25 || Kembali Pada Islam

5.8K 318 33
                                    

VANESSA Heinz menggamit lengan Hyang Gi ketika mereka tiba di pelataran Masjid Raya Seoul. Wajah wanita itu terlihat sedikit sembap, namun dia berusaha menutupinya dengan senyuman. Jadi meski putrinya berkali-kali bertanya kenapa wajah sang ibu sembap, Vanessa Heinz hanya berkata bahwa ia kurang tidur.

"Jadi, Mum, apakah kita akan menunggu waktu Zuhur di sini?" Hyang Gi berceloteh sembari memiringkan kepalanya.

Vanessa Heinz mengangguk, "Mungkin begitu. Paman Sung Min mungkin sudah tiba sejak tadi. Sebaiknya kita cari Paman Sung Min, Al."

"Kenapa Bibi Hye Woon tidak diajak?"

"Bibimu kan sedang ada urusan dengan Paman Jong Woon. Kau lupa ya?"

"Oh, begitu," Hyang Gi mengangguk-angguk seakan paham. Ia lalu melepas alas kakinya ketika mereka sudah tiba di anak tangga paling bawah. "Mum, apa ada air minum? Aku haus."

Vanessa Heinz mengeluarkan sebotol air minum dari tasnya, menghela napas pendek ketika menyodorkan botol itu pada Hyang Gi yang langsung meraihnya dan membuka botolnya. Bocah itu tampaknya memang kehausan.

Sang Ibu tercenung di tempat duduknya. Hari masih pagi dan dia baru tidur selama satu jam di malam tadi. Semalaman benar-benar tidak bisa tidur karena memikirkan perkataan Lee Sung Min yang mengabarkan bahwa akan meminta Al Qasam mengislamkannya di sini, di Masjid Raya Seoul.

.

.

.

Semalam, ketika malam masih menyergap dalam kegelapan yang pekat. Suara napas halus nan teratur terdengar di atas sebuah tempat tidur di mana seorang bocah perempuan tertidur dengan lelapnya. Tidak memedulikan seorang wanita tengah bersimpuh di atas sehelai sajadah, menghadap tempat tidur tersebut.

Sajadahnya hanya beralas karpet usang, tapi tidak menyurutkan kekhusuan sang wanita untuk menghadap Tuhannya, berserah dan bercerita.

Wanita itu sudah di atas sajadah sejak beberapa puluh menit yang lalu. Tak jua ingin beranjak meski rasa kram kadang menyerang betisnya yang tertutup rapat peralatan shalat. Wajahnya basah karena air mata sejak tadi menetes.

Bahunya terus berguncang ketika kedua tangannya menutupi wajahnya itu. Meredam suara tangisan agar tidak mengganggu putrinya yang terlelap.

Dia adalah Vanessa Heinz. Wanita yang kini tengah dirundung suatu hal. Dia sendiri bingung harus bagaimana menghadapi hal ini. Apakah harus gelisah, resah atau dilema.

Seorang pria baik datang melamarnya. Memintanya menjadi istri yang sah untuk pria itu. Pria yang ia kenal sebagai pria yang baik dan berkecukupan, yang rasa-rasanya bisa saja menikahi gadis cantik manapun yang ingin ia nikahi. Namun aneh sekali, lamaran jatuh padanya yang seorang janda beranak satu.

Pria itu melamarnya di ambang pintu. Wanita itu menerimanya dalam hitungan detik. Dia hanya rindu sosok itu. Sosok seorang pria halal yang berstatus sebagai suaminya, yang akan membukakan ladang pahala untuknya.

Wanita itu rindu akan sebuah tangan yang bisa ia cium setiap pria halal itu hendak pergi bekerja. Wanita itu rindu akan sebuah kecupan mendarat di keningnya setiap ia selesai shalat. Wanita itu rindu akan doa-doa yang dihaturkan sang suami untuknya. Wanita itu pun rindu akan penjagaan seorang pria yang akan melindunginya meski nyawa taruhannya.

Dan mendapati pria yang melamarnya adalah bukan seorang muslim, wanita itu mengajukan mahar khusus. Dia tidak ingin emas permata. Tidak ingin harta benda. Dia hanya ingin keimanan sang pria agar sama dengan dirinya.

Dia ingin agar mereka menyembah Tuhan dengan cara yang sama. Dia ingin agar mereka bisa berada dalam sujud yang sama. Oh, dia rindu sekali menempelkan keningnya setelah mendengar kalimat Allaahu akbar dari sosok seorang suami setiap kali waktu Subuh.

[✓] A Wedding Dowry That She AskedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang