Ada revisi sedikit dari sebelumnya.. ehehehe.
Dan disini aku mau menunjukkan sisi Riana yang sebenarnya. Dia itu setrong kok, nggak lembek. Kemarin-kemaren acting aja..
Happy reading^^
---
Riana's POV
"Vid!" Aku meneriaki David yang terduduk di sebuah batu berukuran sedang dengan wajah tertunduk. Saat ini kami sudah tiba di bawah kaki gunung.
Tubuhnya menggigil dan wajahnya pucat. Aku panik. Ini pasti karena David sok-sok-an memberikan mantelnya padaku tadi.
Aku segera membalut tubuhnya dengan mantel miliknya dan juga milikku. Aku tidak peduli dengan diriku sendiri. Melihat orang yang telah menolongku sakit, aku malah merasa bersalah jadinya.
"Kita ke warung sana dulu, yuk," aku, dibantu Satya yang baru tiba bersama Natha menuntun David ke sebuah warung kopi milik penduduk setempat.
Aku sebenarnya tidak tau apakah sebelum ini David pernah mendaki gunung atau belum. Tapi jikalau belum pun, Gunung Gede adalah gunung yang cocok bagi seorang pemula.
Namun melihat David yang dari awal hingga akhir seperti orang yang sudah biasa naik gunung, ditambah ia yang berkali-kali melindungiku yang nyaris terperosok, membuatku tak terlalu mengkhawatirkan itu.
Satya menyodorkan segelas bandrek hangat yang dipesannya kepada David. Aku dan Natha duduk bersebelahan menatap mereka.
Sungguh, saat ini perasaanku campur aduk. Khawatir, sedih, bahagia, lega, takut. Aku menyentuh bahunya yang masih sedikit bergetar.
David mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku.
"Nggak apa-apa, Ri. Khawatir banget, sih," Ujarnya sambil tertawa kecil.
"Ye, udah kayak gini masih aja kepedean, sih!" Cibirku sambil menepuk pelan bahunya. Dia tertawa pelan.
"Abisnya muka kamu pucet gitu kayak khawatir to the max," jawab David dengan gaya ngomong alay.
Aku memutar bola mataku dan berdecak, kesal dengan tingkahnya.
"Dia cuma kedinginan aja. Sebelum ini lo udah pernah naik gunung mana aja, bro?" Tanya Satya yang tadinya melihatku, beralih pada David.
"Ini yang pertama."
Aku melongo, begitu juga Satya.
"Serius?" Tanya Satya tak percaya.
David mengangguk.
"Karena ada yang harus gue jagain, makanya gue harus pasang badan," katanya dengan mata menatap ke arahku.
Wajahku terasa memanas mendengar jawaban David. Entah kenapa setelah mendengar itu, dadaku seperti bergemuruh. Ahelah, lo, Pid!
"Yes, you did," kata Satya sambil menepuk bahu David pelan dan juga senyum kearahku. Aku melirik Natha yang juga ikutan senyum-senyum tak jelas. Ini pada kenapa, deh?
Natha bangkit keluar dari warkop diikuti Satya.
"Gue mau ambil foto dulu. Bagus nih malam-malam gini viewnya," kata Satya sebelum sampai di pintu.
Aku mengangguk. Ingin ikut, tapi jika aku meninggalkan David sendirian, kalau anak ini tiba-tiba epilepsi atau pingsan gimana?
Alhasil tersisa aku dan David di sini. Ada rasa canggung yang entah bagaimana datangnya menyelimuti atmosfer di antara kami berdua.
Aku dan David seakan sibuk dengan pikiran masing-masing. Demi menutupi kecanggungan, aku pura-pura saja minum teh hangat yang kupesan tadi. Ingin sekali berlari dan menyusul Natha sekarang juga, tapi aku juga tidak mungkin meninggalkan dia. Kok jadi gini?!
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Move On
Romance"Hati kamu sama 'dia' itu sama. Sama-sama mencintai satu wanita. Bedanya, kamu masih abu-abu. Sementara 'dia' putih sempurna. Kamu punya dua pilihan, tinggalin aku dan kejar warna sempurna kamu, atau bertahan dan mengganti abu-abu itu dengan warna l...