Writer POV
"Naik motor,aja Mas. Itu Mas waktunya tanam. Lagipula Bila nanti mau kajian dulu sama teman-teman dan ke dosen-dosen perempuan juga untuk ngasih undangan kajian."
"Trus?" tanya Rio sembari mengancingkan lengan bajunya.
"Ya, Mas Rio nanti dobel sibuknya. Bila biasa kemana-mana sendiri Mas." Rara juga sedang merapikan kerudung yang dipakainya.
"Nah, kan dulu sama sekarang beda Bil. Dulu masih belum menikah ya harus sendiri atau sama perempuan lain, mau ngojek sama abang-abang kan belum mahramnya. Sekarang udah nikah, ada Mas lo." Rio datang mengacak tatanan kerudung Rara.
"Mas Rio. Bila udah telat ini." Rajuk Bila.
"Makanya kalau udah telat, ayo Mas antarkan."
"Mas kan ga ada ngajar atau konsultasi, nanti harus ngurus.."
Belum selesei Rara berbicara, Rio sudah melakukan hal yang sontak harus menghentikannya berbicara.
"Ayo. Mas antar." Rio melenggang begitu saja menuju garasi mobil.
Rara kaget, pipinya bersemu dan akhirnya dia menggerutu bahagia.
Eh.
"Mengapa gak mau Mas antar?."
"Gapapa Mas. Mas Rio kan punya kerjaan. Lagipula Rara udah biasa sendiri Mas."
"Bukan karena malu?."
"Ih, malu kenapa ?."
Rio hanya mengedikkan bahu.
Rara menghadapkan tubuhnya menyamping ke Rio. Mencoba mencari tema obrolan, agar dia tidak kikuk. Entahlah, berdua dengan suaminya masih membuatanya deg-degan.
"Udaranya beda banget ya Mas, di rumah Mas Rio Segar jauh sama polusi."
"Iya, daerah kampus udah banyak dibangun bangunan. Pohon-pohon ditumbangkan. Efek pembangunan tata wilayah kota yang tidak mempertimbangkan lingkungan, hanya materi saja"
Rara mengangguk membenanrkan. Bahkan penguasa yang harusnya membela kepentingan rakyat pun, mereka terkena virus kapitalis, menjadikan kebijakan yang mereka ambil hanya berdasarkan untung dan rugi.
"Mas Rio nanti bisa jemput Bila jam berapa?."
"Seleseinya Bila jam berapa?"
"Abis dzuhur."
"Ya udah mas jemput abis dzuhur."
"Udah bawa payung?."
"Eh, belum Mas. Bila lupa masukkan ke tas." Rara melihat isi tasnya dan memang tak ada payung yang ia bawa.
Rio menyerahkan payung yang ada dibelakangnya.
"Eh, makasih Mas." Spontanitas Rara mengecup pipi Rio.
Rio tersenyum. Rezeki.
"Kalau Mas Rio telat, nanti Bila naik angkot aja ya?."
Daerahnya Rio jarang dilewati angkot, tapi setidaknya tidak jauh dari rumahnya ada jalan besar yang dilewati.
"Mas usahain gak telat kok Bila."
"Tapi rawan macet juga ya Mas."
"Iya. Mobilnya segede-gede gini, jalannya kecil."
Problematika setiap kota, bagaimana menghadirkan jalanan cukup dan lancar dengan jumlah transportasi yang ada.
"Nanti makan siangnya Mas Rio udah Bila siapin, tapi Mas angetin dulu ya. Budhe yang bantu-bantu kalau gak ada Mama siang udah balik soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah
SpiritualSebuah cerita. Bermula dari makhluq yang bernama manusia. Laki- laki dan perempuan. Yang memiliki naluri untuk mencintai. Yang membutuhkan lawan Jenisnya. Yang ingin mencintai dan dicintai. Namun, terhambat oleh kondisi lingkungan yang membuat merek...