Dua

1.8K 119 16
                                    

Riana POV

Apakah cinta wujudnya seasli ini?

Apakah aslinya hanya menyakiti?

Apakah cinta perihal merelakan?

Haruskah cinta yang tak terbalaskan?

Aku mencintainya. Sudah terlalu lama dirinya bersemayam dalam hatiku. Sudah terlalu lama pula aku menyimpannya rapat-rapat.

Aku mencintainya. Sudah terlalu lama mencintainya. Bahkan aku rela mencintai dirinya yang dalam keadaan tak kuasa menahan luka.

Dia yang dulu memiliki sejuta cerita, mengabaikan setiap hati yang mendekat. Perihal sakit, akupun sama. Tidak mudah untuk menggapai hatinya.

Temanku mengenalkannya padaku agar aku bisa segera bangkit dari luka lamaku karena ulah mantan kekasihku, Adam. Lalu aku mengenal dirinya dengan perlahan.

Namanya Reinhart. Aku ingat betul. Dirinya yang sangat menutup diri membuatku semakin penasaran. Tak ada niat setitikpun untuk jatuh hati padanya kala itu. Karena aku tau, sembuh dari luka bukan hal yang sebentar.

Aku menerima perkenalan itu atas sesama penderita patah hati. Katakanlah kami satu nasib. Sejalan membungkus kepingan hati yang berceceran di jalan setapak sepeninggal cinta lama kami.

Namun waktu berkata lain. Aku malah jatuh cinta pada lelaki penguasa es batu itu. Hatinya masih tetap dingin saat aku mendeklarasikan perasaan.

Dan saat itu pula, kuputuskan kepada diriku dan juga Natha, bahwa aku sukses move on!

Namun masalahnya, apa aku "pindah" ke hati yang benar?

Seakan semesta mendukung "perpindahanku", waktu berhasil membuatnya jatuh hati.

Malam itu ia datangi rumahku dan menyatakan keseriusannya ingin menjalin hubungan denganku. Dia bilang, sadar bahwa selama ini yang ia butuhkan hanyalah seorang aku. Orang yang sama-sama pernah berjuang membalut luka hati dan di akhir, jatuh cinta padanya.

Tanpa kutanyakan dahulu tentang keseriusannya, ia mengatakan bahwa berkat aku, si pembuat luka lama telah lenyap dari hatinya.

Dia pernah menanyakan hal yang sama padaku. Sungguh, Adam si lelaki bajingan itu telah lama menghilang dari hidupku.

Kini hubunganku dengannya sudah nyaris berumur tiga tahun. Ibarat balita, ini lagi lucu-lucunya.

Namun waktu dan takdir seolah bersekongkol menohok jantungku dengan bringas. Reinhart bertemu kembali dengan si pembuat luka lama.

Coba tolong jelaskan, apa sekarang aku harus kehilangannya? Apa Reinhart akan kembali bersama si pembuat luka? Lalu meninggalkanku yang telah bersusah payah membuat luka itu mengering dan hilang?

Sungguh aku belum siap. Jika Reinhart pergi lantas siapa yang nantinya menyembuhkan lukaku?

Aku menutup bolpen dan buku catatan harianku. Kutaruh benda itu kedalam tas dan kembali menatap jendela perpustakaan ini dalam diam. Sejenak kulirik arloji, waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Itu tandanya aku sudah sekitar tiga jam berdiam diri di sini.

Aku membolos satu mata kuliah bisnis tadi pagi. Biarlah. Otakku butuh istirahat setelah semalaman aku berpikir keras.

Dan kali ini bukannya berisirahat, otakku malah kembali memutar ingatan kejadian seminggu lalu. Kejadian dimana pacarku yang telah mengisi hariku nyaris di tiga tahun ini kembali bertemu cinta lamanya.

Sedih? Itu sudah pasti. Aku adalah orang yang tak pandai menunjukkan raut kebohongan. Kalau kata Rei, aku ini gampang ditebak.

Rei? Ah, sudah seminggu ini dan sejak kejadian itu, Rei jarang menghubungiku. Di kampuspun, ia tak pernah lagi menghampiriku saat jam makan siang atau sekedar mengobrol. Aku benar-benar mulai kehilangan dia.

Pertemuan kami dengan Luna sungguhlah sangat mengejutkan. Dulu Luna meninggalkan Rei tanpa pamit dan hanya meninggalkan sepucuk surat. Itupun dititipkan kepada Bik Tinah, asisten rumah tangga keluarga Rei.

Luna tidak pernah mengatakan apa-apa sebelumnya kepada Rei perihal kepindahannya itu. Jadi, saat hari kepergiannya, Rei benar-benar hancur. Dan sejak saat itu pula, Luna tidak pernah bisa dihubungi.

Aku menghela napas dengan kasar untuk kesekian kalinya lagi. Belum sedikitpun merasa bosan duduk di samping jendela perpustakaan ini. Untuk pertama kalinya, aku suka kesendirian. Setidaknya itu bisa membuat, cukup aku yang tau tentang kesedihanku.

"Ri?" Sapa suara lembut.

Aku menoleh dan mendapati Natha tengah tersenyum dan tangannya berada di pundakku. Aku membalas senyumannya tipis.

"Harus banget sampe segala bolos gini?" Tanyanya ketus. Aku meliriknya malas, lalu kembali menatap jendela.

Aku melihat kebawah-- kebetulan perpustakaan fakultas ada di lantai tiga-- dan pandanganku menangkap sosok yang amat kukenal--bahkan kucintai. Dia memakai kemeja biru digulung sampai siku dan celana jeans serta sneakers kesayangannya.

Tanpa sadar aku tersenyum melihat gaya casual Rei sehari-hari yang begitu saja mampu membuatku lemas. Namun senyuman itu langsung sirna dari wajahku ketika melihatnya dengan tergesa masuk kedalam mobil dan melajukannya dengan cepat.

Aku bergegas mengambil ponselku dari dalam tas dan menggeser tombol kuncinya. Tidak ada notifikasi masuk. Kukira Rei akan mengabariku atau sekedar mengucapkan selamat pagi seperti biasanya.

Natha mendengus. "Lo ada masalah apa sama Rei?"

Aku melirik Natha yang tengah menatapku penuh khawatir. Aku tahu, tanpa kuberitahupun Natha sudah pasti merasakan ada kejanggalan antara kami berdua. Itu wajar. Karena setiap harinya kami selalu menempel bagai tak terpisahkan juga dengan Natha.

Aku menunduk lemas. Rasanya jika mengingat segala tentangku dan Rei hanyalah membawa luka. Natha mengenggam tanganku yang berada di atas meja dan mengusapnya lembut.

"Lo bisa cerita semua tanpa pengecualian sama gue, Ri." Aku mendongak menatap Natha dengan air yang sudah membasahi pipiku.

Natha bangkit menghampiriku lalu duduk di sebelahku. Ia merengkuh tubuhku dan membiarkanku tersedu dalam pelukannya.

Setelah berhasil tenang, kuceritakan semua kejadian yang berawal pertemuan dengan Luna seminggu lalu hingga detik ini Rei yang tak pernah lagi membalas telpon dan chatku.

Natha menatapku tidak percaya. Wajahnya berubah pucat dan kebingungan. Ia tidak menyangka bahwa Luna akan kembali dan respon Rei yang seperti ini.

"Gue perlu ngomong sama Rei." Ujarnya. Spontan aku mengenggam tangan  halus Natha dan menatapnya dengan tatapan plis jangan!.

Natha balas menatap dengan tatapan bertanya. "Jangan, Tha. Gue nggak mau masalah ini jadi panjang. Gue cuma mau lihat Rei bahagia." Jawabku yang sudah pasti seribu persen bohong. Dan Natha tahu itu.

"Apaan, sih lo? Ngga usah sok kuat! Gue tau lo masih cinta sama dia." Ucap Natha sarkastik. Natha memang tau betul karakterku, mengingat kami sudah berteman dari awal kuliah dan saat ini kami sudah sama-sama semester akhir.

Airmataku kembali tumpah tanpa permisi. Kulirik lagi ponselku tergeletak di meja tanpa satupun notifikasi yang masuk.

Kemana Rei? Dimana dia? Kenapa dia berubah?

Jika Rei memang ingin mengejar cinta lamanya, lantas sanggupkah aku sendirian?

Bila cinta harus semenyakitkan ini, ajari aku cara untuk bangkit lagi.
     
        ***

-tbc-

Well.. agak sedih gitu sama karakter Riana._.

Happy reading^^

How To Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang