Rara POV
Pernikahan adalah suci. Sucinya seperti sekapur putih dan seputih kertas. Apa yang akan kita tulis didalamnya bersama pasangan kita, ya begitulah hasilnya. Jika kertas itu milik kita sendiri, terserah kita akan menuliskan apa. Tetapi kertas pernikahan itu milik suami dan istri. Jadi, apa yang kita akan isikan akan tergantung dengan kesepakatan kita berdua.
Jika biasanya aku balik ke Malang sendiri, menikmati udara pegunungan yang masih sejuk, angin yang membawa oksigen yang bersih, hamparan pemandangan hijau yang mampu menghipnotis mata, kini aku bersama seseorang yang kemarin lusa baru saja menjadikanku merubah statusku menjadi seorang istri. Setelah mengambil surat di KUA dan mengurusi administrasinya, esoknya –sekarang- Kami baru bisa balik ke Malang. Karena kata Ibu agar lebih aman, pagi-pagi saja kami diminta berangkat. Ya sih, memang pagi-pagi lebih sejuk. Dan itu artinya kami juga sempat untuk menikmati sejuknya pemandangan.
Em, pertama kali berboncengan dengan Mas Rio.. rasanya, nano-nano. Tanganku panas dingin kala aku harus berpegangan pada Mas Rio. sama Mas Rohim saja aku selalu berpegangan pada jok motor belakang. Keringat dingin sempat membuat tanganku basah. Sampe Mas Rio tertawa pelan memandangku dengan pandangannya yang...ah, aku tak bisa menjelaskan.
Kini kami sudah sampai di dekat air terjun ditengah jalan yang belum banyak dikenal dan dikunjungi oleh wisatawan. Mas Rio memakirkan motornya di depan warung terdekat. Setelah menyerahkan uang masuk sepertinya ke penjaganya, Kami mulai masuk ke air terjunnya. Begitu masuk, ada jembatan gantung, berwarna merah yang sangat eksotis, dibawahnya belahan air sungai dengan air yang jernih kecoklatan mengalir dengan tenang. Subhanallah, memang hanya pahatan Sang Pencipta Yang Maha Sempurna saja yang mampu seimbang, tidak saling menyikut. Di depan jembatan, ada sawah menghijau yang luas. Ku hirup uadara dalam-daam. Jarang-jarang bisa sesantai ini dan bebas menghirup udara yang bebas polusi.
"Baru pertama kesini Bil?"
Bila. Nama yang Mas Rio spesialkan untukku sangat terdengar indah di telingaku. Aku jadi senyum-senyum sendiri.
"Iya Mas. Biasanya hanya lewat saja." Mas Rio menggandengan tanganku. Ku tatap Mas Rio, ku naikkan alisku, tanda menanyakan maksudnya pegang tanganku, di tempat umum.
Mas Rio juga membalas dengan menaikkan alisnya, "Ada apa Bila?".
Hem. Memang sebagaimana sabda Rasulullah, pegang tangannya suami istri akan mampu menggugurkan dosa-dosa kecil keduanya. Beda dengan pegangannya yang masih belum ada ikatan (pacaran). Iya sih, ini boleh dan sangat dianjurkan. Tapi... aku masih belum mampu untuk menetralisir degup jantungku dan malu ku di depan Mas Rio.
Ku tundukkan wajahku. "Ngga apa-apa Mas. Tangannya Mas Rio.." duh, wajahku sudah panas.
"Tangannya kenapa Bila?"
"Em." Duh, sulit sekali untuk berbicara normal dengan Mas Rio. "Malu Mas, dilihatin banyak orang."
Mas Rio malah toleh kanan dan kiri. "Mana, ngga ada orang ini Ra."
Aku menengok ke kanan dan ke kiri juga. Iya sih, memang tidak ada orang.
Mas Rio tersenyum, seperti menantangku untuk memberikan argument lagi. Aku menunduk sejenak. Mas Rio sudah menarik tanganku."Keburu siang, Bila."
Meski jantungku lompat-lompat karena ulah Mas Rio, tapi tak dipungkiri, kupu-kupu di perutku beterbangan, memberikan efek senyum di wajahku. Terima kasih Allah, atas kebahagiaan yang Kau janjikan kepada orang-orang yang mau menjaga dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah
SpiritualSebuah cerita. Bermula dari makhluq yang bernama manusia. Laki- laki dan perempuan. Yang memiliki naluri untuk mencintai. Yang membutuhkan lawan Jenisnya. Yang ingin mencintai dan dicintai. Namun, terhambat oleh kondisi lingkungan yang membuat merek...