Song Chapter : The Script - Walk Away
.
.
.
.
.
Chapter 6"Bukan insomnia, tapi sedang memikirkan diriku.
Jika sulit tidur kau bayangkan saja wajahku,
parasku itu kan memabukkan para wanita."
.
.
.
.
.Esok hari,
Aku masih memikirkan tawaran Brad, bahkan saat jam kuliah sekalipun, sesekali aku mendapati Bradley dan Sean yang melihat ke arahku. Ada apa dengan mereka berdua? Mereka terlihat seperti bersaing untukku.
Hari ini aku tidak berangkat dengan mobilku, Sean bersikeras untuk mengantar dan menjemputku atas alasan keselamatanku.
Sean belum tahu jika aku akan menonton balapan bersama Brad ; lelaki yang dimintanya untuk kujauhi. Lebih baik ia tidak tahu.
Aku pulang ke rumah masih dengan pikiran itu, menimbang nimbang tawaran Brad. Kapan lagi aku akan menontonnya balapan. Sore itu aku mengirimkan jawabanku padanya melalui pesan.
.
Pukul 23.53
Aku mengenakan ripped jeansku, leather jacket dan boot. Aku mengaplikasikan bedak tipis ke wajahku dan lipbalm untuk melembabkan bibirku, serta kukucir kuda rambutku.
Aku menarik nafas sesaat dan menghembuskannya perlahan sebelum beranjak pergi dari meja riasku. Sudah cukup, aku sudah berdiri lebih dari satu jam di depan cermin, hanya untuk memastikan apakah penampilanku cocok untuk menonton balapan.
Aku menonton balapan Brad tanpa memberitahu Anna ataupun Sean, aku ingin menyimpannya ini sendiri, lagipula mereka tidak perlu selalu tahu apa yang akan kulakukan.
Ini sudah pas tapi kenapa aku masih gelisah, aku menggigit bibirku seraya berjalan dari pojok kamarku ke pojok lainnya. Perutku berbunyi, aku tak sadar jika sedari tadi siang tak ada makanan yang mengisi perutku. Bagaimana jika aku makan dulu? Ah tidak, itu terlalu lama. Bagaimana dengan camilan?
*phone ring*
Aku segera menyambar ponselku, satu pesan baru dari Bradley.
Bradley
Aku sudah di depan.
Segera kuturuni tangga kamarku dan menghampiri Brad di luar. Kali ini tanpa di bukakan pintu olehnya, aku memasuki mobilnya dan duduk dengan canggung, kenapa harus canggung seperti ini.
Bukankah minggu kemarin aku juga menaiki mobilnya tapi suasananya tak se-canggung ini. Mungkin aku hanya kelaparan.
Mobil melaju meninggalkan teras rumahku. Dari ekor mata aku mendapati Brad yang terus menatapku. Ia menatapku dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Ia terus mengulangi tatapan itu hingga kedua bola mata safir itu berhenti untuk menatap wajahku, sangat lama.
"Kenapa?" tanyaku balik menatap wajahnya.
Tatapannya sedikit terpesona, aku bisa melihatnya meski dia tidak mau menjawab pertanyaanku. Aku mengangkat bahuku lalu tersenyum simpul. Untung sinar tak banyak menyorot wajahku, pipiku memerah.
Salah satu sudut bibirnya terangkat, membentuk segaris senyuman yang sangat langka. Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum seperti itu, setelah sekian lama yang kulihat hanya ekspresi dingin dan seringai. Aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya menuju jalan raya di hadapanku yang lenggang. Berkendara tengah malam di saat semua orang tertidur.
"Kau sering melakukan balapan sebelumnya?" tanyaku memecah keheningan.
"Tidak pernah terlewat satu balapanpun."Jawabnya.
Tatapanku beralih ke tangannya yang dibalut sarung tangan hitam. Ia balas menatapku, tatapannya turun dari wajahku menuju perban tanganku. Kudengar ia menghela nafas sebelum tatapannya kembali fokus pada jalanan di hadapannya.
Brad pasti tahu tentang Breva yang menginjak tanganku, tapi ia terlihat tak peduli, ia bahkan tak mau berkomentar sama sekali.
Wajah Brad tak selalu menunjukkan keadaannya yang sesungguhnya, seolah dia menyembunyikan semua perasaannya di balik wajah dinginnya itu. Tangannya terulur, memutar sebuah lagu, dari ketukan pertama aku sudah tahu ini lagu apa dan siapa penyanyinya.
I don't know why she's with me
I only brought her trouble since the day she met me
If I was her, right now I would've left meBrad menurunkan kaca jendela, ia meraih sekotak rokok dari atas dashboard. Menjepit sebuah batang di antara bibirnya lalu menyalakannya. Bibirnya yang penuh itu bergerak menghisap batang nikotin itu, dengan penuh kenikmatan. Aku bisa diam dan hanya menontonnya melakukan itu, benar-benar badboy.
"Jadi pergilah.. pergilah.. selamatkanlah dirimu dari sakit hati, pergilah sekarang sebelum terlambat, tapi ia tetap disini." Bibirnya menggumamkan lagu itu, suaranya sangat bass dan indah, tatapan matanya lurus ke jalan raya di hadapannya, sesekali ia menyisir rambutnya ke belakang, menciptakan efek cool setiap kali ia melakukannya.
Ia menatapku tajam namun menggoda, membuat jiwaku seakan menggigil. Selama beberapa detik kami hanya saling menatap. Kenapa dia selalu memberiku tatapan mengerikan itu, tatapan seperti 'melihat-mangsanya-dan-dia-seharusnya-memakanku-tapi-sesuatu-menahan-dirinya' jadi ia hanya memberiku tatapan itu.
"Kau tahu lagu ini?" tanyaku.
"Iya, Walk Away dari band The Script. Kau menyukainya juga."
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku tahu semuanya tentangmu." Ia menyeringai. Aku menatapnya tak percaya.
Kami melewati sebuah papan bertuliskan 'Welcome to Daytona Beach'. Masuk ke dalam, terus menyusuri jalan dengan hutan lebat di sisi kanan dan kirinya, hingga tiba di sebuah tempat yang jauh dari pusat kota, ini lokasi yang pas untuk melakukan balapan liar. Jalanan yang sepi dan berkelok, dan jauh dari police office.
Dari kejauhan aku sudah melihat ramai kerumunan orang, teriakan-teriakan, raungan motor. Kami tiba di lokasi black race. Oh. Ini balapan motor, kufikir balapan mobil karena Brad membawa mobil. Lihat itu, banyak sekali gadis seksi disini. Aku menatap tercengang.
"Beberapa dari mereka adalah penonton, sisanya wanita penghibur.. sebagai hadiah untuk para pemenang."
Tatapanku beralih ke arah Brad. Seakan dia bisa membaca fikiranku. Ia memarkirkan mobilnya di tempat sepi, sedikit jauh dari keramaian, berjalan menuju sebuah rumah kosong tak jauh dari tempatnya memarkirkan mobil, sementara aku mengekor di belakangnya. Ia tak mempedulikan aku dibelakangnya yang bersusah payah mengikuti langkahnya.
Kami memasuki rumah kosong itu. Aku salah. Itu bukan rumah kosong, itu markas The Boys. Ada Alex tentunya si ketua, dia terlihat lebih fresh daripada ketika terakhir kali aku menemuinya, saat dia mabuk di pesta rumahnya sendiri.
Tak hanya The Boys, ada beberapa wanita lain disini, salah satunya yang tak asing di mataku, Breva. Dia menancapkan tatapan tajamnya tanpa ampun ke arahku. Aku membuang tatapanku darinya dan bertingkah tak menyadari kehadirannya. Semua orang disini menatap kami, sungguh-sungguh menatap kami. Terutama The Boys, mereka semua berdiri dari duduknya saat melihat sosokku. Kurasa mereka masih ingat kejadian di cafeteria, mereka mengingatku.
***
Nexttt -->>

KAMU SEDANG MEMBACA
The Oddeants (Kutukan 300 Tahun)
FantasyBagaimana rasanya terjebak di dimensi lain selama 300 tahun? Di dunia yang belum pernah kau datangi sebelumnya? Terjebak untuk membuktikan sebuah ramalan dan mendapatkan sang 'pemilik hati'. SEAN Kelak kau akan menemukan seseorang yang lebih baik da...