[3] Kejutan!

5.1K 292 25
                                    

Lee Sung Min menutup pintu mobil Renault Samsung tipe SM7-nya dengan agak terburu-buru. Hari ini senin pertama di bulan Desember, dan salju pertama turun, membuatnya benar-benar ingin sekali tiba di rumah. Banyak hal yang menurutnya bisa dikerjakan setelah lepas dari rutinitas kantor yang begitu memusingkan. Bermain dengan si kecil Kim Hyang Gi misalnya. Bocah itu selalu sukses menambah semangat dan menghilangkan letih yang dirasakan Lee Sung Min.

"Assalamu'alaykum," Lee Sung Min membuka pintu depan yang tidak terkunci. Ini memang masih jam empat sore, Kim Hyang Gi biasanya ada di teras, menunggunya setiap kali ia pulang kerja di pukul lima sore.

Ini aneh, pikir Sung Min. Kenapa tidak ada jawaban?

Lee Sung Min berpikir mungkin istrinya sedang ada di dapur atau mungkin teras belakang. Bisa jadi puteri mereka juga bersama sang istri, atau mungkin mereka masih terlelap dalam tidur siangnya? Pikir Sung Min. Tapi ini kan sudah sore.

Tak menunggu lama, Lee Sung Min berderap masuk ke dalam rumah di mana dia segera disergap kehangatan yang bersumber dari penghangat ruangan yang rupanya sudah dinyalakan oleh Vanessa Heinz sejak jam dua siang tadi. Pria itu lalu bergegas melangkah ke kamar puterinya, dan mendapati kamarnya kosong melompong.

"Al?" Sung Min melangkah keluar dari kamar dan berbelok menuju dapur, di mana aroma masakan tiba-tiba saja menyeruak. "Essa?"

"Oppa?" Vanessa Heinz melongok dari pintu dapur, mendapati suaminya berjalan dengan kening mengernyit dan bibir mengerucut agak sebal, "Sudah pulang? Mianhae (maaf), Oppa, aku tidak mendengar suara mobilmu sama sekali." Vanessa Heinz mendekati suaminya, mengambil alih jas hitam kantor Lee Sung Min dan mencium tangannya sebelum kemudian Sung Min mendaratkan kecupan di pipi.

"Gwaenchana (tidak apa), kau sedang sibuk, aku tahu," kata Sung Min, "di mana Al?"

"Al? Oh, dia menemaniku mencuci dan memasak," Vanessa Heinz tersenyum simpul, lalu menggamit lengan Sung Min agar mengikutinya masuk ke dapur, melewatinya dan hampir sampai pada tempat mencuci. "Aku sedang mencuci dan tadi Al meminta dimasakkan samgyeopsal."

"Apa dia mengganggumu?"

"Al tidak pernah mengganggu," Vanessa Heinz menghentikan langkahnya, lalu berdiri dan menunjuk suatu tempat dengan menggunakan dagu, "Al selalu membuatku semangat setiap memasak makan malam."

Lee Sung Min mengikuti arah tunjuk istrinya, mendapati seorang bocah perempuan mungil yang tengah duduk menyelonjorkan kaki sementara tubuh mungilnya terbalur cat lukis warna-warni yang juga berserakan di sekitar ruang tempat mencuci. Pria itu tahu betul minat puterinya pada hal-hal tentang menggambar atau melukis. Jadi pemandangan seperti ini tak lagi aneh di tiga bulan terakhir dalam kehidupan Lee Sung Min yang penuh warna-warna cerah.

"Daddy!" pekik Kim Hyang Gi. Bocah itu tersenyum lebar dan berdiri cepat, hendak menghambur dalam pelukan ayahnya.

"Woohoow, tunggu dulu, Tuan Puteri," Lee Sung Min menolak terjangan puterinya, membuat Kim Hyang Gi menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Wajahnya terlihat memberengut.

"Kenapa? Apa aku tidak boleh peluk?"

Vanessa Heinz tertawa, "Al, lihat saja tubuhmu. Penuh cat. Kau akan membuat pakaian ayahmu menjadi kotor karenanya."

Lee Sung Min ikut tertawa, ia menekuk kakinya agar tingginya dan tinggi Hyang Gi menjadi sejajar. Hati-hati, diletakkannya kedua tangan di kedua bahu sang puteri. "Kurasa ini bukan suatu bentuk yang harus ditolak. Kau tahu, Dad selalu senang setiap kali kita berpelukan, Hyang Gi-ya. Hanya saja, di depan tadi tidak ada yang menjawab salam Dad. Apa kau tahu rasanya ketika mengucap salam dan tidak ada yang menjawab?"

"Ah, salahku, Oppa..." sela Vanessa Heinz, "kami terlalu sibuk di dapur dan tidak mendengar apa-apa," tambahnya. Sang Ibu menekuk kakinya lagi, hingga baju panjang menyerupai gaun berwarna krem tua itu menutupi beberapa bagian lantai ruang mencuci. Kim Hyang Gi menatap wajah kedua orang tuanya dengan tatapan bingung.

"Apa aku melakukan kesalahan, Dad? Mum?" tanyanya polos, "aku minta maaf kalau begitu," lanjutnya. "Apa aku dimaafkan?"

"Tidak ada yang salah, Al," sahut Sung Min. "Di depan tadi, Dad bilang, assalamu'alaykum," ulang pria itu, menghadap puterinya.

Kim Hyang Gi melebarkan senyuman.

"Wa'alaykumussalam, Daddy," katanya, diikuti kalimat yang sama oleh Vanessa Heinz. Lee Sungmin melepas pegangan pada pundak Kim Hyang Gi, membiarkan puterinya memeluknya meski itu berarti cat-cat lukis yang ada di tubuh si kecil, berpindah pada pakaian kerjanya.

"I love you, Little Princess," bisik Sung Min.

"I love you, too, Daddy," balas si mungil.

"Oh, ya ampun, tega sekali... Apa Mum benar-benar sudah dilupakan?" Suara Vanessa Heinz menyela pelukan keduanya.

Lee Sung Min terkekeh, tapi tidak melepaskan dekapannya pada sang anak.

"Hyang Gi-ya, sepertinya ada yang mau ikut?"

Kim Hyang Gi menarik diri, lalu beralih memeluk sang ibu.

"I love you, Mum," kata Kim Hyang Gi lagi, "maaf membuat bajumu menjadi kotor."

Gelak tawa Lee Sung Min terdengar, disusul kekehan Vanessa Heinz. Lee Sung Min melebarkan tangan dan memeluk keduanya, mencium pucuk kepala keduanya, bergantian.

"Harga bajunya takkan bisa lebih mahal dari harga pelukanmu, Al," kata Vanessa Heinz. Pelukan mereka terlepas, "Well, Al, kau meneruskan melukis, dan bereskan semuanya sampai rapi. Mum akan melanjutkan memasak. Oke?"

Lee Sung Min mengacak rambut puterinya.

"Dengarkan ibumu, Al."

Kim Hyang Gi hanya mengangguk pertanda ia setuju, lalu mengecup pipi sang ibu dan sang ayah masing-masing dua kali, sebelum akhirnya kembali pada pekerjaannya di sisi kanan dapur, di dekat mesin cuci.

"Dan kau," Vanessa Heinz membetulkan dasi yang masih menggelantung di leher Sung Min, membuatnya longgar sedikit dan lalu berusaha menghapus noda cat yang ada di sana. "Ganti bajumu biar nanti langsung kucuci agar catnya tidak terlalu melekat. Karena aku sangat suka melihatmu dengan setelan ini. Kemeja dan dasinya terkombinasi dengan baik."

"Begitu?"

"Tidak juga. Aku selalu suka melihatmu mengenakan setelan apapun, Oppa."

"Nah kan, kau selalu merayuku, Essa..."

Vanessa Heinz tertawa, sampai kepalanya terbenam di dada Sung Min, suara Kim Hyang Gi memecah suasana.

"Mum, katanya mau lanjut memasak, kenapa masih pelukan dengan Dad? Aku juga mau kalau begitu!" kata bocah itu dengan nada merajuk.

Vanessa Heinz menoleh, mendapati anaknya bersedekap, di dekat kanvas yang sudah acak-acakan.

"Oh, ya ampun, iya juga. Samgyetang-nya sepertinya sudah siap disantap."

Vanessa Heinz melepas tautan tangannya pada sang suami, lalu ancang-ancang untuk beranjak mendekati kompor. Namun belum sampai melangkah untuk yang kedua kalinya, Lee Sung Min yang sudah memastikan bahwa Kim Hyang Gi kembali berkutat pada lukisannya, menarik lengan Vanessa Heinz lalu dalam hitungan detik, mencium bibir wanita yang sudah halal untuknya, dengan singkat.

"Excuse me?" protes Vanessa Heinz sambil melirik pada Hyang Gi yang kini mulai merapikan peralatan lukisnya. Mereka tak pernah mengumbar kemesraan berlebihan di depan Kim Hyang Gi sama sekali.

"Maaf mengejutkanmu, Essa. Hanya saja, aku sedang sangat bersemangat," belanya, "omong-omong, tolong masak yang enak karena kurasa aku harus makan banyak malam ini."

Vanessa Heinz tidak menjawab melainkan mengangkat kedua alisnya. Merasa heran kenapa suaminya mendadak meletup-letup begini.

"Kau tahu kan, puteri kita sangat menginginkan kehadiran seorang adik," Lee Sung Min tersenyum hingga hampir menyerupai seringaian termanis. "Jika kau paham maksudku, Essa," tandasnya seraya mengerling, menyebabkan kedua pipi Vanessa Heinz mendadak panas.[]


[✓] A Wedding Dowry That She AskedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang