AUTHOR'S POINT OF VIEW
Demon - Imagine Dragon
"Welcome home, Dave." Kata seorang body guard yang membukakan pintu mobil untuk seorang pemuda tampan berambut pirang yang baru saja tiba di depan rumahnya
"Thanks, Joe. Dimana ayahku?"
"Dia ada di dalam. Dia sudah menunggumu daritadi."
"Baiklah. Bawakan semua barangku ke dalam."
"Tenang saja. Serahkan padaku."
Namanya Dave Paterson Morgan.
Anak tunggal Ender Morgan, seorang boss mafia The Hot Knife. Dia baru saja tiba dari Mexico setelah merantau lama untuk bekerja disana.
Dave sekali tiga uang dengan sang ayah. Di Mexico, selain menjadi anggota gengster seperti ayahnya, nama Dave cukup terkenal dengan sebutan 'pembunuh tampan bertangan dingin'-nya.
Selain menggerakkan bisnis 'panas' sang ayah yaitu berdagang senjata ilegal dan menjual obat-obatan terlarang, dia juga kerap menjadi pembunuh bayaran. Jika biasanya anggota gengster berwajah menyeramkan dan berpenampilan kekar bak algojo, penuh tato di sekujur tubuh, dan bertindik di hidung juga telinga, seorang Dave jauh dari hal tersebut.
Wajahnya yang tampan, berkulit putih bersih, dan karismatik bagaikan seorang model sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang pembunuh yang dikenal sadis. Kerap kali orang tertipu dengan penampilannya yang rapi serta sikapnya yang terlihat seperti pemuda baik-baik.
Namun kali ini, kedatangan Dave kembali ke Los Angeles bukan untuk melanjutkan bisnis tersebut, tapi untuk mengundurkan diri.
"Welcome home, my son." Sapa Ender dari ruang tengah sembari duduk santai dan menghembuskan kebulan asap cerutu dari mulutnya.
"Terima kasih, Ayah. Bagaimana kabarmu?"
"Kabar baik. Bagaimana denganmu?"
"Seperti inilah. Di buntuti bahaya selama bertahun-tahun demi menjalankan bisnis 'panas' ayah." Kata Dave dingin.
"Duduklah. Kita bisa bicarakan ini baik-baik bukan?" Ender beredengus, lalu memadamkan ceritunya.
"Kita sudah sering membicarakan hal ini di telepon bukan? Apa ayah masih tidak paham juga?" Nada bicara Dave meninggi lantaran mulai kehabisan kesabaran karena Ender tetap kekeuh mempertahankannya di bisnis itu.
Dave sedikit menyesali pertemuan kali ini diawali dengan ketegangan.
"Apa sekarang kau sudah berani menentangku!? Diam dan turuti saja permintaanku!"
Dave menggertakkan gigi. Kedua tangannya tanpa sadar sudah terkepal di samping badan. Amarah begitu berkecamuk di hatinya. Dia benar-benar kesal pada sang ayah yang tidak kunjung mengerti apa keinginannya. Dengan terpaksa, Dave duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan ayahnya.
"Dave, Ayahmu ini sudah tua! Aku sudah tidak bisa menggerakkan bisnis ini sendirian. Kau tahu pekerjaan ini berbahaya. Aku tidak bisa percaya pada siapapun untuk menggerakkan bisnis ini selain kau. Lalu untuk apa aku punya anak laki-laki jika tidak bisa membantuku!?"
Dave bungkam seribu bahasa saat Ender berkali-kali menunjuknya, meluapkan emosi. Dave hanya menghela nafas, menahan diri agar emosinya tidak ikut tersulut.
"Ayah baru saja mendapatkan apa yang selama ini ayah incar. Ini akan menjadi proyek besar The Hot Knife. Jika kita berhasil meloloskan proyek ini bersama, kita akan jadi miliyuner, Dave! ayah sangat membutuhkanmu!" Ender berseru, namun sama sekali tak di sambut baik oleh Dave.
"Tidak akan! Ayah, Aku ini sudah dewasa! Aku berhak membuat keputusanku sendiri! Lagipula, aku sudah lelah dengan semua ini. Kapan kau akan mengerti akan hal itu hah?!"
Dave kalap. Dia tidak mampu menahan lebih lama lagi amarah yang begitu membara di hatinya. Dave kontan berdiri dari sofa dan membentak keras Ender.
Sebenarnya, Dave bukan tipikal anak pembangkang dan suka menentang orang tuanya. Selama ini dia terlalu sibuk menuruti apa yang orang tuanya perintahkan sehingga lupa apa yang dia inginkan. Dia bahkan lupa apa perannya sebagai seorang pemuda pada umumnya.
Puncaknya keletihan itu baru menyeruak sekarang. Saat Dave mulai letih di buntuti bahaya dan rasa bersalah yang mengintainya demi sejumlah uang. Dave selalu di hantui rasa bersalah setelah membunuh target-targetnya. Bukan hal mudah baginya menyeludupkan senjata ilegal itu. Dia tidak tahan lagi. Dia tidak akan menjadi penjahat lagi. Tidak akan menjadi seorang pembunuh lagi. Dia tetap akan mundur, meski sang ayah akan marah besar.
"DAVE! TETAP DUDUK DISINI! BERHENTI! KATAKU, BERHENTI!"
"Aku tidak peduli!"
Dave membawa jas-nya di tangan, berjalan menaiki tangga sembari membuka dua kancing kemejanya. Dia sama sekali tidak peduli meski sang ayah terus meneriakinya untuk tetap berada di ruang tamu dan kembali membicarakan masalah pekerjaan ini.
Dave memasuki kamar berdinding krem yang sudah lama tidak ia tempati. Kamar luas nan mewah layaknya hotel bintang 5 itu sama sekali tidak berubah. Dindingnya masih penuh dengan poster band favoritnya, Queen dan foto-foto masa kecilnya. Dan, yang paling Dave rindukan, sejuknya hembusan angin dari atas balkon kamarnya yang langsung menghadap ke sebuah perbukitan.
Dave terduduk lemas di atas kasurnya, merenungkan apa yang harus dia lakukan agar sang ayah mengerti semua keinginannya. Dia mengetuk-ngetuk dengkulnya dengan jari, dan terus berpikir. Dia bingung, tidak tahu mesti dengan cara apa lagi meyakinkan sang ayah bahwa dia tidak ingin terlibat lagi dengan bisnis ini. Bahkan luka tusuk pada bagian kiri perutnya yang belum kering, bekas menjalankan 'operasi' sama sekali tidak membuat ayahnya mengerti.
Im going to be fucking frustated with all of this. Gumamnya. Semua ini membuatnya stress. Hingga luka tusukan itu kembali terasa nyeri.
"Shit!" Dave mengeram sembari memegangi lukanya yang masih terbungkus perban.
"Dave?" Suara halus perempuan yang terdengar memanggil namanya sangat mengagetkan Dave. Sesegera mungkin Dave menutupi kembali lukanya.
"I─ibu? Kenapa kau tidak mengetuk pintu dulu?" Jawab Dave sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Hal yang sering di lakukannya saat sedang grogi.
"Ibu lihat pintu kamar mu tidak tertutup, jadi ibu masuk saja. Ibu rindu sekali padamu, nak." Wanita berdandan glamour, penuh perhiasan di tangan dan lehernya yang sedari tadi berdiri di ambang pintu, kini memposisikan dirinya duduk di sebelah Dave. Dipeluknya tubuh anak laki-lakinya itu dengan penuh kehangatan.
"Aku juga merindukanmu, bu." Dave membalas pelukan itu. Wanita paruh baya bernama Marrylin itu mulai menitihkan air mata di pundak Dave. Dia terharu dan bahagia, akhirnya Dave pulang dengan selamat. Meski mendapat luka tusuk yang belum dia ketahui.
Jauh dari lubuk hatinya, Marylin tidak pernah setuju jika anak satu-satunya ini mengikuti jejak suaminya. Namun, Marylin tidak bisa begitu saja menentang sang suami. Ender tidak pernah mendengarkan Marylin layaknya istri. Dia tidak pernah mau menerima saran Marylin walaupun demi keselamatan Dave.
"Ibu sangat berharap kau masih bisa mengerti ayahmu. Turuti saja dulu apa keinginannya, lalu kau bisa membicarakan apa keinginanmu padanya secara pelan-pelan."
Dave sontak melepaskan pelukannya. Ditatapnya mata wanita yang mulai menua itu lekat-lekat. Hati Dave terhenyuh saat mendengar ibunya dengan lirih mengatakan hal demikian─membuat Dave tak sanggup untuk menolak keinginan itu.
"Baik. Aku akan membantu ayah menyelesaikan misi ini. Tapi ini yang terakhir. Setelah itu, aku tidak ingin lagi menggeluti bisnis ini. Aku lelah bu!"
"Ibu mengerti nak. Ibu akan membantumu berbicara pada ayah nanti."
"Terimakasih banyak bu."
To be continued...

KAMU SEDANG MEMBACA
SPACES
Fanfiction[COMPLETED + Trailer] -JUDUL TELAH DIUBAH- (Tahap editing) Pertemuan Clove Jocelyn McTaggert kembali dengan sang ayah, Bradd McTaggert serta adiknya, Chloe Juddith McTaggert di Los Angeles, California, menjadi pertemuan terakhir yang begitu tragis...