17 || di Lotte World

5.9K 283 19
                                    

JAM di dasbor mobil sudah hampir menunjukkan jam sembilan pagi. Itu berarti sudah hampir satu jam Sung Min berkutat dengan kitab tebal yang ada di tangannya sekarang. Membukanya berulang kali dan membacanya sebentar-sebentar. Tulisannya banyak. Penuh huruf asing. Di sebelah kiri ada juga tulisan hangul yang merupakan terjemahan dari bahasa asing di lembar kanan. Membukanya juga tidak seperti buku pada umumnya. Dari kiri ke kanan.

Tulisannya berukir. Dia sama sekali tidak ada ide tentang cara membacanya, jadi lebih sering melayangkan pandangan pada kolom terjemahan dan yang sering dia buka adalah Surat Al Baqarah ayat 23. Menekurinya beberapa menit sebelum akhirnya membalik halaman lain, meski pada akhirnya pembacaan Sung Min kembali tertuju pada ayat tersebut.

Kemarin sore, sang ibu mencak-mencak padanya. Setengah histeris meneriakinya yang tengah berada di lingkungan Masjid Kota Seoul. Di Ilsan tidak ada Masjid, apalagi megah seperti Masjid di Itaewon. Ibunya bilang tidak seharusnya Sung Min berada di sana.

Ibunya bilang itu bukan tempatnya. Itu bukan tempat mereka.

Dia berkali-kali bilang pada sang ibu bahwa dia baik-baik saja. Tidak ada yang berubah darinya meski dia berada di dalam sana. Dia masih tetap anak ibunya kan? Dia masih tetap seorang Lee Sung Min kan?

Lalu kenapa?

Ibunya berkata bahwa Sung Min harus datang dalam undangan makan malam dengan gadis bernama Park Yoo Jin itu. Ya ampun, demi apapun, gadis itu memang manis. Tapi sosok Vanessa Heinz dan anaknya sama sekali tidak mau hengkang dari pikiran Sung Min.

Lalu dia harus bagaimana? Dia harus apa?!

Sung Min seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa penyakit rindu yang menghujam urat nadinya selama beberapa hari belakangan ini, harusnya disembuhkan. Tentu saja.

Jika kau rindu, maka penyembuhnya hanya satu; Yaitu bertemu.

Maka jadilah Sung Min berniat mendatangi penginapan Vanessa Heinz saat malam menjelang. Tapi dia belum pernah mendatangi penginapannya tanpa diundang. Hyang Gi sama sekali tidak menghubunginya dalam rentang waktu tiadanya pertemuan mereka.

Apa bocah itu tidak merindukannya ya?

Rasanya tidak mungkin.

Dia pasti merindukanku, pikir Sung Min. Karena aku merindukannya.

Tapi apa yang akan dia ucapkan ketika beradu pandang lagi dengan Vanessa Heinz? Apa yang harus dia katakan pada perempuan itu?

Oke, baiklah, Sung Min menyerah.

Dia kerdil.

Jadi Sung Min mengurungkan niat untuk menemui mereka kemarin sore. Memilih untuk menyalakan kembali ponselnya setelah tadi dimatikan karena ibunya menelepon terus-menerus sebab Sung Min memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

Tangannya bergerak menyentuh layar ponsel dengan gerakan pelan, mencari nomor kontak Hyang Gi di sana. Sambil tersenyum sekilas, dia menyentuh ikon panggil pada kontak Pipi Gembil Berkerudung Merah.

Butuh empat kali nada sambung sebelum Sung Min mendengar celotehan bocah itu.

"Paman Sung Min?" Suaranya terdengar.

Hati Sung Min riuh redam tanpa kendali. Rasanya bahagia sekali.

"Paman, apakah ini Paman Sung Min?"

"Eo, Hyang Gi-ya."

Astaga, bahkan suara Sung Min menjadi serak begini.

"Ini aku, Paman Sung Min."

"Ini Paman Sung Min? Woa, apa kabar Paman? Kenapa tidak pernah ada kabar sama sekali? Tak tahukah bahwa aku merindukan Paman?"

Sung Min meneguk ludah mendengar pertanyaan bocah itu.

[✓] A Wedding Dowry That She AskedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang