First.

533 4 0
                                    

Desember, 2007.

Karin memegangi kepalanya dengan tangan kirinya, seolah-olah sedang menumpu beban berton-ton beratnya. Tangan kanannya memutar pensil, bola matanya berputar, tanda sedang berpikir keras. Ia menatap lembaran-lembaran yang ada di depannya dengan tatapan setengah putus asa.

"Haaaaah..." Dengusnya kesal. Diletakkan pensil berwarna biru tersebut. Kemudian ia mengambil mug berwarna krem yang berisi hot chocolate yang mungkin sekarang sudah dingin. Sesekali ia menoleh ke arah jendela, menatap suasana malam di sekitar coffee shop yang selalu buka 24 jam ini. Kemudian ia melirik jam tangannya. Whoaaa..sudah jam 11 batinnya takjub. Berarti sudah hampir 3 jam ia berada di cafe ini dan tanpa 'pencerahan' sama sekali.

"Kamu Karin kan ? " Seorang cowok berbadan tinggi dan sedikit berisi, berdiri di hadapannya sembari membawa nampan. Black coffee. Karin dapat mencium baunya. Dan sepertinya, orang ini begitu familiar, namun ia lupa nama orang tersebut.

"Aku Sade..Temennya Ardi. Inget nggak ?"

Karin sedikit bete mendengar nama itu disebut. "Oh Sade..iya iya sorry aku lupa habis..kamu nggak ada brewoknya..." Ia terkekeh.

"Sialan..." Cowok itu hanya tersenyum sekilas. "Lagi sama temen nggak ? Boleh join ? Di tempat lain penuh..."

"Hmm..silahkan..." Karin hanya mengangguk. "Aku sendirian kok..."

Cowok itu kemudian meletakkan nampan berisi gelas cup black coffeenya. Ia duduk berhadapan dengan Karin. "Emang ya..cafe ini cafenya mahasiswa kalo udah malam gini..isinya anak-anak kuliahan.

"Ya..apalagi yang kena deadline Akhir semester..Berasa rumah kedua deh ini.." Karin terkekeh.

Cowok itu hanya tersenyum sekilas. Kemudian ia mengeluarkan 'senjata' nya dari tas ransel besarnya. Sebuah kertas, buku tebal, kalkulator, dan penggaris. Karin kemudian melanjutkan tugasnya lagi.

Diam-diam, Karin curi-curi pandang dengan lelaki di depannya. Lelaki yang ada hubungan eratnya dengan masa lalunya. Lelaki di hadapannya ini adalah sahabat mantannya, Ardi. Seseorang yang baru 4 bulan ini meremukkan hatinya setelah hampir 2 tahun menjalin cinta (jadi curhat hmmm...). Selama pacaran dengan Ardi, hanya 3 kali mereka bertemu. 2 kali mereka double date dengan mantan pacar Sade terdahulu. Sekalinya, Sade pernah ikut Ardi ke rumah Karin memberi suprise ulang tahun Karin. Selebihnya, ia hanya banyak mendengar cerita tentang Sade dari Ardi. Tentang Sade, anak pengusaha kaya se antero Surabaya, Sade yang selama SMA hanya mempercayai Ardi sebagai sahabatnya, Sade yang tidak terlalu ramah dengan kebanyakan orang, hingga kisah cinta Sade yang menurut Karin – brengsek – dan ternyata Ardi juga melakukan hal yang sama seperti Sade.

"Kalkulus ? " Iseng Karin mengintip apa yang dikerjakan Sade. Sade yang sadar sedang diintip, langsung menoleh ke arah Karin.

"Kok tahu ?" Tanya Sade singkat. Kemudian ia melanjutkan 'pencoretan' kertasnya.

"Hmm..tau sih..pernah lihat punya temenku..."

"Temen apa temen ? Atau Ardi ? Uupps..." Sekilas Sade tersenyum jahil sembari tetap berkosentrasi dengan pekerjaannya.

"Yeee apaan coba..." Karin langsung sensi begitu nama tersebut disebutkan. Kemudian ia memilih kembali mencoret kertasnya yang saat ini bentuknya nggak karuan.

Sade menatap Karin sekilas sembari tersenyum jahil. "Bener ya kata Ardi..kamu ini sensian kalo digodain"

"Aduh stop..stop..stop kok jadi bahas Ardi.." Karin mengisyaratkan tanda "berhenti" dengan tangan kanannya. Entah mengapa Sade geli melihat kelakuannya.

"Masih ada rasa sama kapten futsal yaa bu ?" Sade kembali bertanya. Kini ia meletakkan kertas yang sedari tadi ia pegang dan menatap Karin.

"Menurutmu ?" Karin balik tanya, ia kembali sibuk dengan pekerjaannya.

"Nggak mungkin udah 2 tahun bareng rasanya langsung hilang gitu aja kan ?"

"Exactly..Tanpa aku jawab kamu pun ngerti.." Karin menatap Sade, tersenyum maksa. "Kamu sendiri sama Dira, gimana akhirnya ?" Karin mengalihkan pembicaraan

"Dunno.." Sade mengangkat kedua bahunya. Ia menatap jendela. "Semuanya emang kesalahanku dari awal..Nyakitin dia...Entahlah aku sudah berusaha, tapi Dira sepertinya sudah terlalu sakit hati sama aku.."

Karin menatap Sade yang wajahnya tampak muram. Mungkin Sade sebegitu menyesalnya telah memutuskan untuk meninggalkan Dira, dan kemudian berpacaran dengan adik kelas SMAnya (begitu informasi dari Ardi terdahulu).

"Masih sama si adik kelasmu itu ?"

Sade menggeleng. "Udah putus 2 bulan lalu...Aku coba cari Dira lagi dan minta maaf..minta dia kembali..tapi dia tetep nggak mau..."

"Sabarlah...Namanya sayang harus sabaar..Kalau memang kamu sayang, tunggu. Manusia itu bakalan berubah kok..Kalo memang nggak bisa dapet Dira, mungkin kamu bisa dapet yang lebih baik..." Ujar Karin sembari tersenyum tulus.

"Hmmm...thanks for your advice..." Sade tersenyum. "Kenapa jadi sesi curhat begini sih ?"

"Yee.. salahnya siapa coba pake tanya-tanya Ardi..." Jawab Karin sewot. Kemudian mereka berdua kembali fokus dengan pekerjaannya

Setelah setengah jam berlalu. Karin berhasil menyelesaikan pekerjaannya. "Finallyyyyyyyyyyyy...." Serunya girang sembari tersenyum lebar menatap kertas miliknya.

"Kerja apa sih kamu kayaknya girang banget pas udah selesai.." Sade menatapnya heran. Ia melihat cewek yang ada di depannya ini. Konyol. Entah mengapa di pikirannya terlintas kata-kata tersebut.

"Statistika...." Karin nyengir kemudian menunjukkan kertasnya.

"Aelah Karin ini mah gampaaaang..statistik dasar malah..." Sade melihat hasil pekerjaan Karin.

"Yaaa bagimu...wong ini makanan sehari-hari..untung semester ini terakhir..aku paling males kalo udah dapet itungan gitu..."

"Untung nggak jadi anak teknik..bisa-bisa langsung DO semester satu kamu.hahaha.." Sade tertawa. Karin memandangnya dengan tatapan bete dan bingung. Apa lucunya coba, pikir Karin.

"Dasar anak elektro sombong"

"Dih Psikolog kok ngambekan...Kliennya kabur loh ntar" Sade semakin semangat menggodanya.

Akhirnya berlangsunglah ritual saling 'ejek-mengejek' di tengah malam tersebut. Dan disitulah adalah awal kedekatan mereka.

***


SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang