Epilog

7.5K 275 3
                                    

"Assalamualaikum."

Perpaduan suara perempuan dan laki-laki terdengar serentak.

Keduanya masuk setelah mendapat jawaban. Ibu dan ayahnya terlihat sedang berbincang di ruang keluarga.

"Tumben kalian pulangnya barengan," ujar Inaya. Karena yang ia tahu, anak perempuannya tidak pernah mau jika berangkat atau pulang bareng bersama kakaknya.

"Adek udah insyaf tuh, Mi."

Laki-laki itu berkata sambil menahan tawa gingga matanya menjadi garis lurus, sedangkan adiknya merengut dan melayangkan cubitan pada lengan kanan kakaknya.

"Aw," ia meringis. "Adek apaan sih. Sakit tau." Ia mengusap bekas cubitan yang sedikit merah.

"Eh, Abang. Afwan. Ara padahal nyubitnya pelan lho." Gadis itu mengusap lengan kakaknya singkat.

Keduanya duduk di kursi terpisah, bergabung dengan orang tuanya.

"Jadi, apa yang bikin queen-nya Umi mau pulang bareng Abang?" tanya Inaya, yang ditanya hanya diam.

"Pulang sekolah, Ozan biasa nunggu Adek naik angkot dulu di belakangnya, tanpa sepengetahuan Adek." Ia melirik adiknya yang tengah tertunduk. "Tadi Adek lagi nunggu angkot, terus ada anak sebelah yang gangguin Adek."

Inaya mengangguk, paham.

"Yaudah, mulai sekarang kamu berangkat dan pulang bareng Abang kamu ya. Umi jadi khawatir," tuturnya lembut.

"Tapi, Mi—"

"Gak ada tapi-tapian. Lagian kan lebih aman kalau sama Abang," tambah Inaya. Zarra mengangguk mengiyakan.

"Minggu depan Abi sama Umi mau ke Jogja. Kontrol SDC pusat. Jadi, lebih baik kamu kalau kemana-mana sama Abang kamu."

Suara lembut namun tegas itu membuat mata Fauzan dan Zarra fokus menatapnya.

"Ara ditinggal, nih?" ia meletakkan bantal ke pangkuannya.

"Kamu kan sekolah, Sayang," jawab Inaya.

"Yaudah dehm Umi sama Abi hati-hati. Ara ganti baju dulu ya, Mi." Zarra berdiri dari sofanya.

"Ozan juga ma—"

"Assalamualaikum everybody."

Suara itu menggema, menghentikan Fauzan yang tadinya akan berdiri dari sofa.

"Waalaikumsalam," jawab Inaya, Alif dan Fauzan. Sedangkan Zarra menjawab di tempat berbeda, karena ia sudah berjalan menuju kamarnya.

"Assalamualaikum, Umi, Abi, Abang,"

"Waalaikumsalam."

Ketiga anak laki-laki itu duduk berdempetan. Wajah mereka serupa. Tidak heran banyak orang yang sulit membedakannya. Terkadang kedua kakaknya pun masih sering salah mengenali. Meskipun memiliki wajah yang serupa. Namun, sifatnya tetap saja berbeda.

Arza. Ia yang lahir pertama. Sifatnya dingin, hampir sama dengan kakak pertamanya, Fauzan. Bedanya, Arza irit bicara, entah itu dengan teman atau keluarganya. Dia tipe-tipe orang talk less do more, sedangkan kakak pertamanya itu hanya dingin pada perempuan yang bukan mahramnya, dan hangat saat bersama keluarga. Tapi bukan berarti Arza tidak hangat pada keluarganya. Ia hanya menunjukkan kehangatan itu dengan caranya sendiri.

Arkan. Lahir beerapa menit setelah Arza. Sifatnya perpaduan dari kedua kembarannya. Ia tipe-tipe orang yang fleksibel, bertingkah sesusai situasi dan kondisi. Ia kadang pendiam, kadang juga pecicilan. Tapi, bukan berarti dia berkepribadian ganda. Sifatnya ini tidak jauh beda dengan kakak perempuannya, Zarra.

Great QadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang