Inaya POV
Hari ini aku masih ada di rumah orang tuaku. Terhitung sudah tiga hari aku di sini.
Kemarin malam Alif datang kemari sepulang dari Jakarta. Dia menginap semalam. Saat pulang dari rumah Venus dia banyak bercerita. Terutama tentang Venus yang berkata bagaimana kalau nantinya kami menjadi besan. Aku sendiri tertawa geli saat mendengarnya. Venus ada-ada saja memang. Tapi, mungkin lucu juga ya kalau nantinya aku dan Venus menjadi besan.
Saat ini Alif sedang ke kantor untuk mengontrol penerimaan pegawai baru. Tadinya aku ingin ikut, sekalian melihat-lihat koleksi pakaian muslim di sana. Tapi, dia melarangnya.
Semenjak Alif mengurus perusahaan pusat Sharkan's Design Collection. Dia sangat disibukkan oleh urusan kantor, mengingat pesanan yang membanjiri perusahaan.
Perusahaan keluarga Sharkan ini berkecimpung dalam lingkup busana muslim. Tidak hanya pakaian, ada juga kerudung, sarung, mukena, dan sajadah. Tidak hanya untuk orang dewasa, untuk anak-anak pun ada. Dari mulai bayi yang baru berusia satu bulan sampai anak-anak usia sekolah. Perusahaan keluarga Sharkan juga sudah membuka cabang di beberapa kota besar.
Melupakan sejenak tentang urusan Alif. Kulihat Faiz yang sedang santai di depan televisi dengan kaki menyila, semangkuk camilan ada di pangkuannya. Bahkan meski jam di dinding sudah menunjuk pada angka sembilan, Faiz belum beranjak untuk mandi. Sedari tadi dia hanya menonton film animasi yang diputar di salah satu channel televisi lokal. Melihatnya seperti itu, terbersit sebuah ide dalam kepalaku. Aku kembali berjalan ke kamar untuk mengambil ponselku yang terletak di nakas.
Setelah mengirim pesan singkat pada teman semasa SMA dulu, aku kembali ke bawah untuk menghampiri Faiz. Ponsel sudah kumasukan pada saku gamis.
"Faiz, mandi gih. Udah jam sembilan ih!"
Aku tertawa puas saat lemparan bantal sofa mengenai camilannya yang tinggal sedikit lagi. Dan tumpahlah camilan itu mengenai celananya.
"Inaya! Apaan sih, tumpah kan jadinya," katanya sembari memunguti keripik yang jatuh berhamburan di sekitar kakinya.
"Mandi, ih! Anterin Naya ke UGM."
Ia yang sedang menunduk langsung mengangkat kepalanya.
"Ngapain?"
Satu pesan masuk tertera di layar ponselku. Benar kan, dia sama sekali tidak berubah. Sepertinya dia sangat tergila-gila dengan kakakku ini. Terbukti, dia memohon-mohon agar aku membawa Faiz ke tempatnya. Aku tahu Faiz nggak bakal suka, tapi apa salahnya mencoba. Meski aku juga tidak terlalu menginginkan temanku menjadi kakak iparku. Dia terlalu agresif.
Aku sering mengunjungi rumahnya dengan sahabatku dulu, dan di sanalah kami bertemu. Dia jadi sering ikut bergabung saat aku datang untuk bertemu saudaranya. Sebenarnya tujuanku datang ke sana itu untuk bertemu sahabatku.
"Ngapain ke UGM?" tanyanya lagi. Dia kini sudah ada di depanku dengan mangkuk kosong di tangannya.
"Bukan ke UGM-nya sih, ke rumah yang deket daerah situ," jawabku.
"Iya, ngapain?"
"Ketemu Nabila."
"Nabila siapa? Jangan bilang Nabila yang saudaranya Risya, temen SMA kamu itu." Matanya menyipit.
"Mau jodoh-jodohin aku lagi? Kemarin udah ngusulin ke Mama sama Abah, siapa tuh namanya?"
Faiz terlihat mengingat-ingat nama wanita itu. "Ra.. Raina ya? Terus sekarang mau jodohin sama Nabila? Aku nggak mau ya Nay kalo sama Nabila."
"Emang iya Nabila yang itu. Kalo Kak Raina mah jangan ditanya, dia itu kandidat Naya yang paling top, nomor satu deh."
Aku memasukan ponselku ke dalam saku. "Naya juga gak sekejam itu kali. Udah ah, cepetan mandi, nggak mau tau pokoknya harus Faiz yang nganterin,"
"Gak ah, ngapain."
Ia berjalan ke kamarnya.
"Faiz, masa tega sih. Ponakannya pengen jalan-jalan nih."
"Sendiri aja sana," balasnya setengah teriak.
"Bilangin Abah lho ya."
"Yaudah yaudah, aku anter."
Aku terbahak melihat ekspresinya yang langsung berubah.
Setelah mengganti pakaian, aku menunggu Faiz di kursi. Tak lama Faiz keluar dari kamarnya, kaos berwarna abu-abu yang pas di badannya dipadukan dengan jaket hitam yang tersampir di lengan kanannya. Jeans longgar selutut membalut kaki jenjangnya.
"Faiz, kok pake baju gitu sih?"
Kakakku itu memang terlihat keren memakai baju apa pun. Tapi, yang jadi masalah, dia kelewat keren. Nabila pasti nggak bisa diem kalau lihat Faiz kayak gini.
"Aku kan cuma nganter kamu Nay."
Dengan santainya ia berjalan melewatiku. "Ayok," sambungnya saat di ambang pintu.
"Iya, iya."
🍀
Jalanan cukup padat. Kemacetan menjelang liburan akhir semester sudah mulai terasa. Jarak dari rumah ke tempat Nabila cukup menyita waktu, kalau saja tidak macet, mungkin satu jam perjalanan sudah sampai.
"Masih jauh nih?"
Faiz mengalihkan pandangannya dari jalanan.
"Ya itu deket UGM, pinggirnya," jawabku.
"Salah sih, ngajaknya pas liburan gini, udah tau macet."
Ia kembali menatap ke depan, menginjak gas dengan perlahan.
"Ya maaf kali."
Suasana kembali hening, hanya deru mesin motor dan mobil di jalanan, juga dering klakson yang sedari tadi seperti tiada hentinya.
Setelah satu jam lebih terjebak macet, akhirnya kami sampai di depan rumah bercat hijau.
Benar yang kuduga. Nabila sudah menunggu di depan pintu rumahnya. Dia melambai-lambaikan tangannya dengan sangat antusias.
"Jangan turun dulu."
Tadinya aku akan langsung membuka pintu mobil dan keluar, tapi Faiz menyuruhku jangan dulu keluar. "Aku gak ikut turun ya. Gak mau deh, beneran. Lagian kamu cuma minta anter aja kan?"
"Faiz gak boleh gitu ah, itung-itung silaturahim."
"Apaan, dia kan bukan mahrom aku Nay. Nanti yang ada malah dosa."
"Ya lagian kalian kan gak berdua-duaan."
Aku masih ngotot memaksanya turun dan ikut masuk ke dalam.
"Gak mau."
"Ayolah."
"Pokoknya gak mau, Nay,"
"Apa Nay minta dia buat jadi mahrom Faiz? Biar Faiz mau turun."
Aku menaik-turunkan alisku seraya menggodanya.
"Jangan."
Ia menahan tanganku yang akan membuka pintu mobil. "Aku pulang aja lah."
"Nggak boleh gitu Faiz."
"Nay ih, gak mau."
Aku tertawa melihat Faiz, dia seperti anak kecil yang merengek minta pulang karena takut hantu.
Faiz terkesan dingin pada orang-orang. Tapi, jangan salah. Dia begitu hangat pada keluarga dan teman-teman lelakinya. Faiz memang acuh terhadap perempuan, apalagi yang bukan mahramnya. Di balik sikap dinginnya, Faiz terkadang manja. Seperti saat ini, dia merengek minta pulang.
Setelah berdebat panjang, akhirnya Faiz ikut turun juga. Karena aku bilang ini hanya sebentar. Tapi dia mengancamku, kalau lama, dia akan pulang duluan dan tidak akan menjemputku lagi.
Aku jadi penasaran, siapa perempuan yang berhasil menyita hati Faiz selama ini. Apa dia shalihah? Apa dia baik? Tidak sombong? Rajin menabung? Sayang anak? Sayang keluarga? Dan yang paling utama, apa dia taat terhadap agamanya?
🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spiritual[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...