CHAPTER 8

33 2 0
                                    

Song Chapter : 5 Second of Summer - Jet Black Heart.
.
.
.
.
.
Chapter 8

"Kuharap akhirnya dia akan mencintaimu
Semoga lebih baik dari caraku. "
.
.
.
.
.

Hari ini dua dosenku di mata kuliah yang berbeda berhalangan hadir, jam kosong yang terasa seperti di surga. Aku menghabiskan dua jam pertama waktuku di perpustakaan, ini adalah tempat ternyaman sekaligus teraman karena The Boys takkan mengunjungi tempat seperti ini. Semenjak sering bertemu The Boys di cafeteria aku sekarang jadi lebih suka menahan laparku daripada pergi ke sana dan bertemu mereka.

Aku mendongak menatap Sean yang duduk di hadapanku, aku melirik judul buku yang di pegangnya. Buku berjudul ‘BELIEVE : Kesatria Dari Masa Lalu’ mampu membius Sean, ia tampak sangat menikmati bukunya, ekspresinya sangat serius, dan dia sangat lucu dengan ekspresi itu.

Hanya aku dan Sean berdua hari ini, Anna sudah ada janji dengan temannya yang lain. Sudah kubilang, dia punya banyak teman.

Pada pertengahan hari, aku dan Sean memutuskan untuk membeli makanan cepat saji untuk makan siang. Kami memakannya di atas Dusk Hill, sangat sejuk dengan banyaknya dedaunan rimbun. Kami banyak berbincang dan tertawa, kami selalu melakukan itu jika bersama. Aku selalu melakukannya jika bersama dengan Sean ; Berbincang dan Tertawa. Rasanya seperti tidak punya beban setiap kali aku bersama Sean,  apapun yang dia lakukan untuk membuatku tertawa.

Tidak terasa aku sudah menghabiskan waktu selama setengah hari bersamanya. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah.

“Setelah ini kau harus segera pulang, jangan pergi-pergi ke tempat lain.” Ucapnya sebelum membiarkanku memasuki peugeot-ku. Raut gelisah membias di wajahnya.

Sean bersama camaronya dan aku bersama peugeot-ku. Kami berpisah jalan di persimpangan, karena Sean harus berbelok menuju apartemennya. Aku menurunkan kaca jendela lalu melambai ke arahnya sebelum berpisah, yang dibalas sebuah bip klakson olehnya.

Aku memutar balik mobilku melalui jalan kecil kota Orlando,  flyover, dan beberapa traffic light menuju rumahku. Sekarang pukul 4 pm, aku punya banyak waktu untuk istirahat di rumah.

Di tengah perjalanan yang kulalui, tiba-tiba terdengar suara raungan motor yang sangat mengganggu, aku melirik kaca spionku dan mendapati seseorang dengan Ducati Monster 696 hitam terus berada di belakangku, aku memperlambat laju mobilku memberinya kesempatan untuk segera mendahului, namun pengendara itu turut memperlambat laju motornya. Aku melajukan mobilku hingga berbelok, kulirik kembali spion mobilku, dia masih ada disana, berada tepat di belakangku, kudengar jelas suara raungan motornya yang menunjukkan amarah si pengendara. Pengendara itu membenturkan ban depan motornya ke bagian belakang mobilku. What? Apa yang dia lakukan. Damn it! Ia terus benturkan ban motornya  itu berkali-kali. Aku menginjak pedal gasku dan melaju cepat, meliuk membelah keramaian kota, meninggalkan pengendara gila itu jauh di belakangku.

Kulirik kaca spion mobilku untuk ke sekian kalinya, perasaanku sempat lega karena tak ada tanda-tanda keberadaan pria pengendara itu, beberapa detik kemudian suara raungan itu kembali terdengar, ducati hitam itu sudah ada disana, lagi. Damn! apakah dia benar benar mengikutiku? Mau apa dia? Mungkinkah Sean sudah tahu tentang ini? sebab itu ia memintaku untuk segera pulang.

Aku membunyikan klakson sepanjang jalan, orang-orang segera menyingkir dari jalanku, beberapa lainnya tidak terima atas tindakanku dan berteriak mencaci.

Aku hafal seluk beluk di Orlando, dia pasti akan kehilangan jejakku. Tak jauh di hadapanku ada sebuah jalan kecil, aku membanting setir dan memutarnya 1 x 270°. Ban mobilku berdecit keras hingga meninggalkan jejak gesekan hitam di aspal. Kumenarik nafas yang tak teratur sebelum kembali melirik spion dan.. motor itu melaju tanpa pengendara. Kedua mataku membulat lebar. Aku tidak salah lihat, motor itu melaju sendiri, dimana pengendaranya?

Bruaakk!’

Pengendara itu mendarat di bagian depan mobilku, ia menghancurkan kaca di hadapanku hanya dengan kedua tangannya. Pecahan-pecahan kaca mulai mengenai wajahku. Aku mulai menjerit histeris, ketakutan.

Kuinjak pedal gas hingga mentok seraya menjerit meminta tolong. Tanganku gemetar merasakan mobilku seperti berjalan di atas angin. Saat aku hampir tiba di ujung jalan, pengendara ducati itu segera melompat dan menyingkir dari mobilku, pandanganku lurus kedepan saat kudapati seorang laki-laki yang menaiki sepeda motornya melintas. Aku menginjak pedal rem kuat dan membanting kemudiku namun terlambat. Peugeot 107-ku telah menghantam tubuh laki-laki itu dengan sangat keras hingga tubuh malang itu terpental jauh dari lokasi kejadian.

'Deg'
Jantungku terasa berhenti seketika.
Dadaku sesak, nafasku terengah, tanganku gemetar hebat. Aku berjalan menghampiri tubuh korbanku; seorang pengendara sepeda motor yang kutabrak secara tidak sengaja.

Aku menutup mulutku sendiri ketika menatap sepeda yang di kendarai laki-laki itu hancur berkeping keping. Tujuh meter dari sepeda motor tak berbentuk itu tubuh sang pemilik tergeletak. Orang-orang mulai berkumpul di sekitar tubuh laki-laki itu.

Aku menoleh kebelakang mencari sosok pengendara ducati yang tadi mengikutiku telah menghilang tanpa jejak.

Sial. Karena menghindarinya, aku menghabisi nyawa seseorang tak bersalah.  Kuraih ponselku di saku dengan perasaan tak karuan dan tangan yang gemetar, kukirim pesan singkat untuk Anna dan Sean.

Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan?
Kakiku lemas ketika berjalan mendekati kerumunan itu. Jantungku terasa jatuh dan luruh begitu saja, hilang entah kemana, kini seperti ada palu godam yang menghantam dadaku bertubi-tubi. Aku melewati kerumunan itu dan tidak mendapati siapapun tergeletak di sana, yang kulihat justru seorang laki-laki, sehat, sedang terduduk di aspal.

Ya Tuhan. Itu Sean! Aku menutup mulutku. Ponselnya berbunyi, satu pesan masuk, itu dariku. Bukankah tadi dia menaiki camaronya dan pulang ke apartemennya?  Bagaimana dia—tidak, tidak mungkin itu Sean, mustahil rasanya dia selamat dari kecelakan maut itu. Di benakku akan ada literan darah tumpah membanjiri aspal. Tapi sebaliknya, tak ada setetes darahpun keluar dari tubuhnya.

“Sean..” Lirihku.

Aku menabrak temanku sendiri, tubuhnya terpental jauh, tapi dia selamat dan tidak terluka sama sekali.

Ia berdiri, terdengar suara terkejut dari orang orang yang berkumpul menyaksikan. Aku tahu, mereka sama tidak menyangkanya sepertiku. Seseorang selamat dan tak terluka sama sekali dari kecelakaan maut. Tatapan matanya menatap orang-orang di sekitar, hingga berhenti padaku,  ia berjalan menghampiriku.

“Letta, are you alright?” dia meraih kedua pipiku. Menatapku dengan raut khawatir. Aku tidak mengerti, aku yang seharusnya khawatir padanya karena ia baru saja kutabrak. Mulutku sudah terbuka, aku ingin mengucapkan sepatah dua patah kata, tapi terkatup lagi karena aku terlalu speechless.

Suara sirine itu mulai terdengar, dan kian jelas, polisi berdatangan, jantungku berdegup tak karuan, lututku lemas ketika mereka mendatangiku dan merebutku dari Sean, tanganku diborgol.

Aku terdiam dan pasrah ketika polisi itu menggiringku ke dalam mobil.  I am teribbly shock.  Rasanya tidak mungkin,  ini seperti mimpi. Aku memandang sekitarku.  Orang-orang ini nyata. Mataku menangkap sosok Sean dan aku seakan terbanting ke dunia nyata,  ini benar-benar gila, dia selamat dan tak tergores sedikitpun dari kecelakaan itu.

"Sir, dia tidak bersalah, ini salahku karena tak memperhatikan jalan ketika mobilnya melintas." Ujar Sean. Ia berjalan mendekati seorang polisi.

“Sean maafkan aku.” Ucapku pada Sean, air mataku mulai menetes. Lelaki itu mencoba meraihku namun beberapa polisi lain menghalanginya.

"Kau bisa memberi jaminan padanya nanti," tutur salah seorang polisi kepada Sean sesaat sebelum ia menutup pintu mobil.

***

Thanks to all the readers. Vote dan comment yaa <3

The Oddeants (Kutukan 300 Tahun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang