yang belum terjawab.

212 4 1
                                    

23 Oktober 2015

Karin menikmati pagi harinya di Surabaya. Semenjak bekerja, ia tidak pernah menikmati pagi. Kalaupun weekend, Karin memilih untuk tetap berada di tempat tidurnya.

Sudah 5 tahun ia meninggalkan Surabaya, terlebih rumahnya. Tetapi, rumahnya masih tetap nyaman seperti dulu. Masih tetap teduh untuk dibuat bersantai pagi ini. Ibunya pun menambah koleksi tanaman hiasanya, yang membuat udara di rumah Karin makin terasa teduh.

   "Nih ibu bikinin teh anget sama roti bakar buat kamu, Rin...." Ibu Karin membawakan nampan berisi roti bakar dan teh hangat. Karin segera menerima dari ibunya dan membiarkan ibunya duduk di samping Karin. "Di Jerman pasti nggak ada yang seenak ibu bikinnya..."

Karin terbahak. "Jelas lah bu...Terima kasih ya...." Karin meminum tehnya sedikit. Kemudian ia memperhatikan ibunya. Ibu sudah tua juga ya, pikir Karin. Selama di Jerman, ia hanya sempat skype dengan ibunya atau kalau tidak chat dari messenger. Sudah hampir 2 minggu dia di Surabaya dan baru saat ini ia punya kesempatan untuk duduk berdua dengan ibunya. "Apa kabarnya bu disini selama Karin pergi ?"

     "Yah begitulah...seperti yang ibu update kan ke kamu setiap saat...Tapi yang belum kamu tahu, adikmu Ragil bulan lalu ke Jogja..renovasi kijing mama kamu...Terus Ayahmu udah mulai berhenti merokok sekarang...."

       "Syukurlah...." Karin nampak berbinar mendengar kabar yang diberikan ibunya. "Selain itu ?"

       "Nggak ada lagi sih...." Jawab Ibu Karin sambil meneguk teh buatannya sendiri perlahan. "Rin...kamu nggak apa-apa kan dengan kejadian barusan ini ? Maksud ibu, waktu Sade meninggal kemarin...."

Karin tersenyum memandang ibunya. "Karin nggak apa-apa bu..Sempet sedih lagi, tapi kasihan Sade bu kalau ditangisin, jalannya nggak tenang disana...."

        "Kamu masih sayang nak sama Sade ?"

        "Selalu bu, tapi bukan konteks sayang yang masih pengen sama-sama Sade terus...lebih ke apa ya...." Tatapan Karin menerawang jauh. "Ya at least Karin sadar memaksakan kehendak untuk tetap bersatu sama orang yang sudah nggak mengingankan kita itu nggak baik...jadi Karin cuma berharap kebahagiaan Sade...nggak lebih bu..."

         "Syukurlah nak kamu bisa terima kenyataan...." Ibunya tersenyum, mengusap lembut kepala Karin. "Ibu sempat khawatir beberapa tahun lalu kamu bener-bener down..Ibu cuma berharap setelah di Jerman kamu bisa bangkit lagi, nggak keinget Sade lagi...." Ujar Ibunya. "Ibu jadi inget, 4 tahun lalu Sade anter undangan ke rumah, dia nangis ke ibu, minta doa restu dan minta maaf udah nyakitin kamu...."

Karin terbelak. "Oh ya ? Kok ibu nggak cerita ke Karin waktu itu ?"

          "Ibu cuma nggak pengen bikin kamu sedih lagi nak...." Jawab ibunya. "Kalau sama Yudhis ? Gimana Rin ?"

Karin menghela nafas. "Sebenernya mas Yudhis tahun lalu sudah ngelamar Karin, bu...sebelum dia balik ke sini lagi..."

Kali ini ibunya yang terkejut. "Lha kok kowe ra ngomong to nduk karo ibu...."

           "Soalnya kutolak, bu...." Jawab Karin sembari mengambil roti bakarnya dan mengunyahnya. "Karin masih belum yakin....terus, waktu kemarin 7 harinya Sade, Karin ketemu lagi sama mas Yudhis...Mas Yudhis tanya, masih ada kesempatan nggak sih buat kita....ya...gitu deh bu...."

           "Lah kamu sendiri gimana lho nduk sama Yudhis ?"

           "Mas Yudhis itu baik banget bu sama Karin...mau ngemong Karin..selama di Jerman dulu juga mesti jagain Karin...nggak pernah bikin Karin nangis...Satu sisi Karin masih takut nyakiti mas Yudhis dengan perasaan Karin yang masih ada buat Sade, tapi satu sisi...Karin juga sedih banget waktu mas Yudhis balik lagi kesini dan sama sekali nggak nyariin Karin..."

SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang