ia mengecup kening istrinya.

"Terima kasih telah menggenapkanku," ujarnya lembut. Inaya tersenyum.

Bayi laki-laki mungil itu seolah menjadi penyempurna mereka. Dokter memberikan selamat atas lahirnya putra mereka. Setelah itu ia pamit untuk mengurus beberapa hal yang berkaitan dengan persalinan.

Alif kembali menitikan air matanya ketika ia mengadzani anak laki-lakinya yang baru saja lahir.

Tak lama, keluarganya sudah mengelilingi ranjang Inaya. Ibu dan Mama saling berpelukan seraya mengucap selamat dan bersyukur. Faiz tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi rapinya saat melihat keponakannya yang tertidur di samping ibunya.

Fatimah menurunkan Fahira yang sedari tadi di gendongnya. Anak itu sudah bisa berjalan. Ia menghampiri ranjang Inaya. Sesampainya di sana ia menyentuh pipi bayi mungil yang dilahirkan Inaya.

"Te cu unya ate." (dedek lucu punya tante)

Anak perempuan yang usianya baru satu tahun itu mencium kening bayi yang tengah tertidur.

"Fahira, sini sama Ibu. Dedek bayinya lagi bobo dulu, jangan diganggu ya," ujar Fatimah seraya menggendong putri kecilnya.

Suaminya, Rahman, tidak turut serta di sini. Pekerjaan yang padat tidak bisa ia tinggalkan.

"Fa da anggu te, Fa mu ain," (Fa gak ganggu De, Fa mau main) ujarnya.

Mama menghampiri Inaya. Ia mengusap lembut kepala putrinya.

"Alhamdulillah, akhirnya anak Mama jadi seorang Ibu. Jadi teladan untuk anak-anak kamu ya, Nak."

Inaya mengangguk mendengar wejangan dari ibunya.

Adzan Subuh berkumandang, bergema di dalam ruangan. Seolah menyambut lahirnya bayi laki-laki yang tengah tertidur di samping ibunya.

Semua orang yang ada dalam ruangan memutuskan untuk menunaikan kewajibannya di mushala rumah sakit.

Sebelum mereka meninggalkan ruangan, satu pertanyaan dari Mama yang membuat semua tertawa. Namun, membuat seseorang merengut sebal.

"Faiz, kapan mau kasih Mama cucu?"

🌸

Great QadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang