Aku beranjak dari tempat duduk dan bersiap-siap. Hari ini aku diundang ke acara wisuda kak Fatimah. Kulihat di apartemennya sudah ada orang tuanya, dan ada seorang laki-laki yang tidak sempat kulihat wajahnya.
Sesampainya di kampus, aku duduk bersama keluarganya. Kak Fatimah lulus dengan nilai yang baik. Ia naik ke atas stage untuk menerima penghargaan. Keluarganya terlihat bahagia dan tak henti bertepuk tangan. Kulihat dari samping laki-laki itu tersenyum. Orang itu terlihat tidak asing.
Senyuman itu.
Aku terhentak saat melihat senyumannya. Senyuman yang terlihat sama dengan senyuman yang aku lihat beberapa tahun lalu, nyaris tak ada bedanya. Mengingatkanku pada senyuman Alif.
Denting ponsel membuyarkan lamunanku. Sebuah pesan masuk dari Venus.
"Nay, apa kabar? Aku kangen. Kapan kamu pulang? Nay, minggu depan aku nikah."
Pesan singkat itu membuat air mataku mengalir tiba-tiba. Kak Fatimah yang kembali dari stage, dia melihatku. Aku segera menyeka air mata dan berpamitan. Kak Fatimah sempat mencegahku, tapi perasaan di hati ini jauh lebih kuat untuk mengajakku pergi, hingga aku tak menghiraukan ucapannya.
Kak Fatimah dan keluarganya kembali ke apartemen tak lama setelah aku sampai. Ketukan pintu tidak sempat kudengar, tapi suaranya membuatku sedikit terkejut.
"Nay, kenapa?" tanyanya. Ia memelukku dari belakang. "Kakak khawatir." Kulihat tatapan matanya sama seperti tatapan Faiz saat mengkhawatirkanku.
Aku memeluk kak Fatimah, membenamkan wajahku. Ia mengusap punggungku seraya menenangkan. Menatap tepat di bola mataku, seolah menunggu penjelasan.
"A-Alif mau nikah, Kak," kataku di sela-sela tangis.
"Menikah?" tanyanya, ada nada terkjut di sana. Aku menganggukkan kepalaku.
Ketukan pintu membuat obrolan kami terhenti, bahkan sebelum aku menjawabnya.
"Fatimah, ayo kita pulang. Penerbangannya akan siap sekitar satu jam lagi. Kita harus ke bandara sekarang." Suara berat dari seorang ayah itu membuat kak Fatimah beranjak dan berpamitan.
Aku melepaskan pelukanku dan menatap ke dalam bola matanya.
"Selamat tinggal, Kak." Aku memaksakan senyuman.
"Jangan pernah bilang selamat tinggal. Kita gak pernah tahu dengan jalan takdir. Siapa tahu nanti kita ketemu lagi." Ia tersenyum lembut. "Ya udah, Kakak pulang, ya. Kamu baik-baik di sini. Ahmed bakal jaga kamu," jelasnya sebelum keluar.
🍀
Hari sudah mulai sore. Namun, ketukan pintu membuatku beranjak dari tempat tidur. Siapa yang berkunjung sore-sore begini. Biasanya kak Fatimah, tapi dia sudah kembali ke Indonesia tiga jam yang lalu.
"Assalamu'alaikum, Inaya." Terlihat kak Ahmed berdiri di sana.
"Waalikumsalam," jawabku.
"Mau keluar?" tanyanya. Kak Ahmed bersandar pada dinding di sampingnya.
Aku mengerutkan dahiku. "Maksudnya?"
"Fatimah sudah menitipkanmu padaku. Tentu saja aku akan menjagamu." Ia tersenyum lembut, dengan matanya yang penuh binar bahagia.
"Syukran, Kak Ahmed." Aku mengangguk dan tersenyum singkat.
"Ahmed aja," katanya.
Aku mengangguk, menutup pintu apartemen dan mengikuti langkah kak Ahmed yang berjalan di depanku. Hari ini dia mengajakku berkeliling di jalanan sekitar apartemen. Dia banyak bercerita tentang pengalamannya selama berada di Maroko. Sesekali aku tertawa mendengar cerita lucu darinya. Ibarat pelangi indah yang datang setelah hujan. Ia memberikan rasa bahagia di hati setelah badai tadi mengacaukanku.
🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spiritual[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...