Dua Puluh Empat

1.2K 106 67
                                    

Riana mematut dirinya di depan cermin. Dress yang panjangnya di bawah lutut, rambut coklat panjang digerai, dan flatshoes biru kesayangan sudah menempel di tubuh rampingnya. Dirasa sudah pas, ia keluar dari kamar lalu berpamitan pada ibunya.

"Ma, pergi yaaa.." ujarnya setelah mencium tangan Mamah Dedeh.

"Mau kemana kamu? Hari Minggu emang kape nggak libur?" Mamah Dedeh ini memang bukan ibu-ibu sosialita yang up to date atau ibu gaul jaman sekarang. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang setiap hari mengurusi rumah dan keluarga.

"Kafe tetep buka, Ma. Kalo Riana sih bebas mau kesana apa nggak. Paling cuman patroli aja," Mamah Dedeh mengangguk sok paham. Entah paham sungguhan atau paham-pahaman.

"Mau bawa bekel gak?" Riana menatap ibunya gusar.

"Nggak usah, Ma.. Riana perginya ke mall, bukan ke Kebun Raya," Mama Dedeh mengangguk lagi.

"Yaudah, hati-hati bawa mobilnya. Salam buat Natha, ya." Riana mengacungkan dua jempolnya.

Baru selangkah ia bergegas, ibunya kembali memanggil namanya.

"Kamu udah nggak pernah ketemu sama Evan lagi, Na?" Tanya Mamah Dedeh.

Riana mendadak salah tingkah. Ia memang belum sempat menceritakan perihal pertemuan terakhirnya dengan Evan sekaligus perbincangan mereka kala itu pada ibunya. Jadi wajar apabila Mamah Dedeh bertanya demikian.

"Eehm.. Udah, waktu itu," ia bergerak mendekati ibunya. "Ma, soal Evan.. Udah aja ya, nggak usah dipanjangin lagi. Riana tau maksud mama baik ngenalin Riana sama Evan. Tapi jangan dibawa serius, ya. Dia itu udah punya calon, ma.." jelas Riana hati-hati. Ia takut ibunya akan merasa kecewa. Walau itu sudah pasti akan terjadi.

Wajah Mama Dedeh berubah seperti bingung bercampur kaget. "Kok, Jeung Ambar nggak pernah cerita, sih?" Gumamnya. Riana meringis merasa jadi tak enak hati.

"Yaa, mungkin Evan emang belum cerita sama mamanya, Ma.." ujarnya mencoba menenangkan sang mama.

Mama Dedeh terduduk lesu di kursi makan. "Yah, gagal deh mama punya mantu orang Pertamina."

Riana membelalakkan matanya. Jadi selain rempong, ibunya punya sifat yang begitu realistis khas wanita.

Setelah mencium pipi dan tangan ibunya yang kedua kali, Riana langsung melesat menuju garasi mobilnya lalu masuk dan menancap pedal gas keluar dari rumah. Ia pasang kedua handsfreenya lalu mengetikkan nama Natha di ponselnya.

"Cumi, gue udah jalan kerumah lo, nih!" Terdengar suara grasak-grusuk di sebrang sana.

"Gue baru kelar mandi, heheheheh.." kan. Bener aja. Riana hanya bisa sumpah serapah pada sahabatnya yang menyebalkan ini.

"Udah gue duga! Dasar kurap lo! Nggak mau tau, sepuluh menit lagi gue sampe udah harus siap. Titik!"

Klik.

Sambungan langsung ia matikan. Bodoamat sama Natha yang menggerutu di sana. Yang jelas jikai bertemu nanti dia ingin menjitak kepala sahabat 'tersayang'nya itu.

***

"Deeeuuu rapih banget, buuuu!"

Riana mencibir kesal. "Rapih salah, ngga rapih dihujat."

Natha tergelak, "Ya abis tumbenan banget lo begini rapihnya.."

"Perubahan dilakukan dari hal kecil, sist!" sahut Riana dengan kerlingan mata.

Keduanya tertawa. "Udah ah, yuk! By the way, Tante mana? Pamit dulu laah," kata Riana.

"Nggak ada. Cuman mbak doang sama gue daritadi nih," Riana mengangguk.

How To Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang