Badboy Ain't My Type

225 29 4
                                    

Aku mengalihkan pandanganku, tak berani menatap matanya. Tapi aku tahu melalui ekor mata, ia tengah menatapku seraya menyeringai puas. Apa yang dia lakukan padaku.

"Baiklah sudah cukup membuatmu bersemu seperti itu. Setidaknya cukup untuk hari ini, kita lanjutkan esok." Ia mengedipkan matanya kearahku. Sial. Tidak bisakah dia berhenti menggodaku.

"Aku akan mengantarmu untuk menemui Anna."

Oh iya, Anna. Aku ada jadwal tetap dengannya sore ini di coffee shop favoritku dan Anna.

Brad mengantarku menuju Vespr Craft Coffee and Allures, dalam perjalanan aku tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Aku bisa gila jika ia terus melakukan ini padaku, aku harus mengenyahkannya dari fikiranku. Kami tiba di tempat, seperti biasa ia membukakan pintunya untukku. Tanpa menoleh ke arahnya sama sekali. Aku melengos saja memasuki coffeeshop itu.

Kuhela nafas lega setelah berada di dalamnya. Aku memegangi pipiku yang panas. Kenapa aku mudah sekali tergoda olehnya, aku tidak ingin disamakan dengan gadis-gadis murahan yang fanatik padanya itu. Aku tidak fanatik padanya, aku tidak menyukainya.

Seperti yang sudah dijadwalkan, sore ini aku berencana untuk pergi ke coffee shop favoritku bersama Anna. Aku sudah tiba disini, di Vespr Craft Coffee and Allures sejak sepuluh menit yang lalu, Brad yang mengantarku kesini. Lelaki itu sudah pergi. Aku memandang keluar seraya menunggu Anna, hari ini langit sedikit mendung, aku khawatir tidak bisa menikmati senja sore ini.

Some try to hand me money, they don't understand
I am not broke, I am just a broken hearted man
I know it makes no sense, what else can I do?
How can I move on when I am still in love with you?

Lagu The Man Who Can't be Moved dari band The Script mengalun mengisi ruang-ruang kosong di coffee shop ini, ini juga salah satu alasan kenapa aku menyukai tempat ini. Selera musik mereka, dan lagu yang diputarkan sangat pas untuk orang-orang yang sedang menikmati kopi.

Pintu masuk berbunyi, aku melihat sosok itu berjalan menghampiriku dan mengambil alih kursi di hadapanku.

"Pesan yang banyak, aku udah berjanji bahwa hari ini aku yang traktir." Ujar Anna.

Aku ingat hari ini Anna akan menepati janjinya untuk mentraktirku karena kemarin ia tidak jadi menemaniku ke perpustakaan. Aku mengangkat tangan, seorang pelayan wanita mendekat. Aku segera memesan caramel macchiato sementara Anna memesan Esspresso. Aku tetap butuh kopi untuk menetralisir rasa manis dan dingin dari es krim.

"Apa benar Sean semalam ada di pesta itu?" Aku setengah berbisik.

"Iya."Jawab Anna ringan.

"Kenapa kau tidak memberitahuku jika ada Sean? Jika begitu kan aku tidak perlu menghabiskan malam bersama lelaki menyebalkan bernama Brad itu. "

"Kukira kau sudah melihat sosok Sean, padahal dia berdiri tak jauh dari tempatmu dan Brad. " ujar Anna.

"Really? Kenapa dia tidak memanggilku?"

"Aku tidak tahu."

Anna menggigit bibir bawahnya, tubuhnya condong ke arahku. "Ini rahasia ya, sebenarnya Sean datang ke pesta itu hanya untuk melindungimu dari siapapun yang bisa melukaimu di pesta itu. Bagaimanapun itu markas The Boys."

Aku termenung. Melindungiku ya? Kenapa dia selalu melindungiku? terbuat dari apa hatinya itu?

Tak lama pesanan kami tiba. Aku menyesap caramel machiatto-ku begitu juga yang Anna lakukan pada Esspresso-nya. Kami saling tatap lalu terkekeh geli. Tak tahu apa yang lucu.

"Bagaimana ceritamu?" Tanya Anna.

Aku menarik nafas dan mulai menceritakan kejadian ketika pesta di rumah Alex, aku dan Brad menghabiskan waktu bersama disana, Brad memaksaku untuk menari dengannya, dan kalimat Brad yang sampai saat ini masih terngiang dikepalaku 'jatuh cintalah padaku'.

Cerita berakhir sampai ketika aku menemuinya di perpustakaan kota untuk mengambil kembali ponselku, lalu ia memintaku menemaninya makan es krim, dan perlakuannya yang membuatku kesal sekaligus deg-degan.

Anna begitu serius mendengar ceritaku, aku rasa dia tidak berkedip saat aku bercerita. Aku mengakhiri ceritaku. Baru aku melihatnya mengerjapkan mata, ia meraih espresso-nya lalu meminumnya.

"Wow." Anna mengangkat kedua tangannya sedikit ke udara.

"Aku tak menyangka Brad ternyata benar-benar berambisius padamu, sepertinya dia sangat menyukaimu Letta. Dia sangat manis padamu. Semua rentetat kejadian yang kau lewati bersama Brad, ada banyak gadis dikampus yang rela melakukan apapun agar bisa berada di posisimu." Anna menangkupkan kedua telapak tangannya di dagunya.

"Tapi kau harus berhati-hati padanya, aku takut kau akan terluka." Ujar Anna, wajahnya begitu serius.

"Badboy sepertinya bukan tipeku." Jawabku santai meminum caramel machiatto-ku yang tinggal setengah.

***

Setelah selesai, aku mengantar Anna hingga ia mendapatkan taxi-nya, lalu menaiki taxi-ku untuk menikmati Senja di Dusk Hill bersama Sean.

Bukannya tidak mau mengajak Anna, tapi aku dan Sean sudah bersepakat bahwa hanya kami berdua yang tahu tentang tempat ini.

Setibanya disana aku sudah melihat Sean duduk di tempat kami biasa menikmati senja.

Senja mulai berproses, menyemburkan warna keemasan di langit, sebelum akhirnya hilang termakan langit malam yang gelap, aku tak pernah bosan melihat pemandangan itu. Menatap senja disini jauh lebih indah daripada di atas balkon kamarku.

"Bagaimana kabar orang tuamu?" tanyaku memecah keheningan.

"Orang tuaku baik baik saja dirumah." Jawabnya santai.

"Kapan kau akan memperkenalkan mereka pada kami?" 'Kami' yang kumaksudkan adalah aku dan Anna.

"Entahlah, mereka sangat jauh Letta, kau tidak akan bisa kesana."

Tenggorokanku tercekat. "Apakah mereka sudah meninggal?" aku menatap Sean lekat-lekat. Ia balas menatapku lalu terkekeh melihat ekspresiku.

"Bukan itu, mereka tinggal di tempat yang sangat jauh."

"Iyaa.. sangat jauh itu dimana?" aku menatapnya gemas, kedua tanganku mengepal di depan dada, dan kedua mataku membulat.

"Tuhkan kau lucu, jangan sering sering melakukan ekspresi itu." ujar Sean.


Aku tertawa.

"Ekspresi apa sih Seaaaan." Tanganku terulur mencubit pinggangnya.

"Aduh." Sean tampak meringis kesakitan memegangi pinggangnya.

"Eh? sakit ya? Maaf, sepertinya aku terlalu kuat melakukannya." Aku menatap Sean khawatir. Raut wajahnya menunjukkan guratan kesakitan. Alisnya berkerut, dan kedua matanya terpejam. Sepertinya dia tampak benar-benar kesakitan.

"Bukan itu, tapi.. " Sean terpatah.

"Pinggangku nyeri, kurasa itu di bagian ginjal." ia menunjuk tempat dimana ginjalnya berada. Aku mengigit bibir bawahku khawatir.

"Ayo kita pergi ke Dokter." Aku menarik tangan Sean tapi ia menolaknya.

"Sepertinya ginjalku tidak kuat karena kadar gula berlebihan yang kuterima dari tawamu, itu manis sekali." Seketika ekspresi Sean yang kesakitan berubah menjadi gelak tawa yang menyebalkan.

"Seaaaaaan." Aku memukul tubuhnya. "Itu gombalan yang norak." Aku tertawa sekaligus kesal karena ulah Sean.

Aku sudah sangat khawatir, kukira aku menyakitinya. Sean tak berhenti ketawa, ia menatapku geli seakan aku adalah makhluk terlucu yang pantas ia tertawai. Aku menatapnya cemberut lalu ikut tertawa bersamanya.

***

Lebih suka Letta sama Brad atau Sean?
Thanks buat yg udah baca dan vote. <3

The Oddeants (Kutukan 300 Tahun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang