Rona bahagia terpancar di setiap wajah anggota keluarga yang datang ke rumah Alif. Bayi mungil yang lahir beberapa hari lalu itu kini menjadi pusat perhatian. Banyak mata yang melihatnya, berdecak kagum.
Bayi mungil itu tertidur dengan tenang. Wajahnya terlihat damai. Tidak terusik meski suara dari para tamu cukup bising. Keluarga dan tetangga sekitar yang datang, memberikan ucapan selamat.
Inaya yang sudah bisa melakukan kegiatan sehari-hari tidak, terlalu sering berbaring. Ia duduk di samping anaknya. Alif sedari tadi sedang berbincang dengan dengan sanak saudara yang sengaja datang untuk melihat anaknya, sekaligus memberikan ucapan selamat.
"Yah batal deh Nay rencana aku buat jodohin anak kita," ucap Venus yang duduk di samping Inaya.
Perempuan itu memangku anaknya, Zidan yang kini sudah bisa berjalan.
"Kamu itu ya Ven, anak masih kecil udah mau jodoh-jodohan aja." Inaya terkekeh hingga matanya menyipit.
"Ya habisnya, kan biar kita jadi makin dekat kalau besanan." Venus keukeuh dengan keinginannya.
"Kayak film Anandhi yang dijodohin dari kecil," ujar ibu baru itu.
"Ya bukan gitu lah, Nay. Kita emang jodohin anak-anak dari kecil. Tapi kan gak kayak Anandhi juga, Nay," balas Venus.
"Iya iya, Ven. Aku paham kok."
"Oh iya, mau kamu kasih nama siapa, Nay? Zayd, Zayn, atau apa?" tanya ibu satu anak itu dengan antusias.
"Kamu kok kayak nyaranin nama anak aku dari Z ya?" ujar Inaya bercanda.
"Kan biar sama, Nay."
Inaya berbalik saat namanya dipanggil. Alif berdiri tidak terlalu jauh di belakangnya, meminta Inaya untuk menghampirinya.
"Aku udah ada nama, rembugan sama Alif semalam. Namanya gak dari Z, tapi ada Z nya kok. Kalau aku punya anak lagi, nanti aku kasih nama dia dari Z deh."
Inaya berdiri, berbalik untuk menghampiri suaminya. "Aku dipanggil Alif, sebentar ya." Ia berjalan meninggalkan Venus yang tengah duduk bersama anaknya.
Semakin siang tamu yang berniat menjenguk Inaya dan melihat anaknya semakin sedikit, mereka pulang satu per satu. Begitu juga dengan sanak saudara.
Alif memanggil Inaya karena anak mereka menangis. Tadinya Inaya duduk di samping anaknya. Tapi saat berbincang dengan Venus, ia duduk di kursi dekat jendela kamarnya
Setelah menenangkan bayi mungilnya. Inaya berniat kembali menghampiri Venus, tapi perempuan itu sudah terlebih dahulu menghampiri dirinya.
"Nay, kita pulang dulu ya," ucap Venus. Kali ini Zidan tengah berada dalam gendongan ayahnya.
"Lho, kalian gak nginep?" tanya Alif.
Ruangan memang sudah cukup sepi. Tinggal beberapa orang terdekat saja. Mama dan Faiz serta Abahnya juga sudah berpamitan beberapa menit yang lalu.
"Enggak kayaknya, Zidan suka rewel kalau di rumah orang lain. Belum terbiasa," jawabnya.
"Kalian hati-hati ya. Sering-sering berkunjung," ujar Inaya saat sahabatnya berjalan keluar ruangan. Ia mengantarnya sampai ke depan pintu.
Semenjak persalinan beberapa hari yang lalu, Inaya dan Alif terlihat sumringah. Binar bahagia seolah tak pernah hilang dari sorot mata mereka. Senyum selalu terlukis di bibir keduanya, juga keluarganya.
🍀
Kedua orang tua baru itu tengah duduk di ranjang tidur, bersama bayi mungil yang berbaring. Matanya bergerak liar, seolah sedang meneliti keadaan sekitar.
"Jadi fix nih namanya itu aja?" tanya Inaya. Ia memainkan jari-jari mungil putranya, sesekali mengajaknya mengobrol meski tahu bayi itu tidak akan menjawab.
"Iya, Ay. Itu udah bagus lho." Alif mengusap kepala bayi mungil itu.
"Apa gak kepanjangan?" Inaya menimang-nimang nama anak mereka.
"Nama intinya sih enggak, kalau El Sharkan itu ya sebagai nama keluarga." Ia menatap istrinya. "Jadi, semua anak kita nama belakangnya pakai El Sharkan," jelasnya lagi.
"Semua? Emang ada berapa?"
"Katanya kita mau bikin kesebelasan,." Ayah baru itu menaik-turunkan alisnya.
Inaya terkekeh mendengar penuturan suaminya. "Haih, ngaco. Kamu aja yang ngelahirin kalau gitu."
"Yah, Ay, masa gitu. Ya udah deh, segimana kita dipercaya sama Allah aja buat ngurus berapa anak." Ia mengusap pipi istrinya dengan ibu jari.
Inaya masih terlihat menimang-nimang nama yang akan disandang putranya. Namanya bagus, Inaya juga suka.
"Ya udah, kita pakai nama itu," ujar Inaya menyetujui.
"Fauzan Muhammad Al-Fatih El-Sharkan."
Alif mengucapkan kembali nama anaknya.
"Tapi kasihan nanti dia kalau ujian-ujian gitu. Namanya kan panjang, nanti dia capek menghitamkan bulatan namanya di lembar ujiannya," kata Inaya.
"Ya, nanti kalau dia udah besar, kan belum tentu ujiannya masih menghitami lingkaran di lembar jawaban gitu."
"Iya juga sih." Inaya terlihat bimbang lagi.
"Atau gak, nanti namanya disingkat aja," usulnya. Alif menatap istrinya untuk meminta persetujuan.
"Disingkat? Maksudnya disingkat gimana, Bib?"
"Jadi, Fauzan Muhammad AFES." Alif menjentikkan jarinya, seolah itu adalah ide yang bagus.
"Kamu bisa aja." Perempuan itu tersenyum. "Fauzan... aku suka nama itu." Inaya juga menjentikkan jarinya menyatakan persetujuan.
Saat mereka tengah berunding tentang nama sang anak. Bayi mungil yang diberi nama Fauzan itu merengek. Sepertinya ia mengantuk. Dengan segera Inaya menggendong Fauzan dalam pangkuannya. Alif beranjak dari ranjang untuk mengambil minum.
Fauzan kecil terbilang penurut diusianya yang baru beberapa hari. Ia hanya menangis sebentar, kemudian tertidur dengan lelap.
Jam tidur Inaya sedikit terganggu saat Fauzan menangis tengah malam, atau dini hari. Tapi, itu tidak membuatnya kesal. Inaya tahu ini adalah kewajiban seorang ibu. Ia berjanji akan menjadi ibu yang baik, serta menjadi teladan untuk anak-anaknya. Semua itu juga berlaku untuk Alif. Dia menjadi kepala keluarga. Dan kini ia akan menjadi teladan bagi anaknya, apalagi anak laki-lakinya.
Semakin tahun jaman semakin keras. Mereka tidak mau anaknya menjadi seseorang yang tidak bermanfaat. Dia harus bisa memegang teguh nilai-nilai agamanya. Menjadi penegak keadilan. Alif dan Inaya akan berusaha mendidik anaknya sebagaimana Rasulullah mendidik anak-anaknya. Mereka berharap anaknya bisa menyandang sifat-sifat baik dari Rasul Allah.
Pada akhirnya mereka bersyukur, takdir berbaik hati mempertemukan mereka. Bersyukur Allah mempersatukan mereka dalam sebuah ikatan suci. Dan kini mereka merasa sempurna saat Allah memberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk mendidik hamba-Nya.
Inaya merasa beruntung Allah mempersatukan dia dengan cintanya. Cinta yang sempat membuatnya melarikan diri dari kenyataan. Dan kini ia menyadari bahwa hal itu salah. Ia tahu bahwa Allah selalu berbaik hati pada hambaNya. Allah memang Maha Adil, tapi manusia kadang tidak menyadarinya. Saat senang mereka bersyukur kepada-Nya. Namun, ketika musibah menimpa. Tak sedikit juga yang menyalahkan Allah atas musibah yang datang.
Sesungguhnya Allah lebih tahu yang kita butuhkan dibanding yang kita inginkan. Dia akan memberikan sesuatu itu pada waktu yang tepat.
🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spiritualité[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...