Empat Belas

1K 79 21
                                    

Author POV

"Yakin nggak mau dianter?"

Luna menggeleng. Baru saja David ingin membuka suara lagi, sebuah sedan hitam berhenti di depan mereka.
Muncullah seorang lelaki gagah berkulit putih dengan balutan casual dari balik kemudi. Celana pendek dan kaus Polonya sangat cocok di tubuh atletisnya.

Luna tersenyum sambil sedikit merentangkan tangannya. Lelaki itu merengkuhnya sebelum mendaratkan kecupan di dahi Luna.

"Lama gak?" Luna menggeleng.

David menatap sepasang insan itu dengan datar. Detik berikutnya Luna terkesiap.

"Ah, kenalin ini David. Temen aku waktu di Kanada dan sekaligus jadi fotograferku sekarang, " ujarnya bersemangat.

"Reinhart," sahut Rei.

David melirik uluran tangan Rei lalu menjabatnya, "David."

Rei menatap David seakan menilai. Entah apa yang dipikirkannya.

"Yaudah, langsung aja, yuk?" Tanya Rei pada Luna.

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. "Vid, duluan ya. Makasih udah nemenin. Sampai ketemu besok," pamitnya sambil memamerkan senyum manis.

David mengangguk sambil mengangkat ibu jarinya. Tak membuka suara, hanya senyuman tipis yang diberinya.

"Duluan, bro," Rei menepuk bahu David pelan.

Mata David menatap sedan hitam yang mulai menjauh dari pandangannya, lalu menghilang di ujung jalan.

Ia mengusap wajahnya dengan satu tangan sementara tangan satu lagi dimasukkan kedalam kantung celananya. Rasa itu masih ada. Sakit itu masih nyata. Pada kenyataannya, dia masih mencintai gadis itu. Tatapannya memang tak mengartikan apa-apa, tapi hatinya terluka, meski tak berdarah.

Ditekannya tombol pembuka kunci lalu masuk dan menancap gas menjauh dari situ. Dilajukannya mobil mengarah ke sebuah resort milik teman lama. David butuh sedikit penyegaran.

"Vid!" Sahut Andito, si pemilik resort saat mendapati kawan lama muncul di tempatnya.

David mengangkat tangannya untuk high five lalu memeluk Andito bersahabat.

"Gila! Kemane aje lo?! Dah lama ngga ada kabar tau-tau nongol di sini!" Ujar Andito masih heboh.

"Mencari kesenangan."

Dito tergelak. Nada dari jawaban David persis seperti pria frustasi tingkat nasional. Dito mengajak David duduk di bangku yang di atasnya terdapat payung besar. Mirip bangku pinggir pantai.

Tak lama pelayan datang mengantar dua gelas es jeruk yang sudah dipesan Dito pada anak buahnya.

"Jadi, ada perlu apa bapak sok sibuk kesini?" Tanya Dito sarkas.

"Mau berantakin resort lo."

Lagi-lagi Dito cuma bisa tertawa. Bukannya dia tak menangkap sinyal kegundahan dalam diri sahabat lamanya itu. Dia tau jika David menemuinya, ditambah dengan pria itu yang sedari tiba lebih banyak diamnya, pasti ada sesuatu. Hanya saja ia menunggu David yang bercerita langsung. Tanpa perlu diminta dulu.

Pandangan mata Dito jatuh pada tas kamera yang dibawa David sedari tadi.

"Lo masih hobi motret?" Tanyanya.

David melirik tasnya sekilas, "Yoi. Hobi gue udah jadi kerjaan gue sekarang," jawabnya bangga.

"Motret apaan lo? Pemandangan? Atau cewek-cewek bohay?"

"Cewek lah!"

Mereka tertawa bersama. Seketika David terdiam. Ternyata rasa kecewa itu tetap mengikutinya. Selebar apapun senyumnya, hatinya tetap tak dapat berdusta bahwa kesedihan masih membelenggunya.

"Kenapa bro?" Tanya Dito menyadari sikap David.

David diam tak menjawab pertanyaan Dito. Dito juga ikut terdiam dan tak berniat membuka suara lagi. Ia memberi waktu sahabatnya untuk leluasa bermain dengan pikirannya sendiri. Karena ia tahu, jika pikiran pria itu sudah mulai membludak sehingga tak sanggup lagi menahan, David pasti akan bercerita.

"Gue masih cinta sama dia," ujar David tiba-tiba di tengah keheningan yang ia ciptakan.

Kalimat yang David ucap barusan sukses membuat Dito menoleh dan menatapnya dengan tatapan bingung. Dia? Dia siapa?

"Gue masih cinta sama Luna, Dit. Dan kayaknya, lama nggak ketemu dia malah bikin gue makin cinta lagi saat ketemu dia dalam ketidaksengajaan."

Benar, kan. Pertemanan Dito dan David yang sudah terjalin semenjak mereka SMP memang tak diragukan. Benar saja pemikiran Dito tadi yang bilang bahwa tanpa dimintapun pasti David akan bercerita sendiri.

"Lo ketemu dia dimana?" Tanya Dito.

David menatap air laut pantai di hadapannya.

"Dia jadi model gue. Ini bener-bener permainan takdir, Dit. Gue nggak nyangka sama sekali bakal ketemu dia dengan cara yang begini," terang David.

Dito dapat dengan jelas menangkap kegundahan di raut wajah tampan David. Ia juga menjadi salah satu saksi perjalanan cinta David pada Luna. Maka dari itu, bukan hal yang luar biasa jika ia mendapati sahabatnya segalau ini sekarang.

"Apa lo yakin kalo perasaan itu masih sama? Maksud gue, bisa aja itu hanya rasa kangen lo ke dia karena lama nggak ketemu aja?" Tanya Dito memastikan.

David menundukan wajahnya. Kedua jemari tangannya saling bertautan satu sama lain. Ia sendiri awalnya sempat yakin kalau rasa itu sudah musnah seiring waktu yang tak mempertemukan mereka.

Namun kenyataan berpihak lain. Malah saat menatap mata gadis itu segala benteng pertahanan yang telah ia bangun selama ini hancur tak bersisa.

***

Di tempat lain, Riana mondar-mandir di kamarnya. Pekerjaannya di kafe hari ini sungguh menguras tenaga juga pikiran. Meeting dengan beberapa klien untuk membicarakan sponsor yang mau bekerjasama dengan kafenya cukup membuat lelah.

Namun sepulangnya dari kafe bukannya istirahat, Riana malah mondar-mandir tak karuan. Di genggamannya ponsel  itu bertengger sejak tadi. Menunggu benda itu berdering, berharap seseorang yang ditunggu kabarnya satu hari ini menghubunginya barang sejenak.

"Duuuhh.. Apa gue telepon aja, ya?" Gumamnya dengan kalimat yang sama untuk kesekian kali.

Nggak.. nggak.. biarin aja. Biarin dia yang telepon gue duluan! Kekeuhnya.

Tapi memang seharian ini David tak sekalipun memberi kabar setelah memberi tahu bahwa dia sudah sampai dengan selamat di Bali. Dan ini malah membuat Riana ketar-ketir.

Karena lelah menebak dan menunggu, gadis itu memutuskan untuk sikat gigi, cuci kaki, cuci tangan lalu masuk kedalam selimut.

***

David memandang langit kamar hotelnya yang terbalut warna krem. Pikirannya berkenala kemana-mana. Harus bagaimana dia menghadapi masa lalunya, sekarang?

Berdamai? Namun mereka tidak bermusuhan sebelumnya. Jutek? Tapi dia nggak punya salah. Biasa aja? Susah!

Apalagi liat dia berduaan terus sama guguknya. Sakitnya tuh dimari...

Pantas saja Riana gegana alias gelisah galau merana melihat Rei dan Luna yang kembali merajut kasih lalu begitu saja meninggalkannya. Wong dia juga merasakannya...

Ngomong-ngomong soal Riana.. dia baru ingat belum memberi kabar apapun pada gadis itu sedari siang. Pesan terakhir yang dia kirim hanya informasi mengenai keselamatannya tiba di Bali.

Segera diambilnya ponsel lalu mengetikkan sesuatu untuk Riana.

David: Oi! Udah tidur?

-10 menit-

David: Hmmm.. good night, Ri! Have nice dream.

Setelah mengirim itu, dilemparkannya ponsel ke nakas lalu lelaki itu berlari mengejar bunga tidur.

Semoga mimpi yang enak-enak..

-tbc-

Hahahha.. makasih yang udah mau baca!!

Aku pada kalian :*

How To Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang