Part 8

6K 358 7
                                    

"Nay, pasti deg-degan banget ya?" Venus menggenggam jemariku erat. Dingin. Mungkin itu juga yang bisa dia rasakan.

Bagaimana jantungku tidak berdetak dengan cepat hingga mengakibatkan rasa gugup yang teramat. Hari ini adalah hari pernikahanku.

Awalnya, aku tidak pernah menyangka akan berakhir seperti ini. Dengan semua perkiraan-perkiraanku tentang Alif dan Venus. Nyatanya dialah yang menjadi jodohku saat ini.

Setelah malam pertemuan kedua, keluargaku dan juga keluarga Alif membicarakan rencana pernikahanku dengannya. Tentunya setelah aku menyetujui dan menerima lamaran Alif. Mama dan abah tak ingin menunda terlalu lama, akhirnya dipilihlah waktu terdekat.

Semua persiapan cukup matang. Kak Faiz juga ikut andil dalam mempersiapkan pernikahanku. Semua dekorasi didominasi warna abu-abu dan kuning keemasan. Terlihat elegan dan memesona. Semua adalah usulan dari mama, abah dan juga kedua orang tua Alif. Aku akui mereka sangat tahu mana yang bagus.

Venus juga sudah menginap satu malam di rumahku. Katanya dia ingin menemani malam-malam sebelum aku berada di pelaminan. Venus banyak bercerita tentang pernikahannya dulu. Bagaimana perasaan-perasaan yang dirasakannya. Rasa gugup, gelisah, haru, bahagia, semua tercampur seperti nano-nano. Kalau saja dulu aku tidak tersulut api cemburu dan salah paham tentang pernikahan Venus yang kukira dengan Alif. Aku takkan melewatkan pernikahannya.

"Nay, kamu tuh cantik. Lihat kan." Venus memelukku dari belakang.

Aku menatap diriku di depan cermin. Kedua sudut bibirku seolah tertarik begitu saja.

"Nay, kamu sudah siap? Alif dan keluarganya sudah datang." Mama membuka pintu dan menghampiriku.

Aku bergeming. Mama berdiri di belakangku, menatap cermin yang ada di hadapan.

"Kamu, cantik." Mama membelai lembut kepalaku yang tertutup khimar berwarna putih. "Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin malam kamu datang, dengan suara tangisan yang indah, Mama sama Abah menimang-nimang, dan kakakmu senang sekali menciumimu saat Mama sedang menggendongmu." Mama mengecup puncak kepalaku. "Malam ini, kamu akan menjadi milik orang lain. Kamu akan tetap menjadi putri kecil kami, Nay. Jadilah istri yang baik untuk suamimu." Segelintir air mata menetes dari sudut matanya.

Aku menggenggam tangan Mama, meremasnya lembut. Berharap hal itu dapat menyalurkan perasaanku saat ini. Aku tak mampu berkata, air mata juga menetes dari sudut mataku. Entah harus bahagia atau bersedih. Aku bahagia, akhirnya aku bisa bersama orang yang aku inginkan. Sedih, bahwa aku akan meninggalkan mama dan abah, juga Faiz.

"Sudah, sudah, Nay. Jangan nangis, kamu kan mau nikah. Ayo turun, semua sudah menunggumu," ujar mama.

Aku berdiri, mama menuntunku melewati tangga. Kulihat sudah banyak orang yang hadir di ruang tengah. Keluarga besar mama dan abah turut hadir, begitu juga keluarga dari pihak Alif.

Akad nikah dilaksanakan di dalam rumah, sedangkan pelaminan dibuat di halaman belakang rumah.

Aku menuruni satu per satu tangga yang akan membawaku pada acara sakral pagi ini. Alif sudah duduk di depan abah, di sampingnya ada tempat kosong. Pastilah untukku.

Abah mulai mengucapkan ijab. Setelahnya, Alif menjawab. Suaranya lantang, tidak terbata-bata sama sekali. Aku terharu mendengarnya.

"Sah?" bapak penghulu itu membuyarkan lamunanku.

"Sah!" ucap saksi dan semua orang yang berada di dalam ruangan ini.

Bapak penghulu mengakhirinya dengan doa.

Setelahnya aku mencium punggung tangan Alif. Alif mengusap lembut kepalaku. Rasa bahagia membuncah. Kupu-kupu di dalam perutku siap terbang keluar.

Setelahnya, semua orang di dalam ruangan bergegas menuju halaman belakang. Memang tidak banyak, hanya kedua keluarga besar dan beberapa teman-temanku, juga teman-teman Alif.

Mama dan abah mengantarku ke pelaminan, begitu juga orang tua Alif.

🍀

Malam tiba begitu cepat. Setelah semua acara selesai, para tamu undangan dan keluarga pun sudah berpamitan untuk pulang.

Malam ini aku dan Alif menginap semalam di rumah abah. Besok pagi Alif akan mengajakku ke rumah yang sudah ia siapkan, begitu katanya.

Setelah sekian lama perasaan ini terkurung dalam sangkarnya. Akhirnya hari ini terbebas juga. Dengan orang yang memang aku inginkan. Sebenarnya aku tidak terlalu berharap bisa bersamanya, karena aku pikir dia sudah bersama yang lain. Tetapi takdir berkehendak lain. Di saat aku mulai melepas harapanku terhadapnya, dia datang dengan sejuta harapan yang meminta untuk kugenggam.

Suara ketukan pintu cukup membuatku kaget. Jantungku mulai berdebar kencang. Tidak biasanya seperti ini. Karena dulu aku tahu orang yang mengetuk pintu pasti mama, kalau tidak ya Faiz. Tapi kali ini berbeda, aku yakin dia bukan mama atau pun Faiz.

"Assalamualaikum." Nah, benar 'kan kalau itu bukan dua orang yang biasanya mengetuk pintu kamarku. Duh, aku jadi bingung sendiri. Aku beranjak dari kursi di depan meja rias. Berdiri menjauh dari kursi beberapa langkah. Kemudian kembali lagi ke kursi.

"Assalamualaikum, Ay?" salam kedua yang terucap. Dia seperti bertanya kalau aku sudah tidur atau belum.

Aku mencoba meredam debaran jantungku dan memasang mimik wajah senormal mungkin. "I-iya, tunggu sebentar." Aku bangkit berjalan menuju sumber suara.

Sebelum membuka pintu aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Setelah kurasa cukup tenang, aku memutar kenop pintu dan membukanya perlahan.

"Waalaikumsalam," jawabku. kulihat dia menampakkan sedikit kepalanya untuk melihat kepadaku sebelum masuk. "Masuk, Al. Eh, maksudku, Mas." Aku membungkam mulutku sendiri.

"Aku masuk, ya?" Alif mendorong pintu perlahan sehingga terbuka lebih lebar dari semula.

"I-iya, Mas." Aku menunduk. "Rasanya aneh kalau aku menyebutnya dengan kata Mas," gumamku.

"Apa kamu mengatakan sesuatu?" tanyanya.

"Eh, nggak kok." Kali ini aku gugup, gugup sekali.

Alif terkekeh. "Kamu merasa aneh memanggilku dengan kata Mas? Sebenarnya aku juga merasa aneh sih." Ia menopang dagunya dengan sebelah tangan.

"Uhm ...." bahkan aku bingung kata apa lagi yang harus aku ucapkan. Aku hanya bisa menunduk.

"Kita kan udah sah, Ay. Sampai kapan kamu menundukkan pandangan dari suamimu ini." Ya ampun, aku kira dia pendiam. Sikapnya yang dingin membuatku tak percaya dia berkata seperti ini.

"Ay?" sapanya tepat dihadapanku.

"I-iya," jawabku terbat.

"Oke, gini deh. Kamu gak perlu manggil Mas ke aku, manggil kaya biasanya aja, gapapa kok," ucapnya.

Aku mendongakkan kepala dan menatap tepat pada kedua bola matanya. Ia balik menatapku, tatapannya teduh, seculas senyum terbentuk di bibirnya. Sedetik kemudian aku menundukkan kepalaku lagi. "Kan gak sopan kalo manggil nama gitu," ucapku.

"Hem ... ya panggil yang lain aja, sayang misalnya," Alif menaik turunkan kedua alisnya.

"Ish, gak ah," bantahku. Aku menutup mulut dengan tangan kananku. Sadar bahwa saat ini Alif kan suamiku. Harusnya aku tidak berkata seperti itu.

"Kamu ini, Ay." Alif mendekat ke arahku, semakin dekat. Bahkan jarak pun hanya beberapa senti saja.

"Eh, eh ... kamu mau ngapain?!" spontan aku mundur satu langkah.

"Ay, kita udah sah. Sebentar." Alif menyentuh nashiyah-ku dengan ibu jari kanan. Dia membacakan doa. "Allahumma inni as 'aluka min khayriha wa khairi ma jabaltaha 'alaihi. Wa 'audzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha 'alaihi." Tanpa aba-aba setetes air mata jatuh membasahi pipiku. Alif berdoa untuk kebaikanku.

"Terima kasih kamu selalu menungguku, Ay. Maaf aku sempat mengabaikanmu dulu," bisiknya. Sesaat setelah ucapan itu dia mengecup keningku. Tanpa menjawab aku membawa tangannya, kucium punggung telapak tangannya, berharap keridaan darinya. Alif mengusap kepalaku lembut.

🌸

Great QadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang