Selesai makan siang, dan bercakap-cakap ringan, aku bergegas merapikan semua piring dan mencucinya. Anna berdiri disampingku membantuku, sementara Sean dan Luke sedang membicarakan sesuatu.
“Apa kalian merencanakan ini?” aku melirik Anna dan bertanya hati-hati.
Dia tersenyum geli sebelum akhirnya mengangguk. Ah sudah kuduga.
“Kau tahu? Luke sampai meninggalkan pekerjaan di kantornya yang sangat penting demi aku. Terimakasih.. aku sangat merindukan suasana ramai di rumah seperti ini.” Aku menatapnya dalam, terimakasihku terucap sangat tulus untuknya, aku sangat merindukan makan siang bersama seperti ini, hangatnya kebersamaan, beberapa tawa di atas meja makan, gurauan, obrolan ringan, itu semua terjadi di atas meja makan. Ini pertama kalinya aku merasakan kehangatan ini meskipun takkan ada yang mampu menggantikan suasana ketika keluarga kami masih utuh, setidaknya ini sangat berarti untukku.
“Hey, that’s what friend supposed to do.” Anna tersenyum padaku seraya menepuk pundakku lembut. Aku balas tersenyum ke arahnya. Dia sahabat terbaik yang pernah kupunya.
Aku menarik sudut bibirku, membentuk garis senyum. Aku masih punya mereka yang peduli padaku dan melindungiku. Selesai berbincang ringan, Anna dan Sean pamit. Aku tidak tahu mengapa Luke dan Sean sangat cepat akrab. Padahal mereka baru mengenal, aku senang melihatnya.
Aku dan Luke berjalan mengantar mereka, aku punya firasat jika terjadi sesuatu antara Sean dan Anna, mereka tidak sekedar mencoba melindungiku bersama, apa mungkin mereka.. aku memejamkan mataku selama beberapa detik mencoba mengenyahkan segala prasangkaku.
Aku membalas lambaian tangan saat Anna melambaikan tangannya padaku, mereka beralu pergi, dalam mobil yang sama, camaro milik Sean. Luke memegangi pundakku menuntunku masuk ke dalam.
Hari ini aku menikmati semuanya bersama Luke, satu-satunya keluarga yang kumiliki, itu semua karena Sean dan Anna. Setelah beberapa percakapan ringan tentang kuliahku, kami juga menghabiskan malam dengan menonton serial TV dan makan popcorn.
“Letta, kau sungguh tidak apa-apa?” Luke berhenti dan menatapku lamat-lamat.
“Aku tidak apa-apa.” Jawabku, tenggorokanku tercekat, aku terus melontarkan kebohongan padanya.
“Aku khawatir padamu, firasatku selalu tidak enak, seolah kau tengah dalam bahaya.” kedua alisnya merapat, tatapan matanya terlihat takut.
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja.” Aku memberikan senyum terbaik yang bisa kuberikan padanya.
Ia mengusap kepalaku lembut, selalu seperti itu, seakan aku masih Letta adik kecilnya 12 belas tahun yang lalu. Letta kecil berumur 8 tahun yang menangis di tengah hutan, bingung dan takut mencari jalan pulang karena kedua orang tuanya tewas kecelakaan. Aku bukan Letta itu lagi, aku sudah tumbuh, menjadi Letta yang berani, yang tangguh, meski nyawaku terancam bahaya, tetapi aku masih bergeming di tempatku.
“Luke, kenapa waktu itu kau memilih lembur dan mengambil pekerjaan tambahan? Apa selama ini kita kekurangan?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku tanpa bisa dicegah.
Aku sungguh ingin tahu akan hal itu, jika memang iya selama ini kita kekurangan, aku bisa membantunya dengan pekerjaan paruh seusai jam kuliahku.
Luke mengusap pipiku lembut. “Bukan itu sweetheart.” Jawabnya lembut.
“Lalu?” aku masih menuntut penjelasan.
Luke menunduk seraya menghembuskan nafas, lalu kembali menatapku. “Aku sedang berusaha keras merebut perusahaan papa dan mama dari paman Dave,”
Mataku terbelalak, aku memutar tubuhku menghadapnya, menatapnya lekat seraya memasang telinga sebaik mungkin, agar nanti aku takkan salah dengar.
“Maafkan aku tidak memberitahumu sejak awal, aku sudah sangat lama berencana merebut perusahaan itu, sebelum kekuasaan paman Dave melebar dan terlalu sulit untuk merebutnya.”
“Itu alasannya kau jarang dirumah, dan lebih sering lembur di kantor?” tenggorokanku tercekat, aku ingin menangis setiap kali mengingat betapa aku merindukannya.
Luke di depanku tapi rasanya seperti ada jarak yang begitu jauh. Aku tidak tahu mengapa aku menanyakan itu, padahal seluruh tubuhku ingin menanyakan pertanyaan, ‘Itukah alasan kau selalu meninggalkanku sendirian dirumah selama ini?’. Kuurungkan pertanyaan itu.
“Iya.. maafkan aku. Aku hanya berusaha mengembalikan hidup kita yang dulu. Aku masih berusaha hingga sekarang, mencari orang-orang setia yang dulu bekerja dengan papa mama, perlahan aku mulai mengumpulkan mereka kembali, aku mencoba mencari kekuatan. Dari dalam. Aku hanya perlu satu hal lagi Letta, satu hal yang..”
“Surat wasiat?” sahutku.
“Tepat sekali. Aku sudah mencoba mencarinya kemana-mana. Tapi tidak ada.” Jawab Luke lemah.
“Kau sudah mencari di lemari kamar mama?” tanyaku memastikan.
“Sudah. Dimana-mana. Aku sampai berfikir jika surat itu hilang.”
Aku termenung, tidak menyangka jika Luke punya rencana se-hebat itu, merebut perusahaan itu. Itu sebabnya selama ini dia sangat sibuk, jarang dirumah, karena rencana itu. Aku merasa menjadi adik yang tidak tahu diri karena selalu menyalahkannya pada ketidakhadirannya dihidupku, karena selalu meninggalkanku sendirian dirumah. Dia punya rencana hebat itu, yang akan merubah hidup kami. Namun surat wasiat itu.. satu-satunya harapan. Senjata terkuat untuk menjatuhkan paman Dave, jika surat wasiat itu ditemukan dan tertulis nama Luke dan aku, paman Dave takkan bisa berbuat apa-apa. Sudah mutlak perusahaan itu jatuh ke tangan kami. Yang mengganjal fikiranku adalah, apakah surat wasiat itu benar ada? Sewaktu orang tuaku meninggal usia kami masih sangatlah muda, aku tidak yakin jika papa dan mama sudah menuliskan surat wasiat kepada kami yang masih sangat muda itu.
***
Thanks for all readers. Voters. And also Commenters. <3

KAMU SEDANG MEMBACA
The Oddeants (Kutukan 300 Tahun)
FantasíaBagaimana rasanya terjebak di dimensi lain selama 300 tahun? Di dunia yang belum pernah kau datangi sebelumnya? Terjebak untuk membuktikan sebuah ramalan dan mendapatkan sang 'pemilik hati'. SEAN Kelak kau akan menemukan seseorang yang lebih baik da...