Enam bulan kemudian.
Alif POV
Suara rintihan Inaya membuatku terbangun. Bibirnya terus bergumam tidak jelas meski matanya terpejam.
Mimpi buruk lagi?
Entah kenapa akhir-akhir ini Inaya sering bermimpi buruk. Bulir-bulir keringat mulai jatuh, tetes demi tetesnya mengalir melewati pelipisnya. Aku mengusap pelan pipi kanannya dengan ibu jariku. Menepuknya pelan agar Inaya tersadar. Sedetik kemudian matanya mengerjap.
"Mimpi buruk lagi?"
Aku menyandarkannya ke kepala ranjang. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk. Rambutnya basah oleh keringat.
"Minum dulu, Ay."
"Makasih, Bib," ujarnya.
Aku tersenyum. Dari beberapa bulan terakhir ini dia sering memanggilku Bib. Alasan klasik, bawaan dedek bayi katanya. Padahal aku tahu bukan itu alasan sebenarnya.
"Mau cerita?"
Kulihat ia menggeleng.
Aku menghela napas pelan. Inaya sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Setiap kali ia bermimpi buruk, tidak mau memberitahu apa isi mimpi itu. Ketika ditanya, ia hanya akan menjawab "mimpi buruk".
"Yaudah kamu tidur lagi ya," tawarku. Ia masih menggeleng.
"Pinggang aku sakit."
Sorot matanya sendu. Keringat masih bercucuran melewati pelipisnya.
"Sini, biar aku pijat ya."
Aku mengelus perutnya. "Anak Abi jangan nakal ya, kasihan Umi."
Usia kandungannya yang sudah mencapai usia tua membuatku harus siap siaga.
"Udah, Bib. Kamu tidur lagi aja, nanti siang kan ada launching produk baru SDC."
Ia menoleh menatapku. Aku beringsut untuk duduk di depannya.
"Kamu lebih penting dari apa pun, Ay."
Aku merengkuhnya. Mengecup puncak kepalanya.
"Maaf ya aku banyak repotin kamu."
"Kamu bilang apa sih? Kamu gak repotin aku. Udah ya, jangan terlalu banyak pikiran. Mau cerita sama aku?" tanyaku lagi.
Bisa kurasakan ia menggeleng. Membuatku menghela napas lagi. Tidak biasanya dia begini, dia selalu menceritakan berbagai hal yang dialaminya. Bahkan sampai hal terkecil pun. Tapi saat ini dia bungkam, aku juga tak berniat untuk memaksanya bercerita.
"Kamu tidur lagi ya, atau mau aku bacakan cerita biar kamu ngantuk?" tawarku. Namun, ia tetap menggeleng.
"Kita tidur aja," ajaknya.
Aku mengangguk dan membaringkannya. Kutarik selimut sampai batas dagu. Mengecup kening dan mengusap kepalanya sebelum berbaring disisinya.
🍀
Inaya POV
Rasa panas mulai menjalar ke tubuhku.
"Kenapa kamu menikah dengannya? Kenapa!" bentaknya.
Tempat ini kosong, sunyi. Berteriak pun rasanya tidak mungkin ada yang mendengar.
Aku masih mematung. Melihatnya menumpahkan segala amarah di hadapanku.
"Bukankah kita pernah berjanji untuk menikah? Bukankah dulu kamu bilang kita masih bisa bersama. Setelah kamu putuskan hubungan kita dan pergi ke negeri orang gitu aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spiritual[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...