"People talk about the guy
who's waiting on a girl, oh, oh
There are no holes in his shoes
but a big hole in his world, hmm"(The Script - Man Who Can't be Moved)
.
.
.
.
.Mobil melaju, tak sampai sepuluh menit kami tiba di sebuah kedai ice cream terbesar di Orlando. Brad memilihkan tempat duduk yang sedikit terpencil dan memisah dari tempat duduk lainnya. Beberapa wanita di kedai ini tampak memandangi Brad tanpa henti, sementara lelaki itu kembali ke ekspresi dinginnya. Kami memesan dua porsi caramel combo.
"Combo? Itu banyak sekali," aku mengerutkan alisku.
"Aku bisa menghabiskannya." Brad menyeringai. Dia menantangku.
"Aku juga sanggup menghabiskannya, lihat saja." Tegasku.Aku menatap Brad tajam, dia balik menatapku dingin. Hanya ada dua jenis ekspresi yang dikeluarkan Bradley, Dingin dan Menyeringai. Oh aku benci keduanya. Kecuali ketika dimobil tadi, dia tertawa, untuk pertama kalinya aku menyukai tawanya itu.
Brad berdeham kecil, membuat perhatianku kembali teralih kepadanya. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku, kedua tangannya terlipat diatas meja. Tatapan matanya lurus ke arahku. Dia menatapku sangat lama, dengan tatapan yang dingin dan tajam. Jika matanya adalah pisau, mungkin aku sudah tercabik sedari tadi, mengetahui bagaimana tajamnya ia menatapku dari jarak ini.
"Dimana kau dan keluargamu tinggal?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
"Aku tinggal bersama Alex, aku tidak punya keluarga. Keluargaku jauh dari sini." Jawabnya.
"Jauh? Dimana?" tanyaku penasaran.
"Kau tak akan tahu tempatnya." Balasnya.
"Kenapa kau selalu menggunakan sarung tangan?"
Ekspresinya berubah. "Ini style, ada hal yang tak pernah kau tahu dari diriku." Ia menatapku misterius."Apa?" tanyaku takut. Brad mencondongkan tubuhnya ke arahku, tatapannya mengunci mataku.
"Aku suka balapan liar, itu sebabnya The Boys merekrutku menjadi anggota mereka, karena mereka juga suka balapan liar sama sepertiku. Dan sarung tangan hitam adalah signature dari tim balapan liarku," Ucapnya sedikit berbisik.
"Ada apa? Kau tidak suka aku mengenakan sarung tangan ini?" Tanya Brad sangsi.
"Eh-uhm. Tidak. Kau bagus menggunakannya." Jawabku sekenanya."Oh atau kau ingin merasakan sentuhanku?" Brad mengangkat dagunya, matanya menatapku penuh selidik.
"What?! No way." Aku mendelik kearahnya.
Lagi.Dia tertawa seperti di dalam mobil, sangat lepas dan renyah. Sial, aku baru sadar. Kalimatnya tadi sengaja menggodaku, dan selalu dengan mudahnya aku terpancing kesal padanya. Itu membuatnya semakin menang karena berhasil melihat wajah cemberutku. Tidak apa, setidaknya rasa kesalku tergantikan oleh tawanya yang nyaring itu. Gadis-gadis di kampus takkan pernah melihat Brad tertawa seperti ini kecuali di hadapanku.
Tak lama pesanan kami datang. Aku menyukai caramel dan entah kebetulan atau Brad memang merencananakannya, tapi sepertinya kita punya selera rasa yang sama. Aku menyuap satu sendok penuh ice cream gelatin caramel itu ke dalam mulutku. Ohh.. dingin, lumer, dan ini enak sekali. Ini ice cream gelatin caramel terenak yang pernah kumakan. Benar-benar enak hingga aku memejamkan mataku untuk menikmatinya sesaat. Setelah ice cream di dalam mulutku habis dan meleleh dengan sempurna, aku membuka mataku perlahan. Aku mendapati Brad tengah menatapku lekat-lekat, ekspresinya yang dingin, dan mata birunya yang terkadang seperti mengeluarkan kilat. Dia membuatku takut.
"Ada apa?" tanyaku.
"Tidak. Lanjutkan saja." Ia membuang sisa permen karet di mulutnya, lalu mulai menyendok ice cream.
Aku menatap ekspresinya, ia tampak sama menikmatinya seperti aku, bedanya ia tidak sampai memejamkan mata seperti yang kulakukan. Sayang, semua ekspresinya itu tersembunyi di balik wajah dinginnya.
Kami memilih menghabiskan ice cream kami masing-masing tanpa ada pembicaraan. Sesekali aku mendapati beberapa gadis yang berbisik dan memandang ke arahku dan Brad.
Aku memasukkan ice cream itu dengan lahap ke dalam mulutku, begitu juga Bradley, namun tidak adilnya, belum sampai sepuluh menit Brad telah menghabiskan porsi besar ice cream caramelnya.
Aku menghela nafas, punyaku bahkan baru berkurang setengahnya. Ini memang enak tapi porsi ini terlalu besar bagiku. Aku menatap Brad, ia melipat kedua tangannya diatas meja, duduk dengan nyaman seraya memandangiku.
Tunggu, ada noda es ice cream di pipinya, tanganku terulur untuk membersihkannya. Jakun Brad bergerak, dia menelan ludahnya, apa dia nervous karena tahu aku akan membersihkan noda itu? Tepat beberapa centi sebelum tanganku menyentuh pipinya, ia menahan tanganku dengan tangannya yang berbalut sarung tangan hitam. Ia menjauhkan tanganku dari wajahnya. Lalu membersihkan noda itu sendiri.
"Sangat romantic." Ia menyeringai ke arahku. Aku memutar kedua bola mataku dengan kesal.
Brad kembali ke posisi duduknya yang nyaman, condong ke arahku dengan kedua tangan terlipat di atas meja.
"Lebih baik kau bantu aku habiskan ini." ujarku. Itu pengalihan, agar ia tak hanya duduk saja dan memandangiku.
Sudut bibirnya terangkat. "Kau bilang bisa menghabiskannya."Dia tega sekali. Aku menyuap se-sendok demi se-sesendok ice cream itu ke mulutku. Perutku sudah tidak muat rasanya. Pada suapan terakhir sendok ice cream itu, tanganku sudah gemetar. Aku menelan ice cream terakhir itu lalu menyandarkan punggungku ke kursi, menghela nafas berkali-kali seraya memegangi perutku yang padat dan penuh. Lagi-lagi aku mendapati Brad menatapku intens dengan tatapannya yang dingin dan tajam. Dia menyeringai lagi kearahku.
"Ice cream-mu berantakan." Brad memberi gesture menunjuk bibirnya."Benarkah?" tanganku terulur untuk mengusap sisa ice cream yang masih berantakan di bibirku.
"Jangan." ia menahan tanganku dengan tangannya. "Tanganmu bisa kotor, pakai ini saja." Imbuhnya.
Aku menunggunya meraih tissue atau sesuatu untuk mengusap bibirku, tapi yang terjadi selanjutnya adalah ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, wajahnya terus mendekat ke wajahku, mata birunya mengunci tatapanku hingga aku tak mampu beralih, 5 cm.. tatapannya beralih ke bibirku, dan..
"Bradley!" pekikku tepat ketika hidungnya menyentuh hidungku.Ia menjauhkan wajahnya beberapa senti dari wajahku yang mulai memerah.
"Apa yang kau lakukan." desisku tajam."Aku akan membersihkan noda ice cream di bibirmu itu.." ia menggantung kalimatnya "Dengan bibirku." Lanjutnya.
Ia menyeringai lagi. Kali ini seringai itu tampak memuaskan.
Kudorong tubuhnya kuat-kuat agar menjauh. Damn it! Apa yang telah ia lakukan padaku. Jantungku berdegup tak karuan.
"Aku suka melihatmu seperti itu." Ujarnya sudah kembali duduk di posisinya semula. Aku mendongak untuk menatapnya.
"Apa?"
"Aku suka melihatmu malu-malu begitu, pipimu bersemu merah, itu berarti ada kemungkinan kau akan jatuh cinta padaku." Raut wajah dinginnya itu cukup untuk menjelaskan padaku bahwa ia tak main-main dengan apa yang di katakannya.
"Kau benar-benar gila" Aku menggeleng pelan.
"Iya, aku memang tergila-gila padamu." Jawabnya santai, tak mempedulikan wajahku yang sudah memerah.
***
Menurut kalian Brad lebih ke usil, brengsek, atau gak sopan?
Nexttt -->

KAMU SEDANG MEMBACA
The Oddeants (Kutukan 300 Tahun)
FantasíaBagaimana rasanya terjebak di dimensi lain selama 300 tahun? Di dunia yang belum pernah kau datangi sebelumnya? Terjebak untuk membuktikan sebuah ramalan dan mendapatkan sang 'pemilik hati'. SEAN Kelak kau akan menemukan seseorang yang lebih baik da...