Tujuh Belas

1K 87 13
                                    

Reinhart Agustav:

Apa kabar?

Tak jauh dari bangunan panti, Riana memakirkan mobilnya sambil menatap bulat-bulat layar ponselnya. Membaca pesan dari aplikasi Line yang sebenarnya sudah dikirim sedari siang, namun benar-benar baru berani dibukanya sekarang.

Apa? Siapa ini? Reinhart itu siapa? Sok-sok nanyain kabar. Kayak kenal aja.

Ia membuka foto profil pengirim bernama Reinhart itu dan fotonya adalah seorang lelaki tengah merangkul pinggang wanita cantik berambut pendek dengan senyum keduanya yang terlihat bahagia.

Ini yang namanya Reinhart?

Penyesalan seolah sudah diatur untuk selalu datang di akhir. Ibarat dalam sebuah acara Talk Show di televisi, pelawak yang paling lucu selalu dikeluarkan di akhir sekmen sebelum penutup, agar programnya lebih terlihat menarik dan menyenangkan.

Ya, Riana menyesal. Menyesal karena ia malah membuka pesan tersebut. 'Kan ketahuan kalau sudah ia baca.

Menghela napas berat, Riana keluar dari aplikasi Line lalu mematikan ponselnya dan menaruhnya di dashboard. Ia kembali menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya kembali kerumah.

Setelah acara tangis menangis dengan Dinda tadi— dan berakhir ia yang berhasil membujuk anak itu untuk mau sekolah kembali— ia segera pamit pulang.

Raga masih berada dalam dunia tidur siangnya saat ia pulang. Padahal hari sudah sangat petang ketika Riana pergi. Sepertinya anak itu kelelahan karena bermain bersama kakak-kakaknya, juga Riana.

Iya, tadi Riana sempat bermain dengan Raga. Awalnya anak itu masih malu-malu takut. Tapi lama-lama malu-malu imut.

Selama diperjalanan, Riana mencoba melupakan pesan yang tadi dibacanya—yang sialnya malah jadi buah pikirannya terus. Apa yang pria itu inginkan? Untuk apa menanyakan kabarnya setelah berbulan-bulan bahagia dengan kekasih hatinya?

Apa kini lelaki itu telah ditinggalkan? HAHA. Lucu sekali kau, Rei.

Tapi jika benar dia ditinggalkan lagi oleh Luna, lalu pria itu ingin kembali padanya, begitu?

Ini perasaan, pak. Bukan wajan yang tiap hari dioseng sana-sini.

Apa urusannya dengan wajan? Hanya Riana dan Tuhan yang tau. Ngomong-ngomong, sepertinya dia memiliki teman dekat bernama David. Hey, kemana anak itu? Masih galau?

Dia tidak ditelan air laut Bali, 'kan?

Mengaktifkan kembali ponselnya, Riana memasang earphone lalu mencari nomor kontak David dan mencoba menghubunginya.

Lama dering itu terdengar, namun tak ada sahutan suara bariton seseorang di sebrang sana. Di tengah padatnya kendaraan yang menunggu lampu merah, pikiran Riana melalang buana. Sesungguhnya di balik sikapnya yang tenang, hatinya sangat berkecamuk.

Banyak sekali hal yang menjadi buah pikirannya. Kalau buah duren sih, enak. Sayangnya pikiran-pikiran itu belum ada yang menemukan titik terang. Yang ada hanya menambah sakit kepala.

Kalau pikiran-pikiran ini bisa dikomersialkan, mungkin Riana bisa umroh sekarang.

Dering sambungan telepon pun berhenti. Tandanya David tidak sedang berada dekat dengan ponselnya. Oke, baiklah. Beri jeda dan jangan hubungi dia lagi sebelum David sendiri yang menghubunginya. Mungkin pria itu sedang sibuk sekarang.

Baru saja ingin mencabut earphonenya, ponsel Riana gantian berdering. Dengan perasaan riang dilihatnya nama si penelpon. Matanya seketika membulat. Untung saja mobil masih dalam keadaan berhenti. Kalau tidak bisa saja Riana menginjak rem mendadak dan bahkan menyebabkan tabrakan beruntun.

How To Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang