Lima

1.3K 100 16
                                    

Tak terasa sudah genap sebulan putusnya hubungan Rei dan Riana. Dan hari ini, adalah acara wisuda keduanya.

Ya, akhirnya Riana dapat meraih gelar sarjananya di jurusan Ekonomi. Sementara Rei dengan gelar sarjananya di jurusan Tekhnik Sipil. 

Dahulu mereka untuk wisuda bersamaan. Setelah wisuda, Rei berniat mengajak Riana untuk liburan ke Jogja, kota favorit Riana.

Namun itu dulu, yang tercipta saat mereka masih berada dalam satu lingkaran yang sama. Kini semua angan tersebut hanya tinggal bayangan belaka.

Mereka memang wisuda di waktu yang sama, namun sudah beda prioritas. Riana dengan Natha dan juga teman-teman dekatnya yang lain. Sementara Rei dengan teman-temannya juga.... Luna?

Riana menyipitkan matanya menatap sosok yang cukup dikenalnya. Meski baru bertemu satu kali, ia hafal betul yang berada di samping Rei dengan gaun anggunnya itu adalah Luna.

Wanita itu tengah tertawa bersama Rei dan teman-temannya. Terlihat sangat jelas Rei sangat bahagia.

Tanpa disadari senyuman kecil menghias bibir Riana. Ia ikut bahagia melihat lelaki yang dicintainya bahagia. Meskipun.. kini senyum lelaki itu bukanlah karena dirinya.

"Selamat ya, Ri."

Riana terkesiap dari tempatnya dan menoleh ke asal sumber suara berat itu.

"Dio?"

Lelaki yang dipanggil Dio itu tersenyum tulus dan menjulurkan tangan kanannya guna menjabat tangan Riana. Riana tersenyum seraya membalas jabatan itu.

"Lo juga. Kok disini? Nggak gabung kesana?" Tanya Riana sambil menunjuk kelompok Rei yang tengah mengobrol.

Dio menggeleng, "tadi udah kok." Riana mengangguk, Dio memperhatikan wajah Riana yang terlihat lesu. "Temen-temen lo pada kemana?"

Riana menoleh kesana kemari. Tadi mereka masih ada di sekitarnya. Tapi kenapa sekarang sepi? Bodoh, saking sibuknya melamun sampai tak sadar orang di sekelilingnya pergi.

"Egh..." Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Dio tentu saja tahu kemana perginya teman-teman Riana. Sudah cukup lama gadis itu melamun dengan arah pandang tertuju pada Rei. Ia yang sedaritadi 'gerah' memperhatikan Riana memutuskan untuk menghampiri gadis itu.

"Makanya jangan kebanyakan ngelamun dong, Ri!" Riana hanya bisa tersenyum kikuk disemprot Dio begitu.

"Lo sendiri ngapain, sih di sini? Lo kan biasanya nempel mulu sama Rei dan kawan-kawan," ketus Riana dibuat-buat. Ia tahu, Dio adalah teman dekat Rei dan kalau dia menghampirinya seperti ini, pasti ada sesuatu.

Dio tertawa, "Emang gak boleh gue nemenin jomblo di sini?"

Riana melotot dan meninju lengan Dio pelan, "Sialan lo," Desisnya.

Riana kembali melempar pandangan ke Rei dan tubuhnya seketika kaku. Rei di sana tengah mengobrol bersama teman-temannya dengan tangan yang melingkar di pinggang Luna. Hatinya terasa dicengkram kuat-kuat hingga menimbulkan sakit luar biasa. Reflek, ia mendongak menatap langit-langit gedung berusaha untuk menahan airmatanya agar tidak jatuh.

Dio yang mengetahui itu menarik lengan Riana dan membawanya menjauh.

Mereka sudah berada di balkon gedung tempat wisuda itu. Dio menyodorkan air mineral gelas kemasan kepada Riana.

"Thanks."

Dio mengangguk. Disandarkan kedua lengannya pada penyangga balkon. Matanya menerawang ke pemandangan Ibu Kota yang semrawut.

"Gue pernah ngerasain yang namanya patah hati, sakit hati, ditinggalin, ditolak." Katanya membuka suara. Matanya masih terus menerawang jauh.

Riana seketika menoleh. Ia ingin ikut membuka bibir saat Dio kembali berbicara.

"Dan itu semua adalah bagian dari hidup gue. Gue seneng gue pernah dikasih semua rasa itu. Setidaknya, gue pernah belajar kuat," Ia menoleh pada Riana dan tersenyum.

"Tapi batas kekuatan seseorang beda-beda, Yo," jawab Riana. Giliran dia yang menerawang menatap hamparan Ibu Kota.

Dio menegakkan tubuhnya.
"Maafin gue, Ri. Harusnya gue bisa nahan dia buat nggak begini. Ini nggak adil buat lo."

Riana tersenyum. Senyum yang penuh kesakitan.

Tak ada jawaban, Dio menoleh melihat wajah gadis di sebelahnya. Senyum itu masih mengembang di bibir Riana. Namun Dio tahu, itu bukanlah senyum tulus milik Riana.

Itu adalah senyum orang yang tengah berjuang melawan kesakitan.

"Ri..."

"Lo nggak salah, Yo," potong Riana.

Dio menghentikan kalimatnya. Sedikit tertegun dengan ketegaran Riana. Senyum itu masih ada di sana.

"Ini namanya takdir. Gue ketemu Rei, lalu kita jatuh cinta, saling mengobati hati satu sama lain. Gue mencintainya seutuhnya, dia mencintai gue seperlunya."

Ingin sekali Dio merengkuh tubuh gadis tegar ini jika saja ia tidak memedulikan keadaan sekitar.

Lelaki itu tahu betul bagaimana kisah cinta dua insan tersebut. Bahkan saat-saat tersulit Rei kala ingin melepas Riana pun ia tahu.

Riana adalah gadis yang sukses membuat Rei keluar dari masa-masa terpuruknya. Dan sebaliknya, Rei pula yang berhasil membuat Riana melupakan kisah asmara pahitnya dulu.

Malam sebelum Rei mengajak Riana untuk bertemu dan memutuskan hubungan mereka, Rei mendatangi Di di rumahnya. Pria itu terlihat sangat kacau.

Rei meminta pendapatnya pada apa yang harus dilakukannya. Ia masih mencintai Luna dan juga Riana. Dio yang tau betul perasaan Rei, memberi pendapat untuk tidak menyakiti kedua perempuan berbeda latar belakangl itu.

"Berlaku bijaklah, Rei," hanya itu yang bisa diucapnya.

Dio tahu betul sekuat apapun Rei di mata khalayak, pria itu tetap memiliki sisi rapuh. Tentu ia tahu, pertemanan mereka sudah terjalin sejak Rei dekat dengan Luna dulu.

Riana kembali menoleh pada Dio, membuatnya sedikit kaget karena sedaritadi ia tengah memandangi wajah gadis itu lekat.

"Makasih ya, udah mau jadi temen gue selama ini. Gue boleh minta tolong?" Dio mengangguk.

"Tolong jaga Rei, untuk gue.."

Dio tersenyum. Tangannya terjulur menepuk kepala Riana pelan, "Ngga usah lo minta, Ri."

Riana ikut tersenyum. Kali ini bukan senyum kesakitan, tapi senyum tulus dari hatinya.

"Masuk?" Ajak Dio.

Rianga mengangguk. Ia bisa melihat Natha di dalam sana sudah memanggilnya dengan lambaian tangan.

***

Riana's POV

"Aaaaaaaahhhh.."
Aku mengerjap saat semburat cahaya mentari menelusup kedalam celah jendela kamarku. Menyinari mataku dengan tidak sopan hingga membuatku menaikkan selimut bergambar Minnie Mouse ini.

Acara wisuda kemarin, sukses membuat badanku terasa seperti habis dilindas tronton. Remukkk!

Tapi lebih remuk hati, sih.....

Agenda hari ini: malas-malasan di rumah!

Yihaaa...
Akhirnya yang ditunggu tiba juga. Ketika kelulusan sudah menghampiri dan aku bisa tidur sampai siang. :')

Iyalah, saat masih kuliah, boro-boro tidur sampai siang. Aku bahkan nyaris setiap hari tidur jam tiga pagi untuk mengerjakan tugas sialan, lalu harus bangun kembali jam lima subuh. Itu semua kulakukan sebagai abdiku menjadi seorang mahasiswi. Cieee.

Aku melirik ponselku yang bergetar di meja nakas samping ranjang. Dengan malas kuraih benda ramping itu dan membuka kunci layarnya.

Kubuka pesan yang masuk.

"Selamat, ya atas kelulusannya. Bisa ketemu hari ini?"

***

-tbc-

How To Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang