Delapan Belas

1K 75 6
                                    

"Ri.. lo sakit?"

Aku mengangkat kepala seraya menggeleng menatap Natha yang duduk di hadapanku. Sejak tadi siang aku menyuruhnya datang kesini untuk membantu mengontrol kafe. Beruntunglah Natha juga sedang tidak sibuk-sibuk amat. Mengingat ini adalah hari Sabtu. Hehe. 'Kan, kalau kafe mah nggak kenal hari. Setiap hari juga jualan.

"Terus kenapa muka lo pucet gitu? Segala nyuruh gue kesini buru-buru. Bisa banget ye lo emang kalo ganggu waktu santai orang," dumel Natha.

Aku terkekeh, "Ya sekali-kali kenapa sih lo temenin gue disini? Nggak dosa, kan."

Natha mendengus, "Ini mah namanya bukan nemenin. Cuman liatin elo yang bengong pake muka enggak ada semangat gitu," kata Natha.

Aku cuma bisa menghela napas tanpa membalas ucapannya. Ya.. Biar saja, lah. Toh sebanyak apapun Natha menggerutu pada akhirnya dia tetap di sini, menemani.

"Eh, si David udah balik dari Bali? Gue liat tuh foto-fotonya di Instagram."

Aku mengangkat bahu pertanda tak tahu jawabannya. Memang David belum lagi menghubungiku. Mungkin dia sedang sibuk.

Drrt... Drrt...

"Halo, Ma."

"Kamu di kafe?" Tanya mama tanpa menjawab sahutanku.

"Hmm.. Riana di kafe. Kenapa?"

"Nanti jangan pulang malem-malem, ya! Temen kerja papa ada yang mau dateng kerumah, makan malem bareng."

Aku mengernyit heran. Tumben banget ada acara makan malem aja aku harus ikutan. Biasanya nginep di rumah Natha juga nggak bakal dicariin.

"Hm, yaudah. Aldi di rumah, Ma?"

"Iya. Aldi nggak kemana-mana hari ini. Inget pesen mama. Jangan pulang kemaleman. Sebelum maghrib kamu udah harus di rumah! Assalamu'alaikum."

Klik.

Aku menjauhkan ponsel dari telinga lalu menatap layarnya masih dengan kerutan di dahi.

Lah si mama. Awal-awal nggak ucapin salam. Pas nutup ucapin salam mana main nutup telepon sepihak pula. Mak-mak emang gitu sih, ya.

"Nyokap? Kenapa katanya?"

Aku mengangkat bahu, "Nggak tau. Cuman nyuruh gue balik cepet, katanya ada temen bokap mau numpang makan di rumah."

Dering ponselku berbunyi lagi. Kulirik lagi benda yang baru kutaruh semenit tadi di atas meja kerja. Aku mengernyit melihat nama si penelepon.

"Halo?"

"Tolong bukain pintu ruangan kamu, dong."

Aku melirik Natha yang juga tengah menatapku. Lalu aku bangkit berjalan menuju pintu yang memang kukunci saat Natha tiba tadi.

Mataku membulat namun sebisa mungkin kudatarkan ekspresi wajahku menatapnya yang berdiri tegak di hadapanku.

"Sore.." sapanya diiringi dengan cengiran aneh.

Aku menjauhkan ponselku dari telinga tanpa mematikan sambungan teleponnya. Biarin aja pulsa dia ini yang abis.

"Hm, siapa ya?"

Dia tertawa, "Dih ditanya malah ketawa," dumelku.

"Nggak ada niatan nyuruh aku masuk dulu, gitu?"

"Enggak." jawabku ketus.

Dia menggelengkan kepalanya lalu mendorongku pelan. Dia menutup pintu sebelum berjalan kedalam lalu duduk di samping Natha.

"Wih ada Natha juga. Kabar, Nath?" tanyanya sok ramah sambil mengajak Natha high-5.

How To Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang