12 || Mahar yang Dia Ajukan

6.7K 323 31
                                    

BERGEMING di ambang pintu penginapan, Sung Min tercenung. Matanya menatap mata Vanessa Heinz tanpa berkedip sedikitpun. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Sekejap bahkan seolah Sung Min kehilangan penahan tubuh pada area lutut. Hanya saja ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak limbung dan mempermalukan diri sendiri.

Selang beberapa saat, tetap tidak ada suara apapun yang terdengar. Sung Min masih berusaha menemukan oksigen yang tadinya serasa menyusut, menghiraukan gerakan mata Vanessa Heinz yang kemudian tertunduk. Vanessa Heinz berdehem sekilas, membuat Sung Min menyadari bahwa posenya sangat dekat dengan gambaran dungu.

"Lee Sung Min-sshi..."

Suaranya.

Astaga, suaranya terdengar mengintimidasi, melempar Sung Min ke sudut paling runyam.

Lee Sung Min memberanikan diri menghela napas dan meski masih sulit, ia berusaha bersuara.

"Mrs. Heinz,"

"Maaf, tapi aku harus shalat Asar."

Vanessa Heinz menyambung kalimatnya tanpa peduli bahwa Sung Min berupaya untuk mengajukan pilihan lain selain mahar pernikahan yang Vanessa Heinz ajukan beberapa saat lalu.

Lee Sung Min hanya bisa terdiam sampai akhirnya hanya berkata, "Oh, baiklah," dengan sangat kaku dan selanjutnya perlahan mundur, berbalik.

Sung Min masih bisa mendengar suara pintu ditutup ketika kemudian beranjak, memulai langkah menuju halaman depan. Angin sore menyambutnya dengan penuh kegersangan, seolah mengejeknya yang sepertinya ingin menyerah dan sekuat tenaga menutup hati karena toh perbedaan itu kian jelas terlihat.

Vanessa Heinz adalah seorang muslim dan Lee Sung Min adalah seorang nasrani.

Vanessa Heinz bersedia menjadi istri dari seorang Lee Sung Min dengan keislaman sebagai mahar.

Memang dia pikir apa yang dimaksud dengan sebuah keyakinan? Apakah keyakinan seseorang dapat berbelok hanya karena suatu keinginan? Lalu memang apa yang kumaksud dengan keyakinan? Bukankah jutaan kali aku berkata bahwa keyakinan hanyalah hal kecil yang mestinya tidak memberi jurang terjal seperti yang sekarang tengah aku alami? Apakah harus menyeberang untuk dapat bersama?

Sung Min tidak tahu. Pergumulannya masih ada di dalam dadanya. Suara Vanessa Heinz yang dengan lantang menyuarakan permintaannya terhadap mahar yang harus diberikan, juga masih terdengar nyaring. Jelas dan tegas di dalam kepalanya, mengiang tanpa henti, membuat jantungnya berdegup tanpa kendali dan seolah dia berdiri di ambang ketidakpastian.

Keislamanmu.

Begitu kata Vanessa Heinz.

Dengan gamblang dia meminta Sung Min untuk beralih dari satu keyakinan ke keyakinan yang lain. Memang apa bedanya agama yang Sung Min anut dengan agama yang Vanessa Heinz anut? Bukankah sama-sama menyembah Tuhan? Bukankah sama-sama mengajarkan kebaikan? Lalu untuk apa sebegitu ngototnya atas suatu persamaan? Mengapa sebegitu kukuhnya berpendirian bahwa perbedaan antar keyakinan adalah satu hal yang tidak bisa diper satukan?

Hah, begitu banyak yang terlintas dalam akal Sung Min. Menelaah setiap bagian. Memecahnya dan berharap ia bisa mengerti. Hingga tanpa ia sadari langkah kakinya sudah membawa Sung Min hingga ke parkiran mobil di dekat Masjid Raya Seoul. Tempat mobilnya terparkir tadi, sebelum Vanessa Heinz menunaikan shalat Zuhur-nya beberapa jam yang lalu.

Pintu mobil terbuka dan Sung Min baru hendak masuk ketika beberapa suara terdengar dari pengeras suara, dari arah masjid. Dia mendongak, menatap kubah dan ujung bangunan menjulang itu dengan kening berkerut. Suara yang ditimbulkan dari sana terdengar merdu. Ini bukan azan. Sung Min tahu apa itu azan karena sudah lumayan sering mendengarnya setiap jam makan siang. Bukan. Ini bukan azan. Tapi bahasanya tetap tidak ia mengerti. Begitu asing.

[✓] A Wedding Dowry That She AskedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang