Dengan langkah tergesa kami menyusuri koridor salah rumah sakit di Jogja. Jarak dari Jakarta ke Jogja yang cukup menyita banyak waktu memaksa kami menggunakan jasa udara, karena waktu yang disuguhkan tidak terlalu lama. Mobil yang kami kendarai ditinggal di rumah Venus. Rasa syukur terpanjat pada Allah yang mempermudah segala hal.
Mendengar kabar ayah yang jatuh dari tangga membuat Alif kalang kabut. Dia terlihat panik. Meskipun dia tidak menunjukkannya secara terang-terangan, tapi aku bisa melihat dari sorot matanya. Sejak di dalam pesawat tadi dia begitu gelisah. Berulang kali aku menenangkannya, berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi, tetap saja dia merasa ada yang salah dengan hatinya, gemuruh di dalamnya tidak terkendali. Wajar saja, pasti dia sangat khawatir. Aku pun merasakannya.
Sesampainya di bandara, kak Rahman yang tak lain adalah suami dari kak Fatimah sudah menunggu dengan mobilnya. Keluarga Alif memang tidak menggunakan jasa driver. Tanpa berlama-lama Alif langsung masuk ke dalam mobil, dan sekejap saja mobil sudah melaju meninggalkan area bandara.
"Bu, A-yah, bagaimana keadaan Ayah?" tanyanya begitu kami sampai di depan ruangan bercat putih dengan pintu hijau yang bertuliskan UGD.
"Ayah pasti baik-baik saja," jawabannya begitu tegas dan tenang, tapi aku bisa melihat raut kesedihan di sana.
"Nay, duduk di sini." Ibu menatapku seraya melempar senyumnya.
Ah, saking paniknya melihat, aku lupa untuk menyalami ibu dan duduk di dekatnya. Sekadar menguatkan. Tidak ada kak Fatimah di sini. Suaminya pun hanya mengantar kami sampai di depan gedung rumah sakit, tak lama dia kembali langsung pulang.
"Bu." Aku menggenggam jemari wanita hebat di sampingku. Kutengok Alif yang sedang berdiri menatap kaca kecil yang ada pada pintu hijau. Ibu menoleh sekilas, lalu menurunkan pandangannya lagi.
"Nay yakin kok Ayah bakal baik-baik aja. Ibu yang sabar ya." Aku merengkuh tubuhnya. Dapat kurasakan bahunya bergetar, menahan tangis.
"Ini salah Ibu, harusnya tadi Ibu langsung datang saat Ayah panggil. Ibu sedang di dapur, menggoreng tempe. Ibu menyesal lebih memilih berkata nanti karena takut tempenya gosong," jelasnya.
"Enggak, Bu. Jangan bilang gitu ya. Ini bukan salah Ibu," kataku.
"Kalau saja Ibu langsung menyambut panggilan Ayah, mungin dia tidak akan terjatuh dari tangga karena harus menghampiri Ibu yang berada di dapur." Pandangannya masih menunduk, tidak terangkat sedikit pun.
"Udah ya, Ibu jangan menyalahkan diri sendiri. Semua terjadi karena sudah ada yang mengatur, Ibu gak boleh menyalahkan diri Ibu sendiri." Aku berusaha meyakinkan bahwa ini bukan kesalahan ibu. Bukankah kecelakaan sering terjadi tanpa kita duga. Begitu pun yang dialami oleh ayah.
"Mas, duduk dulu," ujarku saat melihat Alif yang masih berdiri, menyandarkan punggungnya pada dinding. Matanya tak lepas dari pintu. Kulihat ia menggeleng.
Aku melepas tautan jemari ibu perlahan. Seperti mengerti dengan maksudku, ibu mengangguk. Aku berjalan menghampiri Alif yang bahkan tidak menyadari kedatanganku di sampingnya. Matanya terlalu fokus mengamati pintu.
Kugenggam jemarinya yang terkulai lemas di samping badannya, membuatnya menoleh seketika.
"Ayah pasti baik-baik aja. Duduk yuk."
Usahaku membujuknya gagal, ia tetap menggeleng. Tapi, bukan Inaya namanya kalau harus langsung menyerah.
"Mas, kalo ayah tahu, dia pasti nggak akan suka deh lihat kamu kayak gini. Kita duduk dulu, ya. Kita duduk deket Ibu."
Alif masih berdiri mematung, tidak bergerak sedikit pun. Aku mengembuskan napas pelan.
"Mas, ayo. Gak baik kayak gini. Mas gak mau apa nguatin Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spiritual[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...