Dua Puluh

1.1K 87 16
                                    

Omongan basa-basi dari Evan beberapa hari lalu ternyata bukan basian belaka. Buktinya siang ini pria itu sudah berada di kafe Riana bersama rekan-rekan kerjanya. Riana pikir saat di rumahnya kala itu Evan hanya membuka obrolan saja ingin mengunjungi kafe miliknya. Ternyata ada udang di balik bakwan.

"Ri, ini Evan. Saya mau makan siang di kafe kamu boleh? Kebetulan temen kerja saya ternyata langganan kafe kamu."

Begitulah isi pesan dari manusia kaku Evan beberapa waktu sebelum jam makan siang tadi. Memang saat di rumah Riana tempo hari mereka sempat bertukar kontak dengan alasan jikalau ada keperluan. Ya seperti ini, contohnya.

Ya Riana sih membolehkan saja. Toh, secara nggak langsung Evan mempromosikan usahanya ke teman-temannya. Sekali mendayung, dua tiga pulau ketinggalan. Eh? Apa, sih?

Baydewey...

Riana masih kepikiran sama omongan Reinhart tempo hari. Pria itu sejak ngomong "ngelantur" tak pernah lagi menghubungi Riana. Jadi kayak semacam.. Rei hubungin Riana pas dia lagi 'kosong' aja, gitu? Apa gimana?

Lepas dari itu, sebenarnya bukan masalah Rei yang kembali menghilang lagi. Tapi persoalan pria yang pernah menemani hari-harinya selama nyaris tiga tahun itu yang seenaknya datang seakan menaburi garam di atas luka Riana yang baru saja perlahan menutup. Ada apa sebenarnya dengan pria itu?

Mencoba rileks kembali, Riana menyandarkan tubuhnya pada kursi kerja. Memejamkan matanya sejenak guna mengusir kegundahan yang dengan lancangnya mendatangi ketenangan yang susah payah ia cipta.

Drrt...

"Riana, saya pamit balik ke kantor."

Buru-buru Riana bangkit dari duduknya dan melesat keluar bermaksud menyusul Evan.

Evan menoleh mendapati Riana berjalan kearahnya. Senyum manisnya terbit menyambut wanita yang baru dikenalnya beberapa hari itu.

"Mau balik sekarang?" Tanya Riana mengedarkan pandangannya pada Evan dan teman-temannya.

Evan mengangguk. "Iya, udah mau abis jam kantornya," jelas Evan masih dengan senyuman.

Riana mengangguk paham. "Maaf ya nggak bisa nemenin tadi lagi ribet banget di belakang," sesal Riana dengan kekehan di belakangnya, merasa tak enak.

Evan menggeleng pelan sambil tertawa melirik teman-temannya. "Ngga kok, santai aja. Saya ngerti. Kapan-kapan saya mampir lagi kesini, boleh?"

Riana mengerjap seakan barusan nyawanya diculik oleh segerombolan koala penyebar coklat di ladang gandum. Senyumnya Evan, boook! Manis bener kayak saus kue rang-rang.

Bagi Riana, suara dan tawa renyah Evan tadi bagai kerupuk dalam nasi gorengnya. Bikin krenyes. Hatinya tersentuh melihat tawa kecil Evan yang terkesan lepas dan tanpa beban. Padahal cuma gitu aja. Entah kenapa.

"B..boleh, lah! Sering-sering aja, hehe."

Evan mengangguk lagi. Lalu mereka semua berpamitan dan Riana sempat mendengar pujian salah satu dari tiga teman Evan mengenai kafenya yang ia balas dengan ucapan terimakasih.

Empat punggung yang kian menjauh menghampiri kendaraan masing-masing ke parkiran. Salah satu pemilik punggung itu adalah orang yang baru beberapa hari ia kenal. Sebenarnya agenda makan malam tempo hari masih menyisakan tanya dalam kepala Riana. Itu hanya makan malam biasa atau ada udang dibalik rempeyek? Kok rada nagih gini.

Sebab hingga detik ini pun orang tuanya tak pernah menyinggung apapun lagi perihal dirinya dan Evan. Toh, apa juga yang mau dibahas kalau 'tidak ada apa-apa'?

How To Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang