Setelah berpamitan pada mama dan abah, juga pada Faiz. Alif membukakan pintu mobil, disusul dia yang masuk di kursi kemudi.
Hari ini seperti yang sudah Alif janjikan, dia akan membawaku ke rumah yang sudah ia siapkan sebelum acara pernikahan kami. Rumahnya tak jauh dari rumah orangtuaku juga orang tua Alif, alasannya agar jika terjadi sesuatu tidak harus jauh-jauh.
Dari rumah abah kami sempat mengunjungi kediaman keluarga Alif terlebih dahulu sebelum ke rumah baru kami. Disana aku bertemu dengan kak Fatimah dan juga suaminya. Kulihat dia mengelus-elus perutnya, membuatku tersenyum singkat.
"Nay, mau ya?" goda kak Fatimah, sukses membuat rona merah di pipiku.
"Hush, kamu ini." Ibu menyenggol lengan kak Fatimah. "Nanti juga nyusul. Iya 'kan, Lif?" tatapan ibu beralif pada Alif yang duduk di sampingku.
"Insya Allah, Bu." Seculas senyum terbentuk di bibirnya. "Iya kan, Ay?" ia menggamit jemariku.
"Eh," aku tersentak dengan perlakuan Alif. Lebih tepatnya karena belum terbiasa. "I-iya, insya Allah." entah senyum terpaksa atau senyum karena rasa malu yang aku tampilkan saat ini. Tapi kupastikan semua orang diruangan ini terkekeh melihat tingkahku.
Bincang-bincang antara keluarga baruku ini tak berlangsung lama. Alif mengajakku untuk ke rumah baru, karena hari semakin siang.
"Gak makan dulu, Lif?" tanya ayahnya.
"Nanti aja di rumah, Yah. Sekalian pengin nyobain masakan istri." Kalimat itu disambut gelak tawa dari ibu, kak Fatimah dan juga suaminya. Sedang aku hanya menunduk menyembunyikan rona merah yang terlukis diwajah.
"Ya sudah, kalian hati-hati ya. Sering-sering main kesini, jengukin ibu ya, Nay." Ibu memelukku singkat, aku membalasnya serta mencium punggung tangannya.
"Insya Allah, Bu. Gimana Al-" sebelum selesai kuucapkan nama itu, segera aku meralatnya. "Gimana Mas Alif aja, Bu." Seculas senyum kutunjukkan pada ibu mertuaku.
"Bu, Alif berangkat ya." alif menyalimi keluarganya. "Assalamualaikum."
"Hati-hati, Lif. Waalaikumsalam," jawab mereka serentak.
🍀
Di dalam mobil tidak ada percakapan, saat ini hanya hening yang ada. Baik aku maupun Alif tidak ada yang memulai percakapan terlebih dahulu. Rasa canggung mulai mendera. Hingga mobil yang dikendarai Alif berhenti tepat di depan rumah dengan bangunan minimalis, terlihat elegan.
"Kita sampai," ucapnya.
Saat aku hendak membuka pintu mobil, ternyata Alif sudah membukanya terlebih dahulu. Ia menuntun tanganku untuk turun dari dalam mobil dan berjalan ke dalam rumah baru kami.
"Terima kasih." Rasa canggung masih bersarang di benakku. Jantungku berdegub kencang.
"Sama-sama, istriku." Semburat senyum dan tatapan teduh itu membuatku terpaku melihatnya. Tanpa aba-aba, sudut-sudut bibirku tertarik membuat lengkungan senyuman. "Senyum yang indah," sambungnya lagi. Sukses membuatku merona, lagi dan lagi. Bisa-bisa wajahku akan terus memerah kalau Alif bersikap seperti ini terus. "Yuk, masuk." Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkahnya.
Alif melepaskan genggaman tangannya untuk mengambil kunci rumah di saku celananya. Sungguh, saat ini aku merasa tidak senang kalau dia melepas genggamannya. Tanpa kusadari reflek bibirku mengerucut.
"Kenapa, Ay?" sepertinya Alif menyadari perubahan air mukaku.
"Ng-nggak, kok," ucapku dengan wajah tertunduk.
"Yaudah, masuk yuk." Pintu rumah ternyata sudah terbuka.
Aku mengekor di belakangnya. Ruangan depan ini seolah menyambut kedatang kami.
Semua sudah tertata rapi, kursi dan meja untuk tamu. Masuk ke ruang tengah, ada televisi dan satu sofa dengan ukuran sedang. Rumah satu lantai dengan cat berwarna putih dan abu-abu, barang-barang sudah tertata rapi. Aku terpaku melihat semuanya. Sejak kapan Alif menyiapkan semua ini. Aku bahkan baru tahu setelah pernikahan terjadi. Dia mempersiapkan segalanya. Tanpa terasa air mata jatuh begitu saja, inilah bahagia. Alif menangkap mataku yang berair dengan tatapan teduhnya. Tak bisa berkata lagi, aku hanya tersenyum. Seolah mengerti senyumku adalah tanda bahagia, dan ucapan terima kasih. Alif merangkulku dan membawaku ke dalam pelukannya.
"Hanya ini yang bisa aku berikan," jedanya. "Aku mencintaimu karena-Nya." Alif mencium puncak kepalaku, aku hanya mengangguk dalam pelukannya.
🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spiritual[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...