21 || Mempelajari Islam

5.9K 311 26
                                    

RUANG kerja di kediaman Lee Sung Min menyala terang selagi Sung Min tepekur menatap tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang tercetak di lembaran buku tipis yang kini tengah ada dalam pegangannya. Alisnya berkali-kali mengernyit keheranan. Sesekali memegangi wajahnya, lalu memegangi sikunya, kemudian kening bagian anak rambutnya tertata rapi, dan berhenti di bagian telinganya.

Dia menyipitkan matanya sambil mendekatkan buku tipis itu hingga jarak yang membentang hanya masuk ukuran sekitar sepuluh sentimeter. Pria itu tampak mengangguk paham dan membalik halaman berikutnya yang masih ada.

Kali ini dia menyentuh kakinya sendiri sebelum akhirnya melepas napas panjang. Dia sudah berada di penghujung ritual-ritual yang dilakukan umat muslim selagi berwudu, bersuci sebelum melakukan ibadah pada Sang Khalik.

Pria berusia 30 tahun itu tampak serius sekali menekuni bacaan yang sejak satu jam lalu menyita perhatiannya. Dia baru kembali dari Masjid Raya Seoul selepas waktu Magrib. Seperti biasa meninggalkan lokasi 'pencarian'nya itu selagi umat Muslim lainnya menunaikan shalat wajib di sana. Ini entah kali ke berapa dia mengunjungi Masjid tersebut, bertemu dengan Muhammad Izzudin Al Qasam, pengumandang azan yang menetap di sekitar Masjid Raya Seoul.

Dari sana dia banyak mendapatkan pengetahuan tentang Islam. Di samping mempelajari Islam adalah tujuannya untuk menikahi Vanessa Heinz, toh pada akhirnya dia sedikit demi sedikit menerima ketertarikan akan Islam itu sendiri. Vanessa Heinz dan Hyang Gi adalah pemicu baginya untuk melangkah mempelajari Islam. Tapi kepribadian dan niatnya sendirilah yang membuatnya mendalami ilmu Islam.

Berbincang dengan Al Qasam, sama sekali tidak membuat Lee Sung Min tersudut dengan kondisinya sekarang yang sedang dalam masa pencarian. Al Qasam menerangkannya dengan lemah lembut. Terkadang berkisah dengan kisah lucu yang dalam kisah itu sarat sekali makna baik. Istri Al Qasam, Eliana Fattimatuzahra, kerap kali membawakan penganan sebagai teman ngobrol sepanjang satu jam pertemuan setiap harinya, dari Senin hingga Jumat. Wanita itu hanya menyunggingkan sedikit senyum pada Lee Sung Min, lalu kemudian pamit.

"Istrimu juga mengenakan tutup kepala, Qasam-sshi," kata Lee Sung Min suatu hari, "kenapa wanita-wanita muslim semua menutup diri sedemikian?"

"Itu namanya berjilbab, dan merupakan perintah Allah," Al Qasam menjawab dengan senyuman, "kau bisa menemukan perintah cinta itu pada Al Quran, Lee Sung Min-sshi. Bahwa setiap wanita muslim wajib hukumnya untuk mengenakan jilbab, menutup auratnya dari seluruh yang bukan mahram-nya."

"Mahram?"

"Manusia yang halal baginya,"

"Aku? Bukan mahram istrimu kah? Bukankah aku temanmu?"

Lee Sung Min bertanya penuh rasa ingin tahu. Vanessa Heinz juga berjilbab. Dia sama sekali belum pernah melihat ibu dari Hyang Gi itu tampil di hadapannya tanpa mengenakan penutup kepala.

"Mahram adalah orang-orang yang dihalalkan untuk melihat aurat si wanita atau pria. Dalam hal ini, tentu saja kau bukan mahram dari istriku, Lee Sung Min-sshi, kau bukanlah yang halal baginya. Yang halal baginya, itu aku. Dia menutup auratnya rapat-rapat, menutup kecantikannya rapat-rapat dan hanya mengizinkan aku untuk melihatnya."

"Egois sekali."

"Benar, egois sekali. Itu adalah bentuk keegoisan yang paling indah bagi kami, para pria. Aku tidak akan pernah merasa ketakutan bahwa kecantikan istriku akan dinikmati oleh pria lain kan? Aku akan hidup lebih tenang dan damai."

Lee Sung Min mengangguk saja. Kepalanya teringat lagi pada Vanessa Heinz. Ah, Al Qasam benar. Dia tidak pernah sedikitpun mencuri lihat kecantikan wanita itu. Semuanya terbungkus rapi. Keindahannya terlindungi.

"Lalu bagaimana bisa kau menikahinya padahal kau tidak mengetahui apakah dia cantik atau tidak? Bagaimana jika ternyata perutnya sobek? Atau lehernya penuh belatung? Atau mungkin telinganya tidak ada sebelah?"

[✓] A Wedding Dowry That She AskedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang