Part 11

5.5K 315 5
                                    

Matahari mulai meninggi. Jalanan padat merayap. Seperti ini lah potret kemacetan di Jakarta.

AC di dalam mobil sepertinya tidak bereaksi apa-apa. Masih terasa panas. Entah karena terbiasa di Jogja yang udaranya terbilang masih cukup segar, hingga saat kembali ke Jakarta rasa panas terasa berkali-kali lipat.

Kulihat Alif masih sibuk menatap ke depan. Sesekali menginjak rem, karena mobil di depan berhenti. Penglihatannya diedarkan ke kanan dan kiri jalan. Menatapku singkat dan tersenyum tulus. Terlihat lelah di raut wajahnya. Aku jadi merasa bersalah karena memaksanya ke Jakarta untuk menemui Venus.

Aku menggenggam lembut tangannya yang sedang memegang kemudi mobil, hingga ia menoleh dengan pandangan bertanya.

"Maaf." Aku menyunggingkan senyum dan tatapan nanar.

Alif menatapku dalam, ia tersenyum dan mengusap punggung tanganku dengan ibu jarinya. Tak ada kata yang keluar. Ia hanya mengangguk dan kembali pada aktivitas menyetirnya.

Masih butuh beberapa jam lagi untuk sampai di rumah Venus. Azan Zuhur mulai terdengar memenuhi setiap celah di dalam mobil. Suaranya berasal dari radio di dalam mobil. Ungtunglah di depan ada sebuah masjid. Alif menepikan mobilnya.

"Shalat dulu," ujarnya lembut. Tangannya membuka safety belt. Aku melakukan hal yang sama.

Setelah turun dari mobil, Alif menuntun tanganku ke dalam masjid. Aku beranjak untuk mengambil wudu setelah mendapat anggukan darinya. Shalat di lakukan berjamaah bersama para jamaah lain yang juga ikut menepi setelah mendengar seruan indah-Nya.

Setelah selesai, aku segera merapikan mukena yang kubawa. Berjalan keluar dan menunggu Alif datang.

Aku mengambil tangan dan mencium punggung telapaknya, setelah dia menghampiriku. Ada yang mengganggu pikiranku saat kutempelkan dahi pada tangannya tadi.

"Kamu anget, Mas." Aku membelalakkan mata menatapnya.

"Kan aku makhluk hidup." Cengirannya menunjukkan deretan gigi putihnya yang berjajar rapi. Tapi tidak bisa menyembunyikan mata lelahnya.

"Mas," seruku pelan. Aku menyentuh keningnya. Panas. "Ini angetnya bukan anget itu, ih." Aku menatapnya. "Kamu demam." Rasa cemas mulai menggelayuti hati.

"Aku nggak apa-apa, Ay." Tangannya menuntunku untuk kembali ke mobil.

Di dalam genggamannya aku semakin bisa merasakan suhu tubuhnya yang meningkat.

"Aku aja yang nyetir, ya?" pintaku ketika sampai di depan mobil.

"Loh? Enggak, biar aku aja. Aku nggapk apa-apa, Sayang." Alif menarik pelan hidungku, membuatku meringis.

"Mas, nurut deh." Aku melipat tangan di dada.

"Kamu juga nurut dong sama suami," godanya.

"Mas, ih. Kamu demam, kalau kenapa-kenapa gimana." Aku meminta maaf karena sudah meninggikan suara di depannya.

"Kan ada kamu, jadi aku gak bakal kenapa-kenapa." Alif mengedipkan sebelah matanya.

Aku mendengus. "Ada Allah, ya." Aku menatapnya. Kelelahan benar-benar terpancar di wajahnya. "Tapi kali ini aku aja yang nyetir. Mas istirahat, ya," ucapku lembut. "Jarak ke rumah Venus tinggal dikit lagi kok." Aku mendekatkan ibu jari dan telunjuk.

"Hm ...." Alif terlihat berpikir. "Ya udah, tapi hati-hati ya." Ia mengusap puncak kepalaku.

Aku mengangguk dan tersenyum. Segera membuka pintu di samping kursi kemudi untuknya. Melihat perlakuanku, ia tertawa kecil. "Ini sih kebalik ya, masa sampai dibukain pintu segala."

Great QadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang