David?

1.3K 104 14
                                    

Happy reading^^

***

Riana's POV

Agenda bermalas-malasan di rumah sirna sudah. Pagi tadi ponselku bergetar dan sebuah pesan dari aplikasi Line masuk. Sempat bingung awalnya karena orang yang mengirim pesan tersebut tak pernah kuprediksikan.

From: David Dikari
Selamat, ya atas kelulusannya. Bisa ketemu hari ini?

David????!
Seketika tubuhku langsung bangkit dan menegak. Darimana nih anak tau Line gue?!
Bahkan tertera di layar chat room aku belum menambahkannya sebagai teman.

David adalah teman lamaku. Kami satu sekolah dan saat SD, dia pernah menyatakan rasa sukanya padaku. Hell, yeah.

Dan karena pernyataannya itu, hubungan pertemananku yang tadinya tak terpisahkan, malah renggang.

Jelas! Aku sudah nyaman menjadi temannya. Dan untuk apa dia menyatakan perasaannya padaku? Itu malah membuatku jadi melihatnya tak sama lagi. Ya memang, sih saat itu kami masih kecil dan tak seharusnya aku bersikap demikian. Tapi namanya anak-anak, yah..

Kuketuk-ketukkan jari yang baru saja dipolesi kutex berawarna merah cerah ke meja cafe ini.

Aku paling tidak suka menunggu. Mau semenit, sejam, setahun apalagi. Menunggu 'kan sama saja seperti menahan buang air. Makin lama makin sakit. Ehehehe..

Kutengok pintu masuk cafe untuk kesekian kalinya namun si pengundang tak kunjung menunjukkan batang bulu hidungnya.

Sedetik menunggumu di sini, seperti seharian
Berkali kulihat jam di tangan,
Demi memburu waktu..

Mataku memicing menatap langit cafe ini. Sengaja apa gimana deh nyetel lagu kayak gini? Nyindir?!

Kuraih ponselku yang sedang tersambung ke power bank. Lagi-lagi nihil.

Aku menunduk menatap gelas berisi milkshake chocolate favoritku. Beberapa saat kemudian aku merasakan ada sedikit getaran di meja dan bangku di depanku.

"Sorry! Tadi ada urusan bentar, trus.. macet. Heheheheheh."

Aku mendongak dan menatapnya tajam. Kebiasaan! Bisa-bisanya udah salah, malah cengengesan. Minta diketekin banget.

"Zzz.."

David masih cengengesan. Sedetik kemudian dia mengangkat tangan dan meminta pelayan untuk mencatat pesanannya.

Ia kembali menatapku saat pelayan tersebut pergi.

"Lo makin cantik aja," katanya.

"Hah?"

Dia tersenyum.
Senyum yang dari dulu kukenali sebagai senyum jahilnya. Ish.

"Darimana lo tau gue abis wisuda?" Tanyaku to the point.

"Dari diri gue sendiri," bola mataku berputar malas.

Ya, seperti biasa. David memang punya kelainan otak! Susah diajak serius.

"Gue serius kampret."

Dia tertawa. "Lo mah bener-bener, sih. Masa ngga nyadarin ada cowo paling ganteng di acara wisuda lo?"

"Maksud lo?"

"Sepupu gue, namanya Ana. Dia satu kampus sama lo dan wisuda kemaren juga. Gue ngeliat lo di sana tapi nggak sempet nyamperin lo. Lo asyik sama cowok lo, sih."

Aku mengernyit. Jadi kemarin David di sana juga. Yah, bagaimana bisa aku tau dia di sana? Lagipula aku mana tahu juga David punya sepupu di sana. Segitu banyaknya manusia. Ratusan, atau mungkin ribuan. Maklum lah, kampusku adalah salah satu kampus negeri favorit di Indonesia.

How To Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang