11 || Melamarmu

7K 331 31
                                    

"Oppa, aku masih di jalan. Sepertinya macet parah. Aish, bagaimana ini? Kau pasti sudah lapar sekali ya?"

Suara Han Hwa Yeon sejak tadi terdengar dari perangkat ponsel milik Sung Min, membuat si pemilik ponsel sampai beberapa kali memutarkan bola mata, pertanda bosan. Ya ampun, ini sudah tiga puluh menit dan Hwa Yeon memberi tahu perihal macet selama puluhan kali. Sung Min sudah berkata bahwa pekerjaannya masih banyak dan bahkan dering telepon tidak menghentikan suara Han Hwa Yeon untuk terus berbicara.

"Sudah jam berapa?" Pertanyaan yang sama yang gadis itu lontarkan untuk kesekian kali. "O, sudah jam dua belas. Aigoo, kau pasti lapar kan, Oppa? Apa tidak apa-apa menunggu sebentar?"

"Tidak apa-apa, Hwa Yeon-a. Aku akan menunggu kau di sini. Di ruang kerjaku. Ara?" sahut Sung Min, malas. Sebenarnya biar Hwa Yeon berhenti bicara. Itu saja.

"Aaah, geuresseo! Oppa jjang! Aku sudah memasak bibimbap dan samgyeopsal juga! Kau pasti menyukainya. Nanti sampai di kantor bisa dihangatkan sebentar. Sampai ketemu di kantor, uri Oppa."

"Hm."

Sung Min memutuskan sambungan telepon secepat mungkin. Sedikit bergidik, berharap Han Hwa Yeon tidak menelepon lagi. Menghela napas panjang ketika selang lima menit, ponsel Sung Min masih bergeming. Diam tidak bersuara maupun bergetar.

Astaga, selama tiga pekan ini terasa bagai mimpi buruk bagi Sung Min. Han Hwa Yeon bertingkah semakin menjadi. Dia datang hampir setiap hari, pada jam makan siang. Dikatakan hampir setiap hari karena dia datang dari Senin hingga Jumat dan memaksa juga datang pada hari Sabtu. Tapi Sung Min menolak, berdalih pada hari Sabtu ia libur dan harus ke Ilsan.

Sung Min belum juga mengajaknya kembali makan malam di Ilsan. Belum siap, sebenarnya. Ayah dan ibunya pasti mengernyitkan dahi jika Sung Min mengajak gadis itu ke sana. Sung Min hanya tengah mencari saat yang tepat, agar semuanya berjalan dengan baik.

Dan sekarang, ditemani setumpuk pekerjaan yaitu berkas-berkas yang harus ditanda tangani, Sung Min menopang dagu dengan tangan kiri. Merasa bosan dengan rutinitasnya yang itu-itu saja. Sudah tidak lagi ke restoran. Sudah tidak lagi mendapat pasokan semangat dari seseorang bernama Vanessa Heinz.

Sung Min sukses menjauhkan diri darinya.

Tapi, benarkah demikian?

Aish, ini menyebalkan! Tidak, tidak! Vanessa Heinz bukan siapa-siapa. Apalagi Hyang Gi. Tidak! Mereka tidak punya kendali apapun atas kehidupan Sung Min. Oh demi apa, Lee Sung Min! Kalian saja berbeda. Baik, coba lihat; dari segi agama, berbeda. Segi kultur, berbeda. Segi negara pun, berbeda. Lalu apa? Apa yang mesti kau pertimbangkan, Lee Sung Min?

Perbedaan kalian terlalu banyak. Demi Tuhan, Lee Sung Min harus mempunyai sesuatu untuk memusatkan pikiran dan mengalihkannya dari hal-hal berbau kerinduan pada dua orang asal Inggris itu. Astaga, ayo berpikir.

Dan suara dering ponsel berhasil membuat Sung Min terkejut. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan jam setengah satu siang. Hah, pasti Han Hwa Yeon lagi. Sekarang apa? Apa dia mau berdalih bahwa mobilnya mogok? Karena hanya itu alasan yang belum dia gunakan, Sungmin menggerutu sendiri.

Layar ponselnya masih menyala terang, berhiasi sebuah gambar bocah perempuan berusia enam tahun dengan pipi gembil kemerahan dan mata bulatnya yang berwarna biru. Rambut pirang cokelatnya dikuncir rendah di dekat leher.

Kim Hyang Gi.

Perlu dua detik bagi Sung Min untuk menyadari sosok bocah perempuan yang wajahnya terpampang menatapnya sekarang. Hei, ini Hyang Gi yang menelepon.

Pipi Gembil Berkerudung Merah. Bocah yang ia rind―arg, bodo amat!

Klik.

Sung Min menyentuh ikon jawab.

[✓] A Wedding Dowry That She AskedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang