"Udah, kan!"
Ringisan David masih dapat Riana dengar setelah ia mengoleskan obat merah padanya. Pria itu tengah mengelus-elus luka baret yang baru saja tercipta di lengannya dari hasil 'karya' Riana. Lumayan panjang, kalau soal perih itu sih akal-akalan David aja.
"Kuku kamu panjang-panjang banget sih kayak Maleficent," David mengaduh saat Riana memencet luka baretnya.
"Emang pernah ketemu Maleficent?"
"'Kan di posternya gitu,"
Riana memilih tak menanggapi. Masa bodo pria itu mau bicara apa. Rasa kesalnya juga belum hilang seratus persen.
"Ku tak suka tak suka tak suka punya pacar tapi badan baret smua..."
Riana mendelik mendengar suara fales David. "Bisa diem nggak?" Ketusnya.
"Nggak bisaaaa,"
"Oh jadi kamu nggak mau punya pacar kayak aku?"
"Jadi kita pacaran yah?"
Skak mat.
David menatap lekat wajah Riana yang memerah. Sungguh tiada hal yang menyenangkan saat ini dari menyaksikan bersemunya wajah wanita yang dicintainya.
Dicintainya?
Ya. David telah seratus persen memantapkan kepada siapa hatinya akan berhenti dan Riana-lah pilihannya. Ia sadar bahwa tak ada gunanya mengejar cinta yang tak patut diperjuangkan. Karena jika bersama Luna, ia tahu hanya dirinyalah yang berjuang. Sementara wanita itu, berjuang tapi bukan untuk dirinya. Melainkan untuk sosok yang lain.
Dari sini David paham bahwa sebenarnya cinta tidak memandang seberapa lama kebersamaan yang telah ada. Tapi cinta dilihat dari sejauh mana mereka mampu bertahan meski banyak rintangan dan halangan yang mendera. Karena bisa saja dua orang yang lama menjalin hubungan namun tidak ada rasa antara keduanya, bukan?
"David!"
"Aww! Aduh, sakit, Ri.." rajuk David berpura-pura sakit saat Riana memukul lengannya.
"Siapa suruh jadi orang yang labilnya level Zeus, huh?" Hardik Riana.
David mengernyit tak paham. "Maksudnya?"
"Hati kamu sama 'dia' itu sama. Sama-sama mencintai satu wanita. Bedanya, kamu masih abu-abu. Sementara 'dia' putih sempurna. Kamu punya dua pilihan, tinggalin aku dan kejar warna sempurna kamu, atau bertahan dan mengganti abu-abu itu dengan warna lain," tutur Riana kalem namun tepat sasaran.
David sempat terperangah dengan kata-kata mulus yang keluar dari bibir tipis Riana. Ia tak menyangka wanita itu bisa berkata demikian bahkan di saat dirinya baru saja berikrar dalam hati telah mantap untuk mencintainya.
"Maksudnya gimana, sih?" Tanya David bingung. Memang dia bingung beneran, sih.
Riana memutar bola matanya malas. Ia bangkit dan masuk ke dalam rumah meninggalkan David yang duduk dalam kebingungan di terasnya.
"Ri!"
Baru saja David hendak bangkit menyusul Riana saat wanita itu muncul kembali dan duduk di kursi sampingnya. Riana membawa sebuah kotak kayu persegi panjang ukuran sedang. Ia menyodorkan kotak itu pada David.
"Buka."
Dengan kerutan di dahinya David menerima kotak itu dan membukanya perlahan. Di sana ada sebuah batu berbentuk 'love' yang David yakini beratnya sekitar setengah ons. Warnanya biru tua sedikit keunguan dan... cantik. Ia memindahkan pandangannya pada Riana yang juga tengah menatap benda itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
How To Move On
Roman d'amour"Hati kamu sama 'dia' itu sama. Sama-sama mencintai satu wanita. Bedanya, kamu masih abu-abu. Sementara 'dia' putih sempurna. Kamu punya dua pilihan, tinggalin aku dan kejar warna sempurna kamu, atau bertahan dan mengganti abu-abu itu dengan warna l...