Terlihat Venus yang keluar dari mobil. Aku mengangkat kepalaku, menuntun tangannya untuk masuk.
"Aku kangen, Nay." Venus memelukku.
"Aku juga kangen, Ven." Aku melirik ke belakng. "Suami kamu?" tanyaku.
"Masih ada di mobil kayaknya," ujarnya.
Aku hanya mengangguk dan mempersilakan Venus duduk. Aku meninggalkannya sejenak untuk membuatkan minuman.
"Eh, Nak Alif sudah datang," kata mama.
Aku menghentikan langkahku. Dia datang. Ya, bagaimana tidak. Venus kan ada di sini. Mana mungkin dia tidak datang untuk menemani Venus. Apalagi saat ini Venus tengah mengandung.
Sepanjang jalan menuju meja aku hanya menundukan kepala dan menggenggam erat tangan Faiz.
Bukan tentang malam ini yang membuatku gugup, tapi karena aku tahu Venus datang. Karena Venus datang, Alif juga pasti datang. Itu yang membuatku gugup. Setelah sekian lama aku berusaha untuk melupakannya, kini aku harus melihatnya lagi. Aku hanya takut perasaan ini muncul lagi.
Aku belum melihat Alif. Bahkan rasanya aku tak ingin melihatnya. Sedari tadi aku menundukan kepala. Hingga seorang laki-laki masuk dan memberikan salam.
"Maaf, saya terlambat," katanya setelah ucapan salam.
"Sayang, duduklah disini," ujar Venus.
Sayang. Siapa dia. Kenapa Venus memanggil pria itu sayang.
Ketika melihatnya, tanpa sengaja pandanganku jatuh pada laki-laki yang duduk di hadapanku.
Alif ... dia duduk di hadapanku. Siapa perempuan yang duduk di sudut kursi. Wajahnya tidak asing.
"Assalamualaikum, Inaya. Masih ingat sama Kakak? Kakak senang takdir mempertemukan kita lagi." Senyumnya masih sama. Dia orang yang menemaniku saat di Maroko.
"Waalaikumsalam, Kak Fatimah?" ucapku ragu. Kak Fatimah mengangguk.
"Nay, dia laki-laki yang melamarmu." Mama menggenggam tanganku.
Aku tertegun, bagaimana mungkin Alif yang melamarku. Dia sudah menikah dengan Venus, tapi kenapa dia melakukan ini.
"Ma, tapi ...." ucapanku terhenti saat Faiz menyenggol lenganku.
"Apa aku bilang. Ini akan menjadi kejutan terindah." Senyumnya merekah, terlihat sangat puas. Kulihat orang di sekelilingku mengunggingkan senyuman di bibirnya.
Ya Allah.. apa maksud semua ini. Aku bangkit dari tempat dudukku.
"Sebenarnya ini apa, sih?" suaraku ,meninggi, aku tidak bisa menhan emosiku.
"Nay ...." Alif ikut beranjak dari tempat duduknya.
Aku berlari meninggalkan mereka. Kujatuhkan tubuhku di atas tempat tidur. Entah apa yang aku rasakan. Ingin merasa senang pun rasanya tertahan.
"Nak Alif, pergilah. Temui Inaya di kamarnya. Faiz, temani dia." ujar mama.
🍀
"Nay ... buka pintunya."
Terdengar suara Faiz yang terus memintaku untuk membukakan pintu. Aku menutup telinga menggunakan bantal, tapi suara Faiz masih tetap terdengar. Hingga ada suara lain yang memanggilku.
"Nay, maaf kalau kedatanganku membuatmu tak suka. Aku dan keluargaku akan pergi kalau memang kamu gak mau melanjutkan proses ini. Aku minta maaf Nay, kalau pertemuan ini hanya menganggumu saja." Suara itu terdengar lirih, seperti memohon dengan ketulusan hatinya.
Mendengarnya, perlahan aku membuka pintu. Faiz memelukku dan membenamkan kepalaku di dadanya, ia membelai lembut kepalaku. Terlihat Alif hanya memandangiku dari sudut matanya.
Kulihat Faiz memberi isyarat agar Alif kembali turun ke bawah. Aku dan Faiz mengikutinya dari belakang. Sedari tadi aku bersembunyi di belakang Faiz. Ia menggenggam tanganku dan membiarkanku duduk kembali di samping mama.
"Nay, ini suamiku. Fahmi." Kuarahkan pandangan pada Venus, ia melingkarkan lengan pada laki-laki itu.
Saat ini aku merasa takdir sedang mempermainkanku.
Langit kelabu seolah mengerti isi hati. Ia menurunkan air matanya. Entah sedang berbahagia atau sebaliknya. Sejenak aku melirik ke arah pintu. Rasa tak percaya masih menjebakku dalam sebuah lingkaran pemikiran. Semua hal ini membuat banyak pertanyaan di dalam hati dan kepala. Haruskah aku mengeluarkan semuanya saat ini juga.
"Nay, gimana?" abah menegurku. Suaranya membuyarkan lamunanku.
Aku menyenggol lengan Faiz.
"Ada apa?" tanyanya.
"Aku mau ngomong sama Alif," ujarku. Terlihat Faiz mengerutkan dahinya.
"Kenapa, Nay? Ada yang ingin kamu tanyakan pada nak Alif?" mama menatapku, sedang aku hanya menunduk.
"Nah, iya, Ma. Katanya ada banyak hal yang mau ditanyakan." Faiz menunjukkan deretan giginya.
Aku berbalik dan hanya menyunggingkan senyuman pada mama, setelah memberikan cubitan kecil di lengan Faiz. Suara tawa pecah seketika melihat kelakuanku dan Faiz.
"Ehem ...." aku membersihkan tenggorokanku meski tidak ada yang mengganjal. "bolehkah aku bicara dengan Alif?"
"Tentu saja, silahkan," ucap wanita paruh baya yang duduk di samping ayah kak Fatimah.
"Tapi ... tidak di sini," kataku.
Abah mengangguk. "Faiz temani adikmu ini," titahnya.
Setelah itu Faiz menuntun tanganku menuju ke luar rumah. Di sana ada sebuah ruangan terbuka dengan beberapa kursi di dalamnya. Kudengar derap langkah Alif yang mengikuti kami dari belakang.
"Yo, monggo bicara." Faiz menyandarkan punggungnya ke dinding ruangan, menatapku dan Alif yang sudah duduk di dua kursi yang saling berhadapan.
"Alif ...." panggilku ragu
"Nay ...." panggilnya.
🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spiritual[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...