Pagi ini Alif terlihat rapi. Kunci mobil dimainkannya di jari-jari tangan. Setelah sarapan dia langsung bersiap menuju mobilnya.
"Aku berangkat dulu ya, Ay. Kamu hati-hati di rumah ya."
Ia mengecup keningku setelah aku mencium punggung tangannya.
"Kamu juga hati-hati di jalannya, Mas."
"Aku mungkin bakal pulang malem, jadi kamu di rumah Ibu dulu ya Ay. Insya Allah, besok pagi kita pulang ke rumah ya," ucapnya seraya melangkahkan kakinya keluar rumah.
"Aku berangkat nih ya." Cengiran jahilnya mulai nampak lagi.
"Iya iya iya, Mas. Udah ih, katanya mau berangkat."
"Iya ini berangkat. Assalamu'alaikum, bidadariku."
Aku menggeleng melihat kelakuannya. Tak bisa menahan tawa.
"Waalaikumsalam, hati-hati lho. Hati-hati menjaga hati," kataku.
Alif ikut tertawa dan terlihat kembali berjalan mendekatiku.
"Iya, aku bakal jaga hati untuk istriku seorang," katanya. "Udah ah, nanti aku gak berangkat-berangkat nih."
"Yaudah gih sana. Kak Rahman, hati-hati ya bawa suami aku."
Aku melihat kak Rahman mengacungkan dua jempolnya. "Hahaha... iya siap calon ibu muda."
Avanza milik kak Rahman melaju menjauhi rumah.
Seperti katanya kemarin, Alif akan ke Jakarta untuk mengambil mobilnya yang sengaja di tinggal di rumah Venus. Kebetulan kak Rahman ada hal yang harus dikerjakannya di Jakarta. Jadi Alif satu mobil dengannya. Padahal aku sudah mengusulkan agar karyawan kantor saja yang mengambilnya. Tapi dengan tegas ia menolaknya. Aku hanya khawatir dengan kondisinya. Mata sayunya masih terlihat jelas, dengan kantung matanya yang kontras.
Tiba-tiba perutku terasa mual. Sebisa mungkin aku berlari masuk ke dalam rumah dan menuju kamar mandi.
"Naya, Sayang. Kamu gak apa-apa?"
Suara Ibu, diiringi ketukan pintu yang terus-menerus.
"I... ya.. umm.. Bu.. na..y, ng-gak... ap..a.."
Pintu terbuka. Terlihatlah wajah cemas Ibu yang tengah menatapku.
"Maaf, Bu," ujarku seraya mendekatinya.
"Lho, kok minta maaf sih. Gak apa-apa, itu emang biasa. Ibu buatkan teh hangat ya."
"Eh, gak usah Bu. Nanti Nay bikin sendiri aja," ujarku merasa tak enak.
"Udah ah, kamu duduk aja ya. Ibu gak mau kamu kecapekan, kasihan juga calon cucu Ibu nanti," katanya lagi. Lengkungan senyum yang tulus membuatku tenang. Aku mengangguk untuk menanggapinya.
Aku mengucap syukur. Allah memberiku banyak kenikmatan, dengan orang-orang di sekitar yang menyayangiku. Meski terkadang aku masih sering mengeluh dan lupa untuk mengucap syukur, Allah tetap ingatkan dengan teguran-tegurannya.
***
"Berangkat sekarang, Nay?" tanya Faiz saat kopi di cangkirnya sudah habis.
"Nay bilang ke Ibu dulu ya," ujarku seraya berjalan ke dapur. Menghampiri Ibu yang sedang memasak.
Aku meminta Faiz untuk menjemput, setelah aku meminta izin Alif. Aku ingin pulang ke rumah—rumah Mama dan Abah. Rasanya aku ingin diam di sana dulu. Aku juga ingin berbicara banyak hal dengan Faiz. Terutama tentang statusnya yang masih betah melajang. Aku jadi greget sendiri saat bertanya tentang hal itu, dan Faiz dengan entengnya akan menjawab, "Aku kan nunggu bidadari dari surga, yang terbaik dari yang terbaik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Qadar
Spiritual[FINISH] *Sequel: Back On True Love* ____ Ketika takdir mengkhianatiku. Namun, akhirnya takdir juga yang membawa kebahagiaan untukku. Di setiap perpisahan pasti ada sebab yang Allah tetapkan. Ternyata rencana Allah senantiasa indah di akhirnya. -Ina...