Detik itu berharga

7.3K 340 2
                                    

Trims atas semua yang melirik tulisan saya yang masih jauh dari baik dan layak. Tapi semua itu membuat saya lebih semangat lagi untuk memperbaiki diri.

Selamat membaca.

Di tempat yang lain Laras nampak sedih melihat belum ada tanda tanda dari sang mertua untuk sadar, dengan kesungguhan hati dikeluarkan handphone dan memulai menyalakan rekaman video Mahesh anaknya, dengan satu harapan sang mertua mau sadar dengan mendengar suara cucu kesayangannya. Tetes demi tetes airmata mengiringi rekaman itu. Bahkan part adegan Kinan yang menangis menanti kesadaran sang Opa, mengharu biru dalam relung Laras. Tiada pergerakkan berarti dari pak Joseph, bahkan nada dalam ruangan itupun masih sama. Dengan segenap kekuatan, Laras menyingkir dari hadapan sang Mertua.

"Pa, lihatlah Mahesh dan Kiran sangat menggemaskan bukan, Mahesh sudah bisa mengucap ayah dan kakak tapi bunda sepertinya masih sulit, hehehe!" Laras terus mengusap tetesan airmata perlahan.

"Bun, keluarlah mama ingin masuk!" Ganesh menepuk pundak Laras pelan.

"Iya yah, sebentar lagi!" Laras mematikan video dan mengusap lembut tangan sang Mertua.

"Pa, cepat sadar ya, Mas Mahesh menunggu Opa gendong dan ajak main Mahesh lagi!" Laras mengecup kening sang mertua.

***

Raut wajah penuh kerutan saling mengetatkan otot otot yang ada, tiap sudut mata terselip butir yang terus merembes perlahan. Demi udara yang semakin menipis, aura panas saling memancar di dalam ruang lingkupnya. Dengan segenap kekuatan doa dan keikhlasan, menguatkan aliran darah di sekitar tangan untuk menggapai setiap selang yang berjejer rapi, satu persatu di coba pilih mana yang menjadi pertama. Aliran kesedihan semakin deras, raungan kesakitan hati makin jelas. Sungguh tak ada yang mampu, tubuh pun mulai luruh dengan sendirinya.

"P A P A!"

Teriakan dan raungan tersiksa terlukis jelas dari setiap pergerakan yang tak bergeming hanya sepasang bahu yang berusaha tegar, kepala yang patuh pada lantai. Nafaspun tak mampu lagi dihirup.

"Nesh, kuatlah berilah jalan untuk papamu!" Ucap dokter yang kini ikut berlutut.

"Tapi aku gak bisa Om, beri waktu papa lagi om!" Dengan susah payah kalimat itu meluncur.

"Maaf Nesh, tanda vitalnya tak berubah, mungkin ini waktunya!" Ucap sang dokter seraya mengelus punggung sang keponakan.

"Tapi om!" Ganesh masih percaya sang papa akan kembali.

"Om akan beri kamu waktu 30 menit Nesh, renungkanlah demi papa mu!" Dokter pun menyerah.

***

Langkah nya satu persatu menapaki kenyataan demi kenyataan hidup selama 30 tahun ini, film masa kecil hingga dewasa terpampang jelas di kedua mata. Tawa, suara, marah, tangis, perintah bahkan canda seakan berlomba menunjukkan tempatnya. Tak pernah terbayangkan harus dengan kedua tangan pemberian sang Khalik menyudahi cerita dalam sejarah hidupnya. Tangan yang selalu disambut, tangan yang selalu di angkat penuh kemenangan, tangan yang santun, tangan yang bergandengan, tangan yang selalu menguatkan harus menjadi alat terakhir dalam hidup orang tersayangnya. Kedua tangan itulah semua diperjuangkan asa, harapan, mungkin akan juga tercipta.

"Nesh, mama memang belum rela papa harus kembali, mama juga belum kuat tanpa papa, mama masih ingin papa nak!" Ucapan sang Mama menjadi tabuh kencang di pikirannya.

"Tapi kalau semua itu akan terganti oleh setiap detik dalam hidup mama, maka dengan segala ketidak sanggupan mama akan coba, biarlah papa pergi dengan semua kenangan dan harapan yang ada dan yang akan ada!" Mama berusaha sekuat mungkin menahan keresahan dalam hatinya.

Siapkah Kau? Istriku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang