Dan malam itu, Rio bercerita sebenarnya apa profesinya. Wajar memang, mereka menikah dengan proses ta'aruf murni tanpa embel-embel lainnya. dan Rio salut dengan istrinya, yang bahkan selama proses pernikahan pun tak menanyakan seberapa penghasilannya.
Dan kini, saatnya Rio memberitahukan siapa dirinya.
RIO POV
Esoknya langsung ku ajak istriku yang sudah penasaran dengan pekerjaan suaminya ini. begitu tahu apa profesiku dan pekerjaanku, termasuk usahaku juga Istriku hanya geleng-geleng kepala.
"Banyak banget Mas."
Kan pengin membahagiakanmu, Sayang.
"Jadi, selama ini Rara sering berhubungan dengan Mas donk. Rara kan sering nyetak disitu. Rara kira itu punya mas-mas chinese yang sering disitu.'
Yah, aku memang bekerja sama dengan temanku yang mualaf dulu untuk memulai usaha percetakan yang kini sudah lumayan dikenal, apalagi oleh beberapa kampus.
"Iya." Tanganku masih sibuk untuk memisahkan kartu-kartu yang akan kuserahkan kepada istriku.
"Sini Bil." Ku ajak istriku ke balkon, yang kini menjadi sudut favorit kami.
Kuserahkan ke Bila 2 kartu ATM. Kenapa bukan kartu kredit?. Jangan macam-macam dengan kartu kredit. Punya kartu itu sekarang, sama dengan menyetorkan diri dengan sukarela ke neraka. Kenapa?, dengan sistem sekarang, sulit sekali untuk menghindari tidak adaknya riba dalam perkreditan dengan bank.
"Ini kartu Mas. Itu atas nama Mas semuanya. Yang hijau ini nanti Mas alokasikan untuk keperluan kita sehari-hari. Yang abu-abu itu tabungan masa depan kita. Ini yang Mas pegang ada 2 lagi, yang ini untuk keperluan usaha." Kutunjuk kartu ATM berwarna biru itu.
"Dan yang ini untuk pengembangan modal usaha Mas."
Bila hanya manggut-mannggut saja.
"Trus Mas?." Tanya istriku, dengan mata yang polos itu. Ah, kalau kayak gini, siapa yang tak tambah cinta.
"Ini yang hijau Bila yang Bawa. Untuk belanja sehar-hari kita. Trus ini yang abu-abu, terserah mau Mas atau yang Bila bawa. Terserah pada Bila maksudnya."
"Berapa sih, jumlah penghasilan Mas sebulan?. Banyak sekali kartunya. Ini mas menjadi nasabah semua bank syariah ya?." Tanyanya geli.
"Iya Sayang, kalau bank konvensional, gak njamin uang yang dimakan bebas riba."
Blush.
Rona memerah tercetak di kedua pipi istriku. Ah, ini yang kusuka. Menggoda Bila hanya perlu cara sederhana. Cukup dengan kata 'sayang, cinta dan sejenisnya' maka kedua roda kemerahan itu akan tercetak di pipinya.
Rona kemerahan yang sangat disukai oleh laki-laki tapi tak banyak perempuan yang memilikinya kini. Karena jebakan liberalisme dan hedonisme dalam kapitalisme telah menjadikan laki-laki dan perempuan tak malu legi bergaul dengan seenak udelnya, tanpa mengindahkan aturan dariNya.
Aku hanya tersenyum yang melihat tingkah Bila masih malu-malu. Mereka yang memulai pernikahan dengan pertemuan yang intens tak akan pernah merasakan rasa ini.
Kusebutkan angka penghasilanku perbulan. "Itu sudah penghasilan bersih Bila. Sudah dikurangi untuk kebutuhan Mama dan Papa, dana pengembangan modal, tabungan kita masa depan, dan tentunya hak bagi yang tak mampu."
Mama Papa. Meski mereka adalah orang yang mampu, tapi sebagai anak aku memiliki kewajiban untuk mengurus keduanya. Apalagi aku adalah anak satu-satunya. Beruntungnya sudah dari keturunannya Mama dan Papa berasal dari keluarga yang berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah
ДуховныеSebuah cerita. Bermula dari makhluq yang bernama manusia. Laki- laki dan perempuan. Yang memiliki naluri untuk mencintai. Yang membutuhkan lawan Jenisnya. Yang ingin mencintai dan dicintai. Namun, terhambat oleh kondisi lingkungan yang membuat merek...