Sembilan

1.3K 89 14
                                    

Riana's POV

Melupakan Rei? Astaga. Aku baru putus dengannya sekitar tiga bulan lalu. Kalian semua pasti tahu ceritaku, 'kan?

Tak kusangka Author sebegitu teganya membuat kisahku semenyakitkan ini. Rei sih, enak di sana lagi enaena. Lah gue? Berdua doang sama guling.

Terakhir kali aku melihatnya saat aku sedang di kedai kopi di daerah Blok M bersama Natha. Tapi dia tidak sendiri. Tentu saja bersama belahan jiwanya, Luna. Ew, males banget nyebut belahan jiwa. Belahan gempa kali!

Sebenarnya sih, aku lelah. Sangat lelah harus terus menangisi kepergian Rei. Tapi aku juga harus bagaimana? Untuk waktu sekarang bukankah wajar jika aku masih merasa sedih? Aku butuh waktu.

Lagipula belum ada lagi seseorang yang bisa membahagiakanku seperti Rei.

AH RIANA PLEASE, KOK REI LAGI, SIH?!

Cukup sudah. Mulai hari ini, aku bertekad untuk memulai hidup baru, lembaran baru dan cerita baru.

Author, lihat saja aku akan buktikan kalau aku tidak akan menangis karena Rei lagi!

Aku juga sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus move on! Aku tidak bisa seperti ini terus. Menyakiti diri sendiri dan mengecewakan orang-orang di sekitarku. Terutama mama dan Natha.

Astaga. Dua wanita itu sudah sangat banyak membantuku. Mama selalu memberikanku nasehat dan petuah bahwa lelaki bukan hanya Rei dan aku pantas mendapatkan seorang yang lebih dari dia. Mama sangat sabar menghadapiku yang terkadang masih sesenggukan kayak orang gila.

Natha juga sudah melakukan usaha-usahanya untuk membuatku melupakan lelaki tak berperasaan itu. Mulai dari jalan-jalan ke mall, wisata kuliner ke berbagai daerah di Ibu Kota bahkan luar kota, shopping (ini yang paling aku suka, sih), hingga travelling ke berbagai daerah di Indonesia.

Segala hal menyenangkan itu memang bisa membuatku lupa akan kesedihanku, tapi hanya sesaat. Karena begitu tiba di rumah dan masuk ke kamar, kesepian juga kesedihan datang membawa teman-temannya untuk menemaniku sepanjang malam.

Natha juga sering mengenalkanku pada teman-teman lelakinya. Ada beberapa dari mereka yang memang cukup menyenangkan. Salah satunya bernama Joenathan. Seorang dokter muda yang memiliki sifat dingin dan cuek. Tapi sayang. Joe ternyata simpanan tante-tante girang. Hikz.

Namun biar begitu, Joe adalah sosok yang sangat baik.

Aku ingat kala itu saat kami jalan di mall, tak sengaja seseorang menabrakku hingga minuman coklat yang kupegang tumpah ke dress putihku. Alhasil dress ku berubah warna jadi kecoklatan. Aku sempat ingin marah namun perlakuan kilat Joe seketika membuatku bungkam.

Dia segera mengeluarkan sapu tangan miliknya dari kantung celananya dan membersihkan noda di dressku. Lalu ia menarikku ke The Executive untuk membeli pakaian baru. Ahey.

Dengan sigap ia menyuruhku memilih pakaian mana yang aku mau. Aku dengan keras menolaknya. Kalo kata Natha, shy-shy cat  dulu, lah. Baru gas!

"Nggak, ngga usah, Joe. Kita pulang aja deh, yuk!" Tolakku halus sambil menarik lengan Joe saat itu.

Namun Joe tetap bergeming. Ia terus memaksaku untuk membeli pakaian baru.

"Aku masih mau jalan sama kamu hari ini. Masa pulang, sih? Udah cepet pilih dulu," Katanya.

Err.. aku yang sedikit ragu jadi bingung harus bagaimana. Saat itu aku belum tahu siapa sebenarnya Joe. Jadi aku sih seneng-seneng aja diajak jalan sama cowok ganteng.

Akhirnya aku terpaksa menurut dan memilih dress berwarna gelap yang paling sederhana. Aku tahu Joe pasti akan membayarnya untukku, maka dari itu aku pilih dress yang paling sederhana dan murah. Biar begini juga aku nggak mau dianggap matre!

How To Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang