Part 16

4.2K 230 0
                                    

Venus POV

Suara tangis Zidan menghentikan langkahku untuk membuka pintu. Suara bel sudah berbunyi sebanyak tiga kali. Atau mungkin lebih. Untunglah Fahmi sedang ada di rumah. Kudengar itu suara Alif. Ya, meskipun sudah beberapa tahun ini aku tidak bertemu dengannya dan saat bertemu pun itu di hari pernikahannya dengan Inaya. Aku masih hapal dengan suaranya.

Mengingat hal itu aku jadi teringat beberapa tahun silam, saat Alif menyatakan perasaannya padaku. Di sana Inaya tengah duduk di kursi yang berbeda. Sejak awal mengenal Alif aku tahu ada yang janggal antara Alif dan sahabatku Inaya. Bagaimana tidak, sejak awal masa orientasi kampus, aku sering melihat Alif yang mencuri-curi pandang kepada Inaya. Tatapannya tak hanya sekedar tatapan kosong. Seperti ada makna yang mendalam.

Pernah sekali aku menanyakan tentang Alif pada Inaya saat kuliah dulu. Tapi dia bilang dia tidak mengenalnya. Suatu hari tanpa sengaja aku melihat data diri Alif, kulihat dia berasal dari sekolah yang sama dengan Inaya. Entah kenapa sejak saat itu aku jadi tertarik mengulik kisah di balik mereka berdua. Dan ya seperti yang aku duga, mereka memang saling mengenal. Bahkan pernah menjalin hubungan saat SMA.  Ada salah seorang teman sekelasku yang dulunya juga bersekolah di tempat yang sama dengan mereka berdua. Aku menanyakan padanya tentang banyak hal.

Aku tahu Alif menyukaiku sejak tingkat tiga. Tapi aku tahu apa alasan dia menyukaiku. Aku juga tahu perasaan Inaya saat dia membantu Alif agar dekat denganku.

Anak itu memang terlalu baik. Dia bahkan tidak peduli dengan perasaannya sendiri. Dengan senang hati dia malah membantu orang yang dicintainya agar dekat denganku. Ya aku tahu, aku tahu kalau Inaya masih menaruh rasa itu pada Alif. Terbukti saat dengan yakinnya dia memutuskan hubungannya dengan Gio.

Sebab itu aku tidak menerima pernyataan cinta Alif saat malam itu. Dan aku memutuskan untuk menceritakan semuanya. Kalau sebenarnya aku tahu apa yang pernah terjadi antara Alif dan Inaya. Saat itu juga Alif menyadari bahwa di dalam lubuk hatinya masih ada perasaan untuk Inaya.

Sejak saat itu dia memutuskan untuk mendekati Inaya lagi. Sayangnya saat wisuda tiba, pihak kampus mengumumkan bahwa Inaya mendapat beasiswa ke Maroko. Hal itu membuat Alif sempat menggugurkan niatnya untuk mendekati Inaya. Tapi, karena keyakinan yang kuat akhirnya Alif membulatkan tekadnya untuk menunggu Inaya. Dia bahkan sudah bicara kepada kedua orang tua Inaya dan Faiz—kakaknya.

Satu tahun setelah lulus kuliah. Fahmi mendatangiku dengan niat tulusnya untuk menjadikanku pendamping hidupnya.

Saat itu aku yang tengah mengurus bisnis papa memang masih bingung dan tidak langsung menjawab. Tapi saat kak Mer meyakinkanku untuk menerimanya, dan juga papa dan mama sudah menyetujui, akhirnya aku menerima pinangannya. Aku sempat merasa sedih saat Inaya tidak hadir di pernikahanku. Aku bisa memakluminya, karena jarak Maroko–Indonesia tidaklah dekat.

Entah takdir semacam apa yang menyelimutiku dan juga Inaya. Kami menikah dengan orang yang dulunya pernah mengisi kehidupan pada masa lalu. Fahmi adalah mantan kekasihku, dan saat ini dia menjadi suamiku. Begitu juga Inaya, dia menikah dengan mantan kekasihnya dulu. Aku selalu ingin tertawa kalau mengingatnya. Entahlah, rasanya begitu lucu. Takdirku dan Inaya serasa sama dalam hal ini.

"Yang, Zidan udah tidur lagi?"

Panggilan Fahmi menyadarkanku.

"Iya, Mas."

Aku segera keluar setelah membaringkan Zidan di ranjangnya.

Hari ini Alif datang, pastinya dia akan membawa mobil yang sempat di tinggal di sini beberapa hari yang lalu saat dia mendapat kabar ayahnya yang jatuh dari tangga.

"Hai, Lif," sapaku saat sampai di tengah-tengah mereka—Fahmi dan Alif—yang sedang mengobrol.

"Oh, hai Ven," sapanya seraya mengalihkan pandangan dari Fahmi.

"Bagaimana kabar Inaya? Dan Ayahmu?" tanyaku.

Aku duduk di samping Fahmi yang kebetulan duduk di kursi yang memang untuk dua orang.

"Inaya baik. Uhm, A-yah.. Ayah sudah tenang disana."

"Syukurlah. A-apa? Innalillahi. Aku turut berduka cita, Lif. Maaf belum sempat berkunjung kesana," ucapku. Aku cukup terkejut saat mendengar kabar duka ini.

"Oh ya, ada kabar baik juga. Kami, uhm maksudku aku dan Inaya akan segera menyusul kalian."

Ia menunjukkan senyum lebarnya, tanda bahwa ia sangat bahagia saat mengatakan itu.

Ada jeda untuk bisa mencerna apa yang Alif ucapkan. Sampai akhirnya aku mengerti.

"Whoa.. masya Allah, Alhamdulillah. Turut senang lho, Lif. Masya Allah, aku seneng banget ini."

Aku menutup mulutku karena sadar telah berteriak. Fahmi yang duduk di sampingku langsung menggenggam tanganku.

"Kamu ini, Yang. Seneng boleh, tapi gak sampai segitunya juga kali," katanya.

"Maaf, Mas. Habisnya aku senengnya banget sih. Akhirnya Inaya isi juga. Nanti Zidan ada temennya deh. Atau, bisa jadi jodohnya."

Aku terkekeh membayangkan kalau nantinya aku dan Inaya menjadi besan.

"Kamu ini, mikirnya udah kejauhan ah," ujar Fahmi membuatku merengut.

"Alhamdulillah, Ven. Aku juga senang. Doakan saja mudah-mudahan calon ibu dan anaknya baik-baik aja sampai hari H dia berjuang."

Alif tersenyum. Senyum yang dulu bisa membuatku terpikat. Kalau saja Alif bukanlah bagian masa lalu Inaya, mungkin dulu aku menerima pernyataan cintanya.

Aku menggelengkan kepalaku. Berpikir apa aku ini. Ah, dasar bisikan syaitan nih kayaknya.

"Kamu kenapa, Yang?" tanya Fahmi yang melihat tingkahku.

"Eh, enggak Mas, gak apa-apa kok."

Bagaimana mungkin aku bicara pada Fahmi kalau tadi aku memikirkan Alif.

"Hari semakin sore. Aku mau ngambil mobil aja, terus langsung pulang. Lagipula kasihan Inaya aku tinggal lama-lama," ujar Alif mengakhiri pembicaraan kami.

"Oke. Aku antar. Mobilnya di simpan di garasi sejak kamu menitipkannya."

Fahmi beranjak dari duduknya dan berjalan beriringan dengan Alif.

"Eh, aku titip salam sama Inaya dan calon anak kamu ya Lif."

Ia terlihat mengangguk. Aku kembali ke kamar untuk melihat Zidan.

"Syukron katsir, Mi, sudah menjaga mobilku." Alif terkekeh.

"Maaf sudah merepotkan," ujarnya lalu masuk ke dalam mobil.

"'Afwan. Santai saja, Lif. Oh ya, lain waktu aku dan Venus akan berkunjung ke rumah mu."

"Baiklah. Pamit ya. Sampaikan salamku untuk si kecil, Zidan. Assalamu'alaikum."

Deru mesin mulai terdengar.

"Waalaikumsalam."

🌸

Great QadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang