Part 24

4.4K 231 6
                                    

Pagi hari ini berbeda dengan hari-hari kemarin. Di mana suara tangis belum meramaikan rumah sederhana yang dipenuhi kebahagiaan.

Terlihat pasangan yang tengah bermain dengan buah hati mereka di pekarangan rumah.

Setelah melahirkan, Inaya terlihat lebih bersemangat. Terlebih ketika melihat anak laki-laki pertamanya, yang digendong oleh suami tercinta.

Di sana, Alif terlihat bahagia bisa menimang putra yang diberi nama Fauzan. Ia berharap, kelak anaknya bisa menjadi umat Rasulullah yang tangguh. Penegak agama Islam yang adil lagi bijaksana.

Kebahagiaannya jelas terpancar dari sorot mata dan ekspresi wajah yang ia perlihatkan saat ini. Inaya turut tersenyum ketika melihat suami dan anaknya.

Ponsel di atas nakas berdering, ketika Inaya hendak menghampiri kesayangannya.

Bukan ponselnya, melainkan ponsel suaminya.

"Mas, ada telepon, nih."

Setengah berlari, Inaya memberikan ponsel dan mengambil alih Fauzan dari suaminya.

Ibu satu anak itu kini tengah menggendong putra pertama yang lahir dari rahimnya. Seorang anak lelaki yang Allah titipkan, sebagai nikmat-Nya yang patut disyukuri.

Pernah Inaya menonton berita, siang itu bersama suaminya. Ketika itu dia tengah mengandung, dengan usia kehamilan tujuh bulan. Dijelaskan pada berita itu, bahwa ada seorang bayi yang ditemukan tewas, dan mayatnya berada di dalam dus dengan keadaan terikat. Sungguh, hal itu membuatnya merinding dan geram. Bagaimana bisa ada orang yang tega membunuh bayi tak berdosa. Inaya semakin geram saat mengetahui alasan kematian bayi mungil itu. Karena hubungan di luar nikah. Alasan yang membuat diri semakin terhina sebagai seorang perempuan.

Kalau saja dia dititipi seorang anak perempuan oleh Allah, tentu Inaya berharap tidak terjadi hal serupa kepada putrinya. Di zaman yang semakin canggih, semakin dipermainkan pula akidah yang berlaku. Kalau tidak bisa memegang Kitab Allah sebagai pedoman hidup, tentu kehidupan menjadi tidak terarah. Bertindak semaunya, tanpa memikirkan dampak yang bisa terjadi. Bahkan tanpa memedulikan bahwa semua perbuatan akan mendapat hisabnya di akhirat kelak.

Suara tangis Fauzan membawa Inaya kembali pada kenyataan. Bahwa sekarang dia telah diamanhi seorang anak lelaki yang akan menjadi penerusnya, dan menjadi tanggung jawabnya. Inaya harus benar-benar mendidik anaknya, sehingga dunia luar tidak banyak memengaruhi dan ikut campur dalam kehidupannya. Menerapkan bahwa akhlak mulia adalah yang paling utama. Dan, jangan pernah meletakkan dunia di dalam hati.

Inaya menatap suaminya, laki-laki yang beberapa tahun belakangan ini menemani hari-harinya. Berjalan menghampiri, dengan raut wajah yang tidak mengenakan.

"Ada apa, Mas?" tanyanya.

Inaya memerhatikan suaminya dengan saksama, melihat setiap perubahan air muka yang ditunjukkan.

"Mas," panggilnya ketika tidak ada jawaban.

Bukannya mendapat jawaban, Inaya justru mendapat pelukan mendadak dari suaminya.

"Alhamdulillah, alhamdulillah," ucapnya.

Tangannya masih melingkar, memeluk istri dan anaknya.

Great QadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang