Seseorang berteriak. Mengingatkan Pandora saat Farah berteriak, melengking, nyaring, dan menyedihkan.
Kondisi saat ini sangatlah gelap. Senter pun sulit menerangi kegelapan yang mendalam ini. Seandainya lampu menyala.
"Siapa yang berteriak?!" Sahut Pandora entah dengan siapa. Namun, suara teriakan itu tak kunjung berhenti. Membuat bulu kuduknya merinding.
Seseorang memegan lengannya, Pandora sempat terkejut dan refleks hampir memukul tangan itu, namun ia sadar bahwa itu Ophellia, "kita harus berjalan ke arah suara." Ujar Ophellia.
Pandora mengangguk, mereka segera berjalan dengan hati hati ke arah suara. Anehnya suara itu tak berhenti, seperti tak kunjung berhenti. Apakah sang pemilik suara tak kehabisan nafas?
"Siapapun yang berteriak, kuharap itu bukan Mindless." Ophellia semakin meremas genggamannya pada Pandora, "aku lumayan takut kalau boleh jujur."
Namun sebelum mereka sampai ke arah suara, bis mulai berguncang hebat sampai menyeret Pandora ke samping. Kepalanya terbentur sesuatu yang keras. Sedikit darah mulai mengalir.
Lalu semuanya terang. Pandora melihat ke arah suara. Ia kaget setengah mati bahwa disana seorang perempuan menggeliat dan masih berteriak. Ia menjambak rambutnya sehingga Pandora takut rambut itu lepas dari kulitnya.
Itu Myra. Gelangnya telah berwarna merah.
"Myra!! Tenang!!" Pandora berlari ke arah gadis itu. Ia menarik lengan Myra agar gadis itu berhenti menjambak rambutnya.
"...Jangan!!!! Hentikan ini!! Sesuatu merangkak di otakku! Aku tak tahan, ini semua menyakitkan..." Myra menangis, "kumohon bebaskan aku!!! AKU TAK MAU MENJADI MINDLESS."
"Myra tenang!!! Mengapa kau menyerah? Kenapa kau tak mendengar kata sang pengawas? Jika kau menyerah, kau akan menjadi Mindless..." Pandora masih menahan lengan Myra yang menggeliat itu.
Myra mulai berkata namun tiap katanya membuat hati Pandora teriris, "bunuh aku bunuh aku bunuh aku!!!!!"
"Myra..."
Namun, teriakan Myra terhenti. Ia tak lagi menangis bahkan ia berhenti menggeliat. Tatapannya kosong.
"Ia sudah menjadi Mindless..." batin Pandora.
Entah mengapa kekuatan Myra menjadi 2 kali lipat dari tenaga Pandora. Kedua tangannya mencekik Pandora dan mendorongnya sampai ke dinding. Pandora berusaha melepasnya dan tampaknya berhasil. Ia menendang perut Myra sampai gadis itu memuntahkan semua isi perutnya.
Myra mundur beberapa langkah, namun saat Pandora ingin menyerangnya tiba tiba ia tergeletak di tanah dengan sebuah panah menancap di lehernya. Pandora sempat terkejut dan mengalihkan pandang. Pemandangan ini, ia juga ingin muntah sekarang. Ia melihat ke arah orang yang membunuh Myra.
Itu Ophellia.
"Ophellia..." Pandora menatapnya miris. Sedangkan Ophellia sendiri hanya menatap Myra layaknya seonggok sampah. Begitukah cara Ophellia menatap orang yang telah ia bunuh?
Ophellia berjalan ke arah jasad Myra dan mengambil panah yang tadi menancap di leher gadis malang itu. "Pandora, ia akan membunuh mu jika aku tak mengambil tindakan."
"Dia adalah teman kita..."
"Namun ia adalah Mindless sekarang. Kita mau bagaimana lagi?" Ophellia menyeret Myra ke pojok bis. "Semoga arwahmu tenang di alam baka sana."
Pandora melihat ke ara tangannya. Darah. Ya barusan ia mencolok mata gadis itu, beribu rasa bersalah mulai menyergap hatinya lagi.
"Buang rasa bersalahmu dan ganti dengan rasa keegoisan. Sekarang yang dapat menyelamatkan dirimu bukanlah rasa bersalah namun keegoisanmu sendiri." Ophellia beranjak dan menarik lengan Pandora. Menjauh dari tempat itu.
"Kau sekarang sudah dicap sebagai pembunuh.." ujar Pandora pelan.
"Terserah." Ujar Ophellia.
Seketika bayangan Zachary muncul dalam benaknya. Zachary sedang disiksa dan dites reaksinya. Bagaimana jika Zachary berubah menjadi Mindless...
Bagaimana dengan orang tuanya? Clary?
Air mata mulai mengalir dipipinya, cepat cepat ia singkirkan sebelum ada yang melihatnya menangis.
***
Waktu terus berlalu, Pandora memasukkan beberapa makanan ke tas-nya. Insting nya mengatakan bahwa mereka membutuhkan persediaan saat tes nanti. Seusainya, ia melihat senjatanya.
Sebuah senapan yang lumayan besar.
Beberapa amunisi telah tersedia di dalam tasnya. Instingnya mengatakan, ia harus berhati hati dalam memakai senjata ini. Kalau amunisinya habis, tamatlah riwayatnya.
Suara alarm berbunyi menandakan waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7. Saatnya tes dimulai. Namun, tak ada apapun yang berubah di dalam bis. Pintu pun masih terkunci.
Selama 15 menit mereka menunggu. Pandora tahu bahwa ia tak boleh putus harapan, namun waktu berlalu begitu melelahkan. Menggoda dirinya untuk menyerah.
"Mereka telah memainkan otak kita." Kevin mulai memecah keheningan, "jika mereka serius dalam tes ini, mereka tak mungkin memainkan kita. Kalian lihat di belakang sana? Satu korban telah meninggal akibat mereka. Matilah aku..."
"Kevin diamlah!" Ujar Ophellia, "pikirkan perkataan mu sebelum bicara."
"Ya aku hanya—" sebelum Kevin selesai berbicara, suara melengking mulai terdengar sampai gendang telinga sang pendengar sakit. Suara itu terus berbunyi tanpa henti seperti berusaha menyakitkan mereka tanpa henti.
Entah suara itu sudah selesai apa belum, namun suara nya sedikit mereda. Pandora tak bisa mendengarkan apapun kecuali suara lengkingan itu. Ia berusaha berteriak mencoba meyakinkannya bahwa ia belum tuli. Namun, ia bahkan tak mendengar suaranya sendiri.
Setelah suara itu, Pandora melirik ke arah pintu.
Pintu telah terbuka, ia mulai mencium bau busuk yang begitu menyengat.
----0000-----
Akhirnya setelah UN, ide mulai melancar. Jadi tambah semangat bikin cerita walau yang ngasih vote/suara masih sedikit. Tapi it's okey lah ya.
Aku bingung mau nulis apa, jadi aku mau curhat sedikit aja. Aku tiba tiba punya ide tuk bikin cerita Romance. Nah, pas kubuat tiba tiba aku ngerasa aneh pas nulis. Aneh. Buntu. Jadi yaudah deh gagal total bikin ceritanya :"(
Yah mungkin saya hanya ditakdirkan menulis action fiction sama Science fiction.Ya sekian deh curcol nya, bye bye semuanyaa~~~~
Lots of curcol
-book serum [AMS]
KAMU SEDANG MEMBACA
The Controls
Science FictionPandora awalnya tak menyangka hal tersebut akan terjadi. Berawal dari ketidak seriusannya dalam test fisika, menimbulkan malapetaka baginya. Kejahatan dari para ilmuwan dalam meneliti otak para manusia ini tak dapat dihindari lagi. Bahkan sahabat ny...