Tidak sampai sehari penuh aku tinggal di rumah sakit karena tak sadarkan diri saat di pemakaman tadi. Sore hari Alif sudah mengajakku pulang, tidak ke rumah kami, tapi ke rumah orang tuanya.
Sesampainya di sana, ternyata ada banyak orang yang datang untuk mendoakan Ayah. Terlebih Ayah adalah orang yang cukup disegani, tak sedikit para warga sekitar yang mengaguminya. Berkat kebijaksanaan dan kedermawanannya, Ayah jadi sosok yang dikenang.
Alif mengantarkanku ke ruang keluarga. Acara tahlil dilakukan di ruang tengah. Di ruang keluarga ada para akhwat yang tak lain adalah Ibu, Mama, kak Fatimah, dan ada beberapa ibu-ibu lainnya.
Setelah mengantarku, Alif berjalan ke ruang tengah untuk mengikuti acara.
"Cie, yang lagi hamil muda."
Celetukan kak Fatimah berhasil membuat mataku membelo. Apa-apaan kak Fatimah ini, di saat banyak orang malah berbicara seperti itu. Aku kan jadi ... malu.
Di dalam gendongannya Fahira terlihat sedang tertidur. Bayi berusia tiga bulan itu nampak tenang tidur di dalam pangkuan ibunya.
"Kak Fatimah ini apaan sih."
Aku menyenggol pelan tangannya.
"Fahira bakal punya temen nih," godanya lagi.
"Kakak ih."
Meski begitu aku mengamininya dalam hati. Terbersit harapan dalam hati. Tanpa sadar aku mengelus perutku yang masih terlihat rata.
"Jaga kesehatan kamu ya, Nay. Apalagi ini kehamilan pertama kamu," ujarnya lagi.
"Uhm, iya Kak." Aku mengangguk.
Kulihat dengan ekor mataku, Umi dan Ibu sedang khusyuk memanjatkan doa untuk Ayah. Suara lantunan doa dari ruang tengah pun terdengar serempak sampai di ruang keluarga.
🍀
Para tamu pengajian sudah meninggalkan rumah satu jam yang lalu. Umi dan Abah juga sudah berpamitan. Begitu pun Faiz.
Faiz masih sama, setiap disinggung tentang pernikahannya. Ia tetap menjawab nanti, belum ada yang pas katanya. Apa aku harus turun tangan dalam memilih jodoh untuknya? Sebenarnya aku sudah ada kandidat untuknya. Mungkin kalau dalam beberapa bulan ini Faiz belum menemukan tulang rusuknya, aku akan mengenalkan perempuan itu padanya.
Kak Fatimah dan Fahira menginap di rumah Ibu, sedangkan kak Rahman sendiri tidur di rumahnya, karena katanya di lingkungan rumahnya sedang banyak pencuri. Jadi dia agak was-was juga kalau harus meninggalkan rumah.
Aku juga menginap di sini. Awalnya aku menolak dan ingin pulang ke rumah saja, tapi Ibu tetap meminta. Mungkin besok pagi aku dan Alif akan langsung pulang. Lagi pula Alif masih harus berangkat ke kantor untuk mengurus beberapa berkas yang belum ia tangani.
Besok Alif akan berangkat ke Jakarta untuk mengambil mobil yang sengaja di tinggal di rumah Venus saat mendengar kabar duka dari Ayah.
"Udah tidur, Ay?"
Suara itu membuyarkan lamunanku tentang anak.
"Eh, belum Mas."
Aku beranjak duduk di ranjang ketika melihat Alif berjalan menghampiriku.
"Dedek bayinya udah tidur?"
Ia mengsusap perutku sekilas seraya duduk di sampingku.
"Mas, mana aku tahu."
Aku terkekeh seraya menyenggol lengannya.
Lengkungan senyum terbentuk di bibir tipisnya.
"Mas ganti baju dulu gih, Nay bikinin teh atau kopi?" tawarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spirituální[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...